Dilandasi niat meneruskan usaha milik orang tuanya yang nyaris kolaps
dan ingin membantu perekonomian warga sekitar, Muyati, 55, sukses
menggeluti usaha kerupuk mi.
Menyebut kerupuk mi sulit dilepaskan dari Desa Harjosari Lor,
Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Sebagian besar
masyarakat desa ini menggeluti usaha kerupuk mi.
Desa Harjosari Lor dikenal sebagai sentra usaha kerupuk mi terbesar
di Kabupaten Tegal. Produksi kerupuk dari daerah ini tak hanya dipasok
untuk wilayah Tegal, namun telah merambah daerah sekitarnya. Seperti
usaha kerupuk mi yang dijalankan Muyati, pemasaran produknya telah
menembus pasar hingga keluar Jawa.
Produksi usaha milik Muyati kini telah mencapai 10 ton per bulan
dengan omzet puluhan juta rupiah. Muyati pun mengaku bersyukur dan
bahagia, usaha yang dia geluti sejak 35 tahun silam itu kini telah
berkembang dan menjadi besar.
Pencapaian kesuksesan itu tak dilalui oleh Muyati dengan lancar dan
mulus tanpa halangan. Selama lebih dari tiga dasawarsa dia mengembangkan
usahanya dari kecil hingga kini berkembang pesat melalui perjuangan dan
susah payah.
Muyati memulai bisnisnya pada Januari 1975, meneruskan usaha kerupuk
mi yang telah dirintis orang tuanya, Darto (almarhum). Bermodal dua
kuintal tepung tapioka, bahan baku utama membuat kerupuk mi, Muyati
memberanikan diri meneruskan usaha tersebut. Dia dibantu suaminya,
Kasmuri, 60.
Dengan bekal ilmu cara membuat kerupuk mi saja ibu lima anak ini
mulai menjalankan usahanya dari nol. “Modal tepung itu saya gunakan
untuk membuat 190 kg kerupuk mi,” kata Muyati.
Seluruh proses pembuatan kerupuk mi saat itu digarap sendiri oleh
Muyati dan suaminya. Dari membeli bahan baku, mencetak, menjemur dan
menggoreng, hingga memasarkan kerupuk mi yang sudah jadi. Tiga bulan
berlalu, usaha yang digeluti Muyati pelan tapi pasti menunjukkan
peningkatan.
Dia pun mengajak tiga orang tetangganya untuk membantu, kemudian dia
jadikan karyawan. “Mereka membuat mi hingga ikut mengedarkan ke
pasar-pasar. Saat itu pendapatan per bulan hanya Rp1.520.000. Itu masih
(penghasilan) kotor karena belum dipotong biaya membeli tepung sebesar
Rp950 ribu dan membayar karyawan,” ujarnya.
Keuntungan yang tidak seberapa itu tak lantas mematahkan semangat
Muyati untuk terus menggeluti usahanya. Apalagi pemasaran mi saat itu
masih sangat susah. Dalam setahun Muyati kadang tidak memproduksi hingga
empat bulan karena kerupuk mi tidak laku. “Dulu tidak banyak orang yang
kenal dengan kerupuk mi buatan saya,” kenang Muyati.
Pada awal merintis usaha, dia hanya memasarkan produk kerupuk mi di
wilayah Tegal, Brebes, dan Slawi. Pemasarannya pun masih dia lakukan
dengan berkeliling ke pasar-pasar dan menitipkan kerupuk di toko-toko.
Saat itu, Muyati masih menggunakan sepeda motor untuk memasarkan
makanan pendamping ini. “Kerupuk mi yang saya bawa masih sedikit, hanya
10 kg. Itu pun tidak laku semua,” katanya.
Namun, dengan semangat untuk menghidupi keluarga dan membantu
masyarakat sekitarnya, usaha kerupuk yang dikembangkan Muyati mulai
menunjukkan kemajuan.
Dia lalu mencoba peruntungan dengan memasarkan kerupuknya ke
Pekalongan, Semarang, hingga Jakarta dan Bandung. Bahkan tak jarang
Muyati tidak pulang selama beberapa hari sebelum kerupuk mi yang
dibawanya terjual.
Jerih payah perempuan yang hanya menamatkan sekolah dasar (SD) ini
ternyata tidak sia-sia.Produk kerupuk buatannya mulai diminati
masyarakat. Muyati mulai merasakan kesuksesan pada 1980 dan berlanjut
hingga saat ini. Jumlah karyawannya pun terus bertambah menjadi 24
orang.
Muyati bahkan mampu membeli rumah dan satu unit mobil truk untuk
memasarkan kerupuk buatannya. Tak hanya itu, dia mampu menguliahkan
kelima anaknya.
Pesanan kerupuknya juga datang dari sejumlah daerah hingga luar Jawa
seperti Medan. Setiap pekan Muyati kini mampu mengirim 2,5 ton kerupuk
mi dari semula hanya 190 kg seharga Rp16,25 juta.
Dengan demikian, setiap bulannya Muyati mampu meraup omzet Rp65 juta.
Terlebih jika bulan puasa, permintaan kerupuk mi meningkat tajam hingga
tiga kali lipat. Meningkatnya pesanan ini menuntut Muyati memperluas
lahan yang digunakannya sebagai tempat proses produksi.
Lahan yang dipakai sebagai tempat pembuatan kerupuk mi tidak jauh
dari rumahnya, tepatnya di samping kanan rumah seluas sekitar 200 meter
persegi. Meski telah menuai kesuksesan, tidak mudah bagi Muyati untuk
mempertahankan itu. Banyak hambatan dan rintangan yang harus dia hadapi.
Tingginya harga bahan baku tepung tapioka yang kini menembus Rp480
ribu per kuintal, minimnya modal untuk mengembangkan usaha, hingga
ditipu bakul atau pengepul mi pernah dia alami. “Saya ditipu dua orang
bakul mi dari Bandung hingga Rp70 juta. Barang sudah dikirim, tapi saya
hanya dikasih cek kosong,” keluhnya.
Meski demikian, Muyati tidak patah arang dan tetap membuat kerupuk
mi. Dalam menjalankan usaha ini Muyati memiliki niat ikut membantu
ekonomi masyarakat di sekitarnya. “Kasihan mereka, kalau tidak bekerja
tidak bisa makan,” tuturnya.
Perempuan yang memiliki prinsip melestarikan usaha warisan orang tua
dan membantu masyarakat ini optimistis usahanya akan tetap berkembang
dan diminati masyarakat, meski saat ini banyak produk makanan kecil
pabrikan.
Keyakinannya tampak nyata setelah tiga anaknya yang sudah menyandang
gelar sarjana memilih menggeluti usaha kerupuk mi dibandingkan menjadi
karyawan perusahaan atau PNS. “Saya yakin kerupuk mi akan tetap bertahan
bila dikelola dengan manajemen yang baik,” ujarnya.
Sumber :wirasmada.wordpress.com
selamat ya bu :)
BalasHapus