Keinginannya untuk mandiri sedari dini, membuat Muktiningsih cerdas membaca berbagai peluang bisnis. Berawal dari dua potong pakaian kreditan, kini ia memiliki butik megah Mega Fashion dan sejumlah bisnis lainnya.
Sebuah foto keluarga berukuran besar tergantung di ruang tamu di rumahnya yang megah di Jalan Jagalan Kediri. Mirip. Mirip sekali dengan penyanyi Cici Paramida. Semula saya tidak mengira bahwa foto tersebut adalah milik sang empunya rumah, pasangan Muktiningsih dan Agus Purnomo
yang mengapit putri semata wayangnya Elke.
yang mengapit putri semata wayangnya Elke.
Di depan rumahnya persis (hanya dipisahkan gang) berdiri kokoh butiknya Mega Fashion. Pada lantai pertama terpajang semua produk fesyen mulai dari pakaian, tas, asesoris, parfum dan produk- produk mode lainnya. Di lantai dua terhampar ruangan untuk gym, pelatihan dansa dan ruangan layanan perawatan kecantikan serta kesehatan Roemah Cantik Langsing. Tak pernah ada yang mengira bisnis sebesar itu bermula dari dua potong pakaian.
Muktiningsih, yang akrab disapa Mbak Ning oleh para pelanggannya, memulai usaha ketika duduk di bangku SMA di Kediri. Awalnya ia membeli dua potong pakaian dari orangtua temannya yang berjualan pakaian. “Waktu saya pakai ada teman lain yang tertarik. Saat itu pikiran saya langsung bekerja, kenapa saya tidak berbisnis jual beli pakaian saja,” ungkap Ning.
Kemampuan menangkap peluang ini tidak terlepas dari rekaman di bawah sadar Ning yang diprogram secara berulang-ulang melalui pesan-pesan yang berulang-ulang juga dari orangtuanya. Sebagai anak pertama dari empat bersaudara di keluarganya Ning selalu menerima pesan dari orangtuanya,” Meskipun kamu seorang wanita, kamu harus mandiri sehingga suatu saat ketika kamu membantu adik-adikmu kamu tidak perlu merepotkan suami kamu,” ulang Ning tentang pesan
orangtuanya.
orangtuanya.
Pemograman bahwa sadar tentang kemandirian inilah yang membuat Ning memutuskan untuk berjual
beli pakaian saat temannya mengaku tertarik pakaian yang dikenakan Ning. Ia membeli beberapa potong pakaian dari orangtua temannya dan menjual lagi ke sejumlah teman lainnya. Dari jual-beli pakaian di lingkungan teman-teman sekolah itulah jiwa bisnis Ning terasah. Rumah orangtua Ning kebetulan dilewati ribuan karyawan rokok Gudang Garam.
beli pakaian saat temannya mengaku tertarik pakaian yang dikenakan Ning. Ia membeli beberapa potong pakaian dari orangtua temannya dan menjual lagi ke sejumlah teman lainnya. Dari jual-beli pakaian di lingkungan teman-teman sekolah itulah jiwa bisnis Ning terasah. Rumah orangtua Ning kebetulan dilewati ribuan karyawan rokok Gudang Garam.
Pernah suatu waktu ia melihat sejumlah karyawan antre di depan toko sembako orangtuanya untuk membeli keperluan sehari hari, semisal pasta gigi, shampoo dan sabun mandi. Ning melihat ketidakefisienan pelayanan dari orangtuanya sehingga banyak pembeli yang tidak terlayani. Oleh karena itu, Ning membuat terobosan dengan membungkus berbagai keperluan sehari-hari tersebut menjadi satu paket.
Berkat terobosan itu para pembeli dengan cepat terlayani dan omsetnya pun membengkak karena para konsumen tinggal mengambil paket tanpa harus antre. Bakat dagang Ning inilah yang menggerakkan orangtuanya untuk membangun toko pakaian kecil di samping toko sembakonya.
Harga kompetitif dan mode yang up to date adalah dua kunci dari beberapa kunci sukses berbisnis pakaian. Itu sebabnya Ning yang memutuskan diri tidak melanjutkan kuliah selepas SMA, tidak mau kulakan pakaian di Kediri, melainkan ke Kapasan Surabaya.
“Dengan naik kereta api, dua hari sekali saya pergi ke Kapasan Surabaya untuk kulakan,” tutur Ning.
Dalam waktu singkat Ning mendapat kepercayaan dari grosir pakaian di Kapasan. Dengan semakin banyaknya produk pakaian, Ning mulai memikirkan cara pemasarannya. Ia mulai menciptakan reseller di lingkungan karyawan rokok Gudang Garam.
Satu reseller bisa menghasilkan omset Rp20 juta hingga Rp25 juta/ bulan. “Pada tahun 1989/1990 saya memiliki sekitar 20 reseller,” ujarnya. Berarti Ning bisa menangguk omset Rp400 juta hingga Rp500 juta/bulan. Itu belum termasuk hasil penjualan dari tokonya sendiri. “Menjelang lebaran omset toko bisa mencapai Rp25 juta/hari,” papar Ning.
Namun masa booming langsung redup ketika perusahaan rokok Gudang Garam mewajibkan karyawannya berseragam. Untuk mempertahankan omset—dibantu suaminya Agus Purnomo—Ning membeli satu toko di Pasar Sonobetek, Kediri. Kejayaan berjualan pakaian sempat bertahan hingga beberapa tahun kemudian. Tetapi ketika di Kediri menjamur beberapa pusat perbelanjaan, omset toko pakaian Ning di Pasar Sonobetek turun drastis.
Di sinilah keberanian dan feeling bisnis Ning diuji. Keberadaan sejumlah tempat perbelanjaan di Kediri, alih-alih menciutkan nyali Ning, justru wanita kelahiran tahun 1969 ini mengambil langkah besar. Ia membeli tiga ruko sekaligus di Jalan Pattimura Kediri. Tiga ruko tersebut direnovasi dan disatukan menjadi Butik Mega Fashion. Menyadari Butik Mega Fashion tidak berada di tempat strategis, Ning melancarkan jurus baru dalam pemasarannya. Ia masuk dan tergabung dalam sejumlah kegiatan arisan.
Sekalipuan ia bukan istri dokter, arisan istri-istri dokter pun ia ikuti. Bahkan bukan hanya arisan yang anggotanya berlingkup di Kediri, arisan yang berada di Surabaya dan pesertanya tersebar di beberapa kota ia ikuti juga. “Sambil arisan, saya membawa produk-produk fesyen. Itulah cara saya memperkenalkan produk- produk,” ujarnya.
Tetapi dengan sasaran konsumen yang berbeda dari sebelumnya ini membuat Ning rela bolak-balik Jakarta-Kediri setiap minggunya untuk kulakan. Itu sebabnya meski ia berjualan di Kediri tetapi barometer modenya adalah Jakarta.
“Produk butik saya tidak kalah dengan tempat-tempat perbelanjaan mentereng di Kediri. Ini yang membuat konsumen saya masih terus berdatangan meski Mega Fashion tempatnya kurang strategis,” ungkap Ning tentang kiatnya mendatangkan pelanggan.
Ketika Ning memperluas usahanya ke pelatihan aerobik, senam, dansa dan perawatan kecantikan serta kesehatan Roemah Cantik Langsing, jurus mendatangkan pelanggan dengan masuk ke sejumlah arisan tetap dilakukan. Hasilnya “orang-orang penting” di Jalan Doho Kediri tercatat menjadi konsumen setianya.
“Dalam berbisnis saya memakai feeling. Bisnis apa yang menurut saya prospektif langsung saya jalankan tanpa menunda-nunda waktu,” tutur Ning tentang kiat bisnisnya. Pengakuan Ning sekaligus mengungkapkan bawah sadarnya yang sudah terinstall program Enter, bukan Entar.
Sumber : wirasmada.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar