Peluang Usaha apapun kalau dimanfaatkan semaksimal mungkin seringkali
menjadikan kesuksesan, seperti yang dialami Tri Sumono kini pengusaha
sukses dengan omzet ratusan juta. Ia mengawali langkahnya di dunia usaha
dengan menjadi pedagang aksesori kaki lima. Ulet dan tekun membuat
usahanya terus berkembang.
Pepatah lama yang menyatakan "hidup seperti roda berputar" tampaknya
berlaku bagi Tri Sumono. Berawal dari menjadi kuli bangunan hingga
tukang sapu, kini Tri sukses menjadi pengusaha beromzet ratusan juta
rupiah per bulan.
Lewat perusahaan CV 3 Jaya, Tri Sumono mengelola banyak cabang peluang
usaha, antara lain, produksi kopi jahe sachet merek Hootri, toko
sembako, peternakan burung, serta pertanian padi dan jahe. Bisnis
lainnya, penyediaan jasa pengadaan alat tulis kantor (ATK) ke berbagai
perusahaan, serta menjadi franchise produk Ice Cream Campina. "Saya juga
aktif jual beli properti," katanya.
Dari berbagai lini usahanya itu, ia bisa meraup omzet hingga Rp 500 juta
per bulan. Pria kelahiran Gunung Kidul, 7 Mei 1973, ini mengaku tak
pernah berpikir hidupnya bakal enak seperti sekarang.
Terlebih ketika ia mengenang masa-masa awal kedatangannya ke Jakarta.
Mulai merantau ke Jakarta pada 1993, pria yang hanya lulusan sekolah
menengah atas (SMA) ini sama sekali tidak memiliki keahlian.
Ia nekat mengadu nasib ke Ibu Kota dengan hanya membawa tas berisi kaus
dan ijazah SMA. Untuk bertahan hidup di Jakarta, ia pun tidak
memilih-milih pekerjaan.
Bahkan, pertama bekerja di Jakarta, Tri menjadi buruh bangunan di
Ciledug, Jakarta Selatan. Namun, pekerjaan kasar itu tak lama
dijalaninya. Tak lama menjadi kuli bangunan, Tri mendapat tawaran
menjadi tukang sapu di kantor Kompas Gramedia di Palmerah, Jakarta
Barat.
Tanpa pikir panjang, tawaran itu langsung diambilnya. "Pekerjaan sebagai
tukang sapu lebih mudah ketimbang jadi buruh bangunan," jelasnya.
Lantaran kinerjanya memuaskan, kariernya pun naik dari tukang sapu
menjadi office boy. Dari situ, kariernya kembali menanjak menjadi tenaga
pemasar dan juga penanggung jawab gudang.
Pada tahun 1995, ia mencoba mencari tambahan pendapatan dengan
memanfaatkan peluang usaha berjualan aksesori di Stadion Gelora Bung
Karno, Jakarta. Saat itu, Tri sudah berkeluarga dengan dua orang anak.
Selama empat tahun peluang usaha Tri Sumono berjualan produk-produk
aksesori, seperti jepit rambut, kalung, dan gelang di Jakarta. Berbekal
pengalaman dagang itu, tekadnya untuk terjun ke dunia bisnis semakin
kuat. "Saya dagang aksesori seperti jepit rambut, kalung, dan gelang
dengan modal Rp 100.000," jelasnya.
Setiap Sabtu-Minggu, Tri rutin menggelar lapak di Stadion Gelora Bung
Karno. Dua tahun berjualan, modal dagangannya mulai terkumpul lumayan
banyak.
Dari sanalah ia kemudian berpikir bahwa berdagang ternyata lebih
menjanjikan ketimbang menjadi karyawan dengan gaji pas-pasan. Makanya,
pada tahun 1997, ia memutuskan mundur dari pekerjaannya dan fokus untuk
berjualan.
Berbekal uang hasil jualan selama dua tahun di Gelora Bung Karno, Tri
berhasil membeli sebuah kios di Mal Graha Cijantung. "Setelah pindah ke
Cijantung, bisnis aksesori ini meningkat tajam," ujarnya.
Tahun 1999, ada seseorang yang menawar kios beserta usahanya dengan
harga mahal. Mendapat tawaran menarik, Tri kemudian menjual kiosnya itu.
Dari hasil penjualan kios ditambah tabungan selama ia berdagang, ia
kemudian membeli sebuah rumah di Pondok Ungu, Bekasi Utara. Di tempat
baru inilah, perjalanan bisnis Tri dimulai.
Pengalaman berjualan aksesori sangat berbekas bagi Tri Sumono. Ia pun
merintis usaha toko sembako dan kontrakan. Sejak itu, naluri bisnisnya
semakin kuat.
Saat itu, ia langsung membidik usaha toko sembako. Ia melihat, peluang
bisnis ini lumayan menjanjikan karena, ke depan, daerah tempatnya
bermukim itu bakal berkembang dan ramai. "Tapi tahun 1999, waktu saya
buka toko sembako itu masih sepi," ujarnya.
Namun, Tri tak kehabisan akal. Supaya kawasan tempatnya tinggal kian
ramai, ia kemudian membangun peluang usaha sebanyak 10 rumah kontrakan
dengan harga miring. Rumah kontrakan ini diperuntukkan bagi pedagang
keliling, seperti penjual bakso, siomai, dan gorengan.
Selain mendapat pemasukan baru dari usaha kontrakan, para pedagang itu
juga menjadi pelanggan tetap toko sembakonya. "Cara itu ampuh dan banyak
warga di luar Pondok Ungu mulai mengenal toko kami," ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, naluri bisnisnya semakin kuat. Tahun 2006,
Tri melihat peluang bisnis sari kelapa. Tertarik dengan peluang itu, ia
memutuskan untuk mendalami proses pembuatan sari kelapa. Dari informasi
yang didapatnya diketahui bahwa sari kelapa merupakan hasil fermentasi
air kelapa oleh bakteri Acetobacter xylium.
Untuk keperluan produksi sari kelapa ini, ia membeli bakteri dari
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor. "Tahap awal saya
membuat 200 nampan sari kelapa," ujarnya.
Sari kelapa buatannya itu dipasarkan ke sejumlah perusahaan minuman.
Beberapa perusahaan mau menampung sari kelapanya. Tetapi, itu tidak
lama. Lantaran kualitas sari kelapa produksinya menurun, beberapa
perusahaan tidak mau lagi membeli. Ia pun berhenti memproduksi dan
memutuskan untuk belajar lagi.
Untuk meningkatkan kualitas sari kelapa, ia mencoba berguru ke seorang
dosen Institut Pertanian Bogor (IPB). Mulanya, dosen itu enggan
mengajarinya karena menilai Tri bakal kesulitan memahami bahasa ilmiah
dalam pembuatan sari kelapa. "Tanpa sekolah, kamu sulit menjadi produsen
sari kelapa," kata Tri menirukan ucapan dosen kala itu.
Namun, melihat keseriusan Tri, akhirnya sang dosen pun luluh dan mau
memberikan les privat setiap hari Sabtu dan Minggu selama dua bulan.
Setelah melalui serangkaian uji coba dengan hasil yang bagus, Tri pun
melanjutkan kembali produksi sari kelapanya.
Saat itu, ia langsung memproduksi 10.000 nampan atau senilai Rp 70 juta.
Hasilnya lumayan memuaskan. Beberapa perusahaan bersedia menyerap
produk sari kelapanya. Sejak itu, perjalanan bisnisnya terus berkembang
dan maju.
Sumber : peluangusahamakmur.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar