Kue kacang hijau sudah sejak lama menjadi salah satu
cemilan warga Kota Sabang, Pulau We, Nanggroe Aceh Darussalam. Pada
tahun 1980-an, beberapa warung menjual kue kacang hijau buatan ibu rumah
tangga itu dengan cara diletakkan di atas nampan atau piring.
Warga menilai kue kacang hijau hanyalah camilan biasa, tidak ada
istimewanya. Apalagi, kue itu hanya bertahan satu sampai dua hari. Lebih
dari itu, tidak lezat lagi disantap karena basi.
Beda dulu, beda sekarang. Tangan dingin Marfin Gunawan (53) atau
kerap dipanggil A Guan berhasil mendongkrak citra kue kacang hijau dari
sekadar kue kelas toko menjadi kue andalan Kota Sabang. Tidak ada yang
menyangka kalau mantan sopir angkutan barang itu mampu mendongkrak pamor
kue kacang.
Di hampir semua pusat oleh-oleh khas Sabang, termasuk di Pelabuhan
Balohan, pemilik toko memajang Kue Kacang Hijau AG Sabang ini. Para
pelancong yang singgah ke Sabang merasa kurang puas kalau tidak membawa
pulang Kue Kacang Hijau AG Sabang. Ketenaran Kue Kacang Hijau AG Sabang
bahkan sampai ke Yogyakarta melalui anggota TNI Angkatan Udara yang
terbang bolak-balik Yogyakarta-Sabang sebulan sekali.
Semua itu butuh ketekunan, keuletan, dan perjuangan panjang. Pria
kelahiran Sabang, 13 Juni 1957, itu sendiri tidak pernah menduga kalau
harus menggeluti usaha pembuatan kue kacang hijau.
Perjodohan Marfin dengan kue kacang hijau, yang mirip dengan bakpia,
itu bermula pada suatu hari pada tahun 1994. Saat itu, seorang pengusaha
kacang hijau tingkat rumah tangga memberinya resep rahasia membuat kue
kacang hijau kepada Marfin. Pengusaha itu sendiri memilih alih profesi
karena merasa usaha lamanya itu tidak prospektif.
Marfin lantas mencoba resep rahasia itu dan menitipkannya di
toko-toko. Hasilnya sama saja, kuenya tidak begitu laku. Dalam sehari
hanya sekitar 50 biji yang terjual dari 100 biji yang tersedia. ”Dari
situ saya mulai mencari cara agar kue kacang ini lebih diminati
pembeli,” kata Marfin, akhir Juli lalu.
Dia menemukan dua kekurangan mencolok dalam pembuatan kue kacang
hijau. Kue tersebut terlalu basah dan rasanya hambar karena menggunakan
minyak goreng. Setelah beberapa kali berinovasi, dia menemukan pengganti
minyak goreng yang pas, yakni mentega yang membuat kuenya lebih kering
dan gurih.
Dampak inovasi itu sangat nyata. Omzet penjualan kue kacang hijau
terus melambung. Pada tahun 2000, omzetnya mencapai 200 sampai 300 kotak
per hari, dengan harga Rp 11.000 per kotak. Satu kotak berisi 20 biji
kue kacang hijau. Semua dia lakukan sendiri, dibantu anggota
keluarganya.
Marfin biasa bangun pukul 03.00 untuk membuat adonan kue. Dia baru
tidur pada pukul 22.00 pada saat semua bahan untuk esok hari telah siap.
Kebiasaan itu berlangsung sampai sekarang.
Namun, masih ada yang mengganggu Marfin karena kuenya hanya bisa
bertahan satu sampai dua hari alias cepat basi. Untuk itu, dia
menambahkan zat antibasi dalam adonannya. Ide untuk penambahan zat
antibasi itu datang dari petugas Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan
saat Marfin berkonsultasi tentang cara meningkatkan mutu kuenya.
Hasilnya, kue bisa bertahan sampai sepekan.
”Zat antibasi ini bukan pengawet. Saya tidak berani memberi zat pengawet karena katanya bisa mengganggu kesehatan,” kata Marfin.
Usaha pembuatan kue kacang hijau terus berkembang. Marfin perlu
tambahan tenaga kerja sehingga dia merekrut 25 ibu rumah tangga di
sekitar rumahnya di Jalan Sultan Hasanuddin, Sabang, sebagai pekerja.
Selain itu, dia merasa perlu membeli alat-alat produksi baru untuk
pengembangan usaha. Dari awalnya menggunakan oven manual, kemudian
Marfin membeli tiga oven semimanual seharga Rp 400.000 per buah. Saat
keuntungan kian melimpah, dia membeli oven putar sebanyak empat buah, Rp
11 juta sampai Rp 16 juta per buah.
Terdampak tsunami
Ketika tsunami menghantam Aceh dan sekitarnya pada 26 Desember 2004,
usaha Marfin ikut menjadi korban ikutan. Meskipun semua alat produksi
selamat dari hantaman tsunami dan semua anggota keluarga selamat,
usahanya lesu.
Tak ada seorang pun pegawainya yang masuk kerja karena mereka sibuk
menyelamatkan diri dan merawat keluarganya yang menjadi korban. Kalau
pun Marfin memaksakan membuat kue, tidak akan ada yang membelinya. ”Saat
itu, banyak orang berpikir sulit untuk bisa pulih, tetapi saya yakin
masih bisa bertahan dan maju,” katanya.
Tiga bulan usaha Marfin mati dan itu membuatnya sempat berpikir
usahanya berakhir. Seiring pulihnya korban tsunami, semangat Marfin pun
pulih. Apalagi, para karyawannya kembali bekerja.
Seolah berangkat dari nol lagi, Marfin meyakinkan diri dan
karyawannya bahwa usahanya akan maju jika mereka tetap bersemangat. Satu
bulan. Dua bulan. Tiga bulan. Omzet Marfin pulih dan bahkan naik
menjadi 500 kotak per hari.
Saat itu dia merasa perlu inovasi baru. Jika sebelumnya kotak kemasan
kue kacang hanya berupa kardus polos, sekarang dia berpikir untuk
membuat merek bergambar dan berlabel halal. Tujuannya agar para
pelancong semakin mantap menjadikan Kue Kacang Hijau AG Sabang sebagai
oleh-oleh.
Dia lantas menghubungi koleganya di Medan, Sumatera Utara, untuk
membantu mencetak dan membuat desain kotak kemasan kue kacang hijau.
Sejak saat itu, tepatnya awal 2005, kemasan Kue Kacang Hijau AG Sabang
lebih menarik dan menawan seperti yang terlihat di berbagai warung dan
toko pusat oleh-oleh.
Kerja keras Marfin tidak hanya diapresiasi oleh pelanggan. Badan POM
memberinya penghargaan berupa piagam Bintang Keamanan Pangan karena
telah menerapkan prinsip dasar keamanan pangan. Badan POM menilai,
proses pembuatan Kue Kacang Hijau AG Sabang menjaga higienitas, keamanan
penyimpanan, sanitasi yang bagus, serta peralatan yang aman dan bersih.
Sumber : wrasmada.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar