Nasib tidak jatuh dari langit, tapi harus diperjuangkan. Agaknya,
Denni Delyandri menyadari betul pepatah ini. Dengan perjuangan yang
keras, ia berhasil mengubah nasibnya menjadi seorang pengusaha yang
sukses.
Antara 2003 sampai 2006, Denni sejatinya sempat menjadi pegawai di PT
Casio di Batam. Namun, Denni merasa gaji yang ia terima tak cukup untuk
membahagiakan keluarganya. “Sebagai assistant engineer, saya harus puas
dengan gaji kecil,” ujarnya.
Padahal, ketika pertama kali masuk kantor, lulusan fakultas teknik
Universitas Andalas, Padang, itu membayangkan bisa mempunyai rumah dan
mobil serta membahagiakan orang tuanya di kampung.
Batinnya semakin terusik ketika ia mempersunting rekan satu
almamaternya, Selvi Nurlia pada 2004. Ketika perut sang istri mulai
buncit, Denni sadar ia harus segera melakukan sesuatu untuk menambah
penghasilannya.
Setelah berdiskusi dengan sang istri, Denni akhirnya memilih
berjualan kerupuk udang dengan modal seadanya. Sambil tetap bekerja, ia
memasarkan kerupuk bikinan istrinya itu ke restoran-restoran Padang
disekitar daerah Batuaji, Batam.
Usaha sampingannya itu menghasilkan tambahan pendapatan Rp 800.000
perbulan. Tapi, ini tak berlangsung lama. Denni berhenti berjualan
hingga sang istri melahirkan.
Setelah penanggung jawab produksinya itu sudah fit, Denni kembali
berjualan. Kali ini, ia berdagang kue klepon, juga buatan istrinya.
Kue-kue itu ia jual di kantin -kantin perusahaan, termasuk di kantor
Casio tempatnya bekerja. “Biasanya, pagi saya titipkan, sore saya
ambil,” ujar bapak tiga anak ini. Hebatnya, hasil penjualan klepon itu
melebihi dua kali gaji bulanan Denni.
Karena tengah mengantongi penghasilan di atas gaji bulanannya, Denni
pun mundur dari Casio pada 2006. Bersama sang istri, Denni mantap
menjajaki dunia baru sebagai pengusaha.
Kali ini, Denni dan Selvi memilih membangun rumah makan Padang.
Sebab, Denni dan istrinya berasal dari ranah Minang. Sebagai modal awal,
mereka menggunakan pinjaman bank Rp 10 juta.
Selanjutnya, Denni mendirikan rumah makan di daerah Batuaji. “Rumah
makan tersebut saya kelola dengan sistem bagi hasil 50:50 dengan
karyawan saya,” kenang Denni.
Sekembalinya dari kampung halamannya di Padang, Sumatera Barat, Denni
mengajak istrinya, Selvi Nurlia, berbisnis kek pisang (bolu pisang).
Kebetulan, sang istri piawai membuat kek pisang. Maklum, bolu pisang
merupakan salah satu jenis panganan yang cukup populer di Padang.
Denni dan Selvi membuat kek pisang dari pisang ambon lokal. Rasanya
yang legit dan manis membuat banyak orang menyukainya. Kek pisang pun
cocok menjadi oleh-oleh karena tahan seminggu tanpa dimasukkan ke dalam
lemari pendingin.
Awalnya, Denni hanya memasarkan kek pisangnya ke tetangga sekitar.
Mendapat sambutan positif, dia pun memasarkannya lewat teman-teman
sekantornya dengan sistem bagi hasil. “Harga per loyang Rp 15.000,
komisi mereka Rp 3.000 per loyang,” ujar Denni.
Lewat pemasaran model ini, dalam sehari Denni bisa menjual 40 loyang
bolu pisang. “Untuk membuatnya, saya dan istri sampai begadang
semalaman,” kenang pria berkacamata ini.
Kek pisang Denni semakin laris. Tahun 2007, pesanan yang masuk sudah
mencapai 150 loyang per hari. Saat itu, Denni mengantongi omzet hingga
Rp 1 miliar per tahun dengan marjin Rp 312 juta.
Tak cepat puas, Denni kian gencar mempromosikan kek pisangnya, mulai
lewat brosur hingga memasang billboard yang menyebutkan kek pisangnya
sebagai makanan khas Batam. “Batam, ya Kek Pisang Villa” demikian bunyi
slogan promosi Denni.
Ide Denni memposisikan bolu pisang buatannya menjadi oleh-oleh khas
Batam muncul lantaran banyak orang memesan kek pisang buatannya untuk
dijadikan oleh-oleh.
Kebetulan pula, saat itu Pemerintah Kota (Pemkot) Batam sedang
giat-giatnya mempromosikan pariwisata Batam. Maka, lahirnya kek pisang
Villa sebagai oleh-oleh Batam mendapat dukungan Pemkot Batam.
Pertengahan 2008, Denni mendapat kredit dari Bank Bukopin sebesar Rp
500 juta. Dia menggunakan dana tersebut untuk membangun lima gerai
penjualan di Batam Center, Nagoya Penuim, Batuaji, dan di bandara Batam.
Sekarang, dibantu oleh 56 orang pegawai, Denni dan istri membuat
sekitar 800 kek pisang per hari. Jumlah produksinya meningkat menjadi
1.000 loyang saat musim liburan. Jumlah tersebut tergolong besar, maklum
Denni belum punya banyak saingan di Batam. Dalam sebulan, kini Denni
berhasil meraup omzet Rp 900 juta.
Sukses berbisnis kek pisang juga mengantar Denni menjadi juara I UKM
terbaik se Kepulauan Riau 2008. Dia juga berhasil menjadi juara III
Wirausaha Muda Mandiri tingkat nasional dan menerima penghargaan yang
diserahkan Wapres Jusuf Kalla.
Untuk meningkatkan penjualan produk kek (bolu) pisang
buatannya,Denni Delyandri membuka outlet baru di Bandara Batam. “Dulu,
saya hanya menempatkan sales di situ. Kini, saya lakukan cara jemput
bola,” ujar pria berdarah Padang kelahiran Magelang 29 tahun silam ini.
Selain itu, pria berkacamata ini juga rajin menyebar sales di beberapa
agen wisata di Batam.
“Kami adakan kerjasama dengan mereka untuk membawa turis ke
outlet-outlet Kek Pisang Villa,” imbuh Denni. Ia juga menempatkan sales
di hotel – hotel ternama di Batam. Selanjutnya, Denni rajin
bereksperimen membuat banyak varian rasa kek pisang. Ia mencoba membuat
kek pisang dengan rasa keju, rasa blueberry, rasa buah kering, serta
rasa cokelat dan kacang mete. Selain kek pisang, Denni juga mulai
menjajakan barang dagangan lain. Ia menjual kue ulang tahun hingga kue
lapis surabaya. Saat ini, gerai Kek Pisang Villa menjual lebih dari 80
jenis kue dan kek.
Denni pun agresif memasarkan produknya lewat internet. Ia membuat situs www.kekpisangvilla.com untuk meningkatkan nilai tambah produknya, “Ada layanan free delivery
service dengan minimal pesanan satu paket Rp 140.000,” tutur Denni
setengah berpromosi. Hasilnya, produk Denni langsung jadi top. Lima
gerai milik Denni kewalahan menerima pesanan. Pengusaha muda ini lantas
berniat mendirikan gerai baru.
“Mudahan tahun ini bisa tambah satu gerai lagi di Batam,” ujar bapak
tiga anak ini. Konon, gerai Kek Pisang Villa dilirik investor Malaysia.
Denni juga tengah mematangkan rencana mengembangkan usahanya ke luar
Batam. Ia mengincar Pekanbaru, Padang, dan Jambi. Tapi, Denni berencana
untuk lebih fokus mengembangkan makanan khas masing-masing daerah itu,
ketimbang membawa kek pisang Villa. Sebab, menurutnya, makanan di tiap
daerah punya potensi besar untuk dikembangkan.
“Di Bandung saja ada
brownies Amanda dan molen Kartika Sari. Masa di tempat lain tidak bisa?”
ujarnya yakin.
Sayangnya, Denni belum bersedia menyebutkan nama produk makanan khas
baru tersebut. Ia juga tidak merinci kapan ia akan mulai mewujudkan
rencana besarnya tersebut. Saat ini, Denni juga menikmati kesibukan
barunya mengisi seminar di almamaternya, Universitas Andalas, Padang.
“Saya menjadi dosen terbang nih, ceritanya,” cetus Denni sembari
tertawa. Namun, ia tak mengajar Teknik Elektro, jurusan yang diambilnya
sewaktu kuliah. Denni mengajar kewirausahaan kepada para mahasiswa.
Uniknya, walaupun sukses, Denni tidak berencana mewariskan usahanya
kepada ketiga putranya. Ia lebih senang anak-anaknya memiliki usaha
sendiri.
Sumber : ceragita.wordpress.com
inspiratif sekali,,semoga saya bisa juga bisa
BalasHapusinspiratif sekali,,semoga saya bisa juga bisa
BalasHapus