Anak yang bodoh di sekolah belum tentu tidak sukses dalam hidupnya di
kemudian hari. “Sekolah saya enggak pintar, bahkan enggak suka
sekolah,” kenang Presiden Direktur Es Teler 77 tentang masa kecilnya.
Dua kali tidak naik kelas, dan yang naik pun berada di rangking 40-an di
antara 50 siswa. Karena itulah SMA-nya cuma tiga bulan.
Akhirnya kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, ini dikirim ayahnya, Hoo
Ie Kheng, ke Jakarta, kepada pamannya. Ke Ibu Kota dengan harapan
melanjutkan sekolah, tapi apa kata sang paman? “Enggak usah sekolah,
nanti saya latih dagang saja,” ujar Sukyatno menirukan ucapan pamannya.
Beberapa tahun kemudian, Sukyatno sukses dengan Es Teler 77 yang juga
memiliki cabang di Malaysia, Singapura, Australia, dengan total pekerja
tiga ribu orang. Dan penyandang gelar doktor honoris causa ini malah
berceramah di banyak universitas tentang bisnis franchise.
Awalnya, pria yang dulu bernama Hoo Tjioe Kiat ini menjadi penjaja
(salesman) macam-macam barang: kancing baju, sisir, barang elektronik.
Setiap hari dari Pasar Pagi, Jakarta Barat, ia naik oplet atau sepeda ke
Jatinegara dan Jalan Sudirman, keduanya di Jakarta Pusat —yang dulu
banyak dipenuhi toko besi—lalu ke Tanjungpriok, Jakarta Barat. Tidak mau
mengaku di mana tempat berjualannya, ia pernah dicurigai menjual
barang-barang curian.
“Saya sempat putus asa,” kata Sukyatno. Pamannya memberi pelajaran:
“Kalau kamu datang sekali enggak bisa, datangi seribu kali. Kalau itu
saja kamu enggak bisa, berarti kamu goblok.”
Sambil tetap berjualan barang, Sukyatno juga mencoba jadi tengkulak
jual-beli tanah dan agen pengurusan surat izin mengemudi. Sampai pada
suatu ketika, 1978, ia menjadi pemborong, membangun rumah dinas pesanan
sebuah departemen. “Ketika bangunannya hampir jadi, saya mau dikeroyok
orang kampung. Ternyata itu tanah sengketa,” tuturnya. Akibatnya, ia
terpuruk utang, sampai untuk bayar uang sekolah anaknya saja ia tidak
mampu.
Ternyata Sukyatno mampu bangkit. Setelah membuka salon, ia membuat
usaha es teler, terinspirasi mertuanya yang menang lomba membuat es
teler. Namanya Es Teler 77 Juara Indonesia, pertama kali dibuka pada 7
Juli 1982. Selain mudah diingat, 77 adalah angka keberuntungan, katanya.
Dari tenda-tenda di emperan pertokoan, ia pindah ke Jalan Lombok I dan
Jalan Pembangunan, keduanya di Jakarta Pusat, karena digusur. Di dua
tempat ini masih berkonsep kaki lima juga.
Lalu, bermodal nekat, pada 1987 ia pun membuka franchise di Solo dan
Semarang, Jawa Tengah, sampai sekitar seratus buah. Ia akhirnya mulai
masuk plaza, 1994. Selain es teler, ia juga berjualan mi tektek dan ikan
bakar.
Walau sudah sukses, Sukyatno tetap merasa rakyat kecil. Menurut dia,
itu karena ia terbiasa hidup sengsara sejak kecil—pada usia enam tahun
sudah ditinggal ibunya, Lee Kien Nio, yang meninggal. “Sampai sekarang
saya masih senang makan di kaki lima, pakai pakaian biasa-biasa,”
katanya.
Berkeinginan keras dan tekun, pantang menyerah, dan fokus menekuni satu bidang usaha merupakan kiat sukses Sukyatno.
Menikah dengan Yenny Setia Widjaja, yang saat itu juga berjualan,
1970, Sukyatno ayah tiga anak. Ia sangat memperhatikan pendidikan
anak-anaknya, yang semuanya disekolahkan ke luar negeri. Ia juga
mendidik mereka agar punya kepedulian sosial.
Sumber : elqorni.wordpress.com
luar biasa sekali..
BalasHapusterima kasih telah menginspirasi saya untuk jangan pernah menyerah ketika jatuh,,