Selalu ada hikmah di balik bencana. Seperti bencana gempa yang
menimpa Garut pada 2009 lalu. Bencana itu mampu menggugah Ade Supriatna
untuk memberdayakan masyarakat melalui bambu. Dengan bambu, Ade mengajak
warga Desa Cisompet kembali membangun kehidupan ekonomi paska gempa
supaya tak bergantung pada bantuan siapapun.
Keterpurukan ekonomi yang melanda Desa Cisompet, Provinsi Garut
pascagempa, menimbulkan keprihatinan mendalam di hati Ade Supriatna.
Warga desa yang sebelumnya mengandalkan hasil pertanian, tak bisa lagi
bergantung pada lahannya.
Desa Cisompet merupakan satu dari lima desa
yang menderita kerugian terparah akibat gempa pada 2009 silam. Akibat
gempa perekonomian warga juga tak berdaya. Lahan-lahan sawah jadi tak
optimal hasilnya.
Kondisi inilah yang memprihatinkan Ade.
Namun Ade tak sekadar prihatin namun tak berbuat apa-apa. Dia ingin
mengajak warga desanya bangkit dari penderitaan dan melepaskan
ketergantungan dari bantuan pihak lain.
Bagi Ade, desanya masih punya potensi yang belum digarap dengan baik,
yakni pohon bambu. Itulah sebabnya, dia bersama dua rekannya, menggagas
pendirian Bambu Indah Nusantara (BIN) pada awal 2011. “Saya ingin
mengubah pola pikir masyarakat tentang bambu yang memiliki daya jual
tinggi,” ujar Ade yang telah meriset tanaman rumpun ini sejak 2002.
Mulanya, BIN mengajarkan masyarakat untuk membuat rumah ramah gempa
dengan bahan dasar bambu. Ade yang pernah berkunjung ke Jepang, melihat
banyak rumah tahan gempa di sana yang terbuat dari bambu.
Selain
membuat rumah bambu, warga juga mengolah bambu sebagai pengganti kayu
untuk lantai, furnitur, barang kerajinan, dan aneka perkakas.
Tentu keterlibatan warga itu tak serta merta. Ade harus lebih
memberikan sosialisasi dan motivasi pada warga tentang banyaknya produk
bisa dibuat dari bambu.
Ade juga mengajarkan cara menebang batang
bambu serta membelah bambu. Kemudian, BIN membeli bambu-bambu itu dengan
harga Rp 5.000 per meter.
Menurut Ade, harga ini lebih tinggi ketimbang harga yang ditawarkan
pengepul yang hanya Rp 2.000 hingga Rp 3.000 per meter. “Ini untuk
mendorong masyarakat agar lebih giat mengolah bambu,” kata Ade.
Selain
itu, BIN membeli bambu itu bertujuan mengurangi pengangguran.
Selanjutnya dari hasil pemasaran bambu ini, BIN akan memberikan bibit
pohon bambu sehingga tetap tercipta kesinambungan.
Ade menetapkan
konsep tebang satu batang bambu, tanam dua pohon bambu.
Dengan program ini, BIN ingin masyarakat mau menanam dan memelihara
bambu sebagai aset sekaligus mata pencaharian. “Saya berharap akan
tercipta siklus yang bisa mengurangi jumlah pengangguran, pengentasan
kemiskinan, pemberdayaan keterampilan masyarakat serta penghijauan,”
tutur Ade.
Ade yakin, produk olahan BIN bisa bersaing dengan berbagai
peralatan rumah tangga produk impor. “Kualitas produk dan harga
kerajinan bambu ini juga cukup bersaing,” ujarnya.
Ade menjual beragam produk berbahan bambu itu masih di seputar
Bandung. Konsumen BIN biasanya datang dari pengembang perumahan atau
perkantoran. “Kami juga sudah ada pembicaraan dengan desainer interior
salah satu perumahan di Bandung yang ingin melengkapi perabotan rumah
dengan bambu,” ungkap Ade.
Meski baru berjalan, BIN sudah mampu
mengumpulkan omzet hingga mencapai Rp 20 juta per bulan. Dari penjualan
bambu, warga Desa Cisompet pun bisa mengumpulkan omzet Rp 5 juta dari
1.000 batang bambu yang terjual per bulan.
Pria 50 tahun ini pun
berharap, program BIN ini tak hanya berlangsung di satu desa saja. “Kami
ingin melakukan program ini secara nasional,” ujar Ade bersemangat.
Sumber : jpmi.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar