Ya, denyut perekonomian warga dusun itu, selama ini memang menggantungkan hidup dari kerajinan kasur.
Hampir di setiap sudut rumah di dusun itu, laki-laki maupun perempuan
dewasa sudah piawai membuat kasur, lalu memasarkannya. Berkat kasur itu
pula, tingkat kesejahteraan masyarakat setempat mapan. Hal ini terlihat
dari sepanjang jalan masuk menuju dusun itu hingga masuk ke bagian dalam
kompleks perumahan penduduk, banyak rumah-rumah permanen yang bagus
berarsitektur modern.
Saat ini, ada sekitar 200
kepala keluarga (KK) atau sekitar 95 persen warga di dusun itu
menggantungkan hidup dari kasur. Selain bertani di sawah, dan ada
sebagian kecil menjadi pegawai negeri maupun perangkat desa, mereka juga
perajin kasur.
Adalah Ramin Supriyadi
(41), warga RT 1/RW 4 di dusun itu, pengusaha kasur ternama. Berkat
keuletannya berusaha, ia sukses menggeluti bisnis kasur. Sesungguhnya,
Ramin hanya tamatan SD Negeri 1 Banjarkerta, tahun 1983. Namun berkat
kerja keras dan semangat tinggi dalam berusaha, kini omzet usahanya mencapai milyaran rupiah. Meski demikian, ia tetap tampil bersahaja, dan
tidak sombong. “Saya merintis usaha kasur awal tahun 2000,” ujar Ramin
saat ditemui di gudang yang sekaligus jadi tempat usahanya di Dusun
Wanalaya, Desa Banjarkerta, Kecamatan Karanganyar, Purbalingga, Rabu
(11/5).
Awalnya,
Ramin berjualan korden kelilingan dengan cara dipikul di sekitar
Purbalingga hingga ke Temanggung. Pada suatu hari, ia masuk ke sebuah
super market di Purwokerto, melihat ada kasur lantai, yang dijual Rp 270
ribu/buah.Ia tertarik, dan berpikir, pasti bisa membuat. Pasalnya, ia
pernah bekerja menjual kasur ranjang kelilingan di Jakarta. Sampai
akhirnya, ia coba-coba membuat kasur lantai itu. Dengan modal awal Rp
250 ribu, ia membeli kain dan kapas, dan jadilah empat kasur. “Empat
kasur itu saya jual kelilingan di daerah Baturraden Banyumas, laku
semua, dan terkumpul uang Rp 800 ribu, karena setiap kasur laku Rp 200
ribu,” ujar Ramin mengenang awal usahanya.
Berawal
dari situ, Ramin semakin bersemangat membuat kasur lantai, karena
prospeknya semakin baik. Ramin pun terus membuat kasur lantai, dan terus
laku di pasaran. Sampai akhirnya ia menjual seluruh perhiasan milik
istrinya dan apa saja yang bisa dijual, hingga terkumpul modal Rp 1,8
juta. Dari modal Rp 1,8 juta itulah ia bisa membeli kain dan limbah
kapas dari pabrik tekstil di Bandung dalam jumlah banyak. Jumlah kasur
lantai yang dihasilkannya pun semakin banyak, dan tentu saja keuntungan
yang diraup semakin lumayan.
Untuk membuat kasur
lantai, Ramin menceritakan, kain khusus untuk bahan kasur dijahit, lalu
dimasuki kapas dari limbah pabrik tekstil. Perlu teknik khusus untuk
memasukkan kapas ke dalam kain, agar jadi kasur. Bagai yang sudah mahir,
seorang pekerja dalam sehari bisa membuat 12-15 kasur lantai, dengan
ongkos Rp 3.000,-/kasur. Karena sudah menjadi kebiasaan, kini banyak
warga Dusun Wanalaya yang piawai membuat kasur lantai.
“Singkat
kata, usaha saya terus berkembang. Baru mulai awal 2003 saya melebarkan
daerah pemasaran hingga ke Kalimantan Barat. Di sana prospeknya juga
bagus, hingga akhirnya kini usaha saya sudah melebar hingga ke seluruh
Sumatera, Sulawesi, Maluku, Papua hingga ke Timor Leste. Bahkan produk
saya juga sudah sampai ke Malaysia, lewat orang Pontianak yang mengirim
ke sana,” ujar Ramin, bapak dua anak yang mengaku pernah menjadi
pemulung barang rongsok seusai tamat SD ini. Kini, sebagian besar yang
diproduksi Ramin adalah kasur lantai, dan juga bantal serta guling.
Untuk kasur lantai ia jual bervariasi, antara Rp 70 ribu – Rp 150
ribu.Kasur produksinya itu diberi label “Adinita” yang diambil dari nama
salah satu anaknya. Ramin mengaku, kasur produksinya justru laris di
luar Jawa. “Orang luar Jawa, khususnya orang Kalimantan, sangat menyukai
kasur lantai produksi saya. Jika kasur sudah kotor, mereka buang, lalu
beli lagi. Jadi mereka sangat royal menggunakan kasur,” ujar Ramin.
Dalam
setiap bulan, Ramin mengaku mampu memproduksi 15.000 kasur. Bahkan
kalau pesanan atau permintaan pasar sedang ramai, bisa lebih dari itu.
Untuk membuat kasur sebanyak itu, Ramin dalam setiap bulan harus membeli
kapas dari limbah pabrik tekstil di Bandung sekitar Rp 400 juta.
Sedangkan untuk kain, yang juga dibeli di Bandung, dalam setiap bulan
mencapai Rp 800 juta. Itu berarti, ia harus merogoh kocek sekitar Rp 1,2
miliar untuk membeli bahan baku. Belum harus membayar tenaga kerja,
yang jumlahnya ratusan.
Saat ini, Ramin memiliki
20 tenaga kerja tetap yang bekerja di sejumlah gudang sekaligus tempat
usahanya di Dusun Wanalaya. Di luar dusun Wanalaya, yakni di sekitar
wilayah Kecamatan Karanganyar, tenaga yang dimiliki Ramin mencapai 500
orang lebih. Sedangkan tenaga pemasaran di luar Jawa, sekitar 200 orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar