Visinya
sederhana tetapi amat kuat: batik harus bisa dipakai oleh semua
kalangan, baik tua maupun muda. Dan, Parang Kencana besutan Mariana
Sutandi pun sukses merangsek pasar batik kelas atas.
Jika diukur dari eksistensi merek batiknya, yakni Parang Kencana, jejak bisnis Mariana Sutandi memang baru berusia 17 tahun. Usia yang relatif muda untuk membangun sebuah merek. Namun, jika dilihat dari awal persentuhannya dengan industri batik, tak kurang dari 30 tahun Mariana telah menggeluti dunia yang dilimpahi kekayaan tradisi dan budaya itu.
Tiga puluh tahun merupakan usia yang dianggap matang untuk menjalani garis hidup yang diyakininya. Dan itulah memang yang dialami Parang Kencana, yang kini semakin matang menjelajahi industri batik premium di Indonesia. Dengan 30 gerai yang tersebar di berbagai pusat perbelanjaan ataupun kawasan elite seperti Plaza Senayan dan Kemang serta di gerbang pertemuan Indonesia dengan dunia luar, Bandara Soekarno-Hatta, Mariana dengan gigih mengibarkan Parang Kencana yang berciri khas batik tulis bermotif parang. “Parang adalah salah satu corak yang pakem dan banyak dipakai keluarga bangsawan,” ungkap Mariana. Pilihan yang dirasanya sangat sesuai dengan segmen premium yang disasarnya.
Hingga kini, busana batik premium yang diproduksinya dibanderol seharga Rp 500 ribu-5 juta lebih per potong, baik kemeja lengan pendek, kemeja lengan panjang, maupun busana wanita seperti blus, terusan, dan berbagai model lainnya. Sementara selendang batik, harga yang dipatok malah lebih premium lagi, misalnya ada yang menembus Rp 15 juta lebih per helai.
Per bulan, produksinya kini mencapai lebih dari 5 ribu potong busana bermotif batik dan ratusan kain batik dengan mengaryakan sekitar 70 karyawan, lima desainer batik, 7 desainer busana, serta tak kurang dari 400 perajin batik di Pekalongan, Cirebon dan Jakarta. Meski demikian, sesuai dengan segmen yang disasarnya, Mariana menjaga eksklusivitas produknya. Caranya, ia hanya memproduksi 1-20 potong dari setiap desain yang mencapai 70 desain baru setiap bulannya. Sementara untuk kain batik lebih eksklusif lagi, hanya ada satu potong setiap desainnya.
Sambil menyantap masakan Jawa yang dipesannya, Mariana menceritakan lika-liku bisnisnya kepada SWA di butik utamanya yang cukup luas dan rindang di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Lahir di Malang 60 tahun silam, Mariana telah bersentuhan dengan dunia perbatikan sejak masa bersekolah di Solo. Saat itu, ia kagum pada teknik pewarnaan dan pembuatan kain batik yang memiliki alur kerja berlapis-lapis. Mariana yang memang menyukai tantangan, terpesona pada kesulitan dan kerumitan pembuatan sehelai kain batik yang bisa memakan waktu 4-6 bulan.
Kekaguman ini berubah menjadi bisnis semasa menempuh kuliah hukum di Universitas Parahyangan, Bandung, pada 1962. Bungsu dari empat bersaudari ini lantas menjajakan batik yang dibawanya dari Pekalongan kepada teman-temannya.
Selepas kuliah, ia sempat bergabung di perusahaan suaminya yang bergerak di bidang logam. Meski demikian, melihat gairah bisnisnya yang menyala-nyala di dunia batik, dirinya lantas diminta memimpin perusahaan batik ternama sejak 1972 – proses yang dijalaninya hingga 1993.
Pada awal 1990-an itu, akhirnya modal dan terutama nyalinya, sudah cukup terkumpul untuk mengibarkan bendera sendiri dengan merek Parang Kencana. “Banyak pergolakan dalam diri saya ketika memutuskan untuk berdiri sendiri,” ujarnya. Dengan modal tabungan seadanya dan ditopang kecintaan terhadap batik tulis yang meletup-letup, Mariana akhirnya mengawali bisnis dari garasi rumahnya di kawasan Simpruk, Jak-Sel.
Ia kemudian memasukkan Parang Kencana ke Pasaraya, salah satu dari sedikit mal prestisius di masa itu, serta di butik di Terminal D Bandara Soekarno-Hatta. Pilihan itu bisa diraih lantaran memiliki koneksi di kedua lokasi premium tersebut. Tidak heran, karena Mariana, yang selalu menjadi ketua OSIS di SMP dan SMA itu, memang aktif di berbagai organisasi, salah satunya di Dewan Kerajinan Nasional. Dari berbagai organisasi itulah ia mengenal banyak pengusaha seperti Abdul Latif, pemilik Pasaraya.
Pengalaman sebagai pemimpin perusahaan batik yang cukup besar selama puluhan tahun membuatnya memiliki jaringan dengan para perajin batik tulis di Pekalongan, Cirebon dan Jakarta. Ia bersyukur, berkat pola ibu asuh yang kerap diterapkan pada perajin, ia mendapat sokongan penuh dalam bentuk keluwesan pembayaran dari para perajin. Sebabnya sederhana, sejak dulu Mariana kerap membina perajin yang bekerja sama dengannya, mulai dari aspek desain hingga manajemen usaha, sehingga mereka dipercaya pihak perbankan.
Bisnis Mariana pun berkembang pesat. Perkembangan terbesar dicapai pada 2007. “Jujur, saya tidak tahu sebabnya. Tapi, saat krisis menerpa, seingat saya penjualan langsung melonjak sangat tinggi,” ibu dua putra dan satu putri itu – yakni Irwan Sutandi (41 tahun), Erry Sutandi (36 tahun) dan Ivonne Sutandi – menguraikan.
Mariana mengaku, awalnya selalu menggunakan dana pribadi untuk memutar roda bisnisnya. Namun, suatu ketika ia ditegur seorang teman yang memiliki bank. Menurut sang teman, dana pribadi jangan sepenuhnya dikucurkan untuk bisnis, harus ada pembagian risiko. Mariana mengikuti saran sang teman dan bisnisnya pun melaju. Beragam kreasi lahir dari tangannya. Antara lain, ia mengeluarkan seri Liris untuk pasar yang lebih muda pada 2000. “Saya ingin semua kalangan, baik tua maupun muda, memakai batik,” ujarnya memaparkan visinya.
Akhirnya, Liris diluncurkan dengan mengundang berbagai kalangan anak muda kelas atas di Jakarta. Liris, yang mengusung warna cerah dan desain kontemporer, sukses. Sejak itu, para desainer dan butik batik mengikuti jejaknya.
Sejak tahun 2000-an pula, satu per satu anak dan menantu Mariana dimagangkan di dalam perusahaan. Diawali oleh Irwan Sutandi yang kini mengurusi bagian produksi, lalu Erry Sutandi yang mengelola pemasaran, dan menantunya Meity Sutandi, istri Erry, yang diarahkan di lini penelitian, pengembangan dan desain. Dengan posisi sebagai komisaris, Mariana kini mengajarkan business wise yang dimilikinya dikombinasikan dengan manajemen modern yang dikuasai anak-anaknya.
Di sisi promosi, Mariana mengakui Parang Kencana jarang beriklan. Kendati demikian, ia tak kehabisan akal untuk berpromosi. Misalnya, bekerja sama dengan media fashion seperti Femina untuk pemakaian busana di sesi pemotretan modelnya. Juga, ia kerap menggelar show bersama perancang busana batik lain. Tak ketinggalan, pameran di beberapa negara seperti Turki juga pernah diikutinya.
Dalam hal manajemen perusahaan, Mariana mengaku memberi kebebasan walau dengan bimbingan dirinya. Semisal kepada Meity, ia membiarkan sang menantu mengalami kesalahannya sendiri. “Untuk bisa mengatakan sebuah batik itu baik atau tidak, dia harus merasakan sendiri, dan melihat sendiri. Tugas saya adalah membimbing mereka,” ujarnya menegaskan.
Mariana memang memiliki semangat kepemimpinan progresif. Ia membina anak muda untuk melanjutkan estafet kepemimpinannya. Selain dirinya, jajaran kunci seperti desain busana juga dipegang oleh orang muda. Bahkan, bisa dibilang sangat muda. Sebagai contoh, salah satu desainer busana Parang Kencana dipercayakan pada Evelyn Fransisca, lulusan terbaik sekolah mode Esmod jurusan desainer fashion yang baru berusia 22 tahun. “Saya tidak khawatir, mereka harus belajar dulu, kalau mereka salah ya tidak apa-apa, asal jangan diulangi lagi kesalahannya,” ujar Mariana.
Eve, sapaan akrab Evelyn, mengakui banyak mempelajari dunia batik dari Mariana. Dan dengan gaya kepemimpinan Mariana tak pelak Eve mengaku kagum pada bosnya. Sebab, selain Mariana hingga kini masih membimbing langsung tim litbang dan desain Parang Kencana, juga mengizinkan anak-anak muda itu mencoba hal baru. “Meski Ibu Mariana tidak menyetujui tapi dia tetap membolehkan kami melakukan tes pasar. Lalu, jika kurang berhasil di pasar, dia akan menganggap itu sebagai pelajaran bagi kami,” ungkap Eve, yang bersama timnya diminta Mariana menghasilkan 35 desain busana wanita per bulan.
Keberanian Mariana memercayai orang muda juga diapresiasi oleh Sonny Muchlison, dosen Institut Kesenian Jakarta, yang juga pengusaha batik premium dengan label Sonny. “Dengan desainer busana muda, Mariana melakukan penyegaran desain untuk mengombinasikan dengan desainer lama yang ada di perusahaannya,” ujarnya.
Mariana sendiri tidak melulu sukses dalam bisnis. Ia pernah merugi akibat pelanggan yang cukup terpercaya dari Malaysia tidak diketahui rimbanya setelah menerima produk Mariana. Selain itu, kenangan yang cukup membekas dalam dirinya adalah peristiwa pembajakan beberapa karyawan intinya di pertengahan tahun 2000 oleh sebuah label batik baru yang kini cukup sukses. “Ini off the record,” Mariana menegaskan, pada awalnya. Namun setelah dijelaskan bahwa SWA tidak berniat memanas-manasi situasi, ia akhirnya membolehkan SWA mengutip peristiwa pembajakan itu tetapi tak menyebut perusahaan batik mana yang telah membajak para karyawannya itu.
Bagaimana mengatasi kondisi tersebut? Mendengar pertanyaan ini, Mariana tampak merenung. “Saat kita kesulitan, jangan mengeluh. Tapi memohon ampun kepada Tuhan atas kesalahan kita sehingga mengalami hal ini. Tuhan tidak akan meninggalkan kita jika kita jujur di hadapan-Nya,” tutur Mariana.
Dengan sikapnya, Mariana yang aktif melayani di gereja, justru merasakan berkat Tuhan. Entah ada hubungannya atau tidak, ia mengaku usahanya tidak goyah sedikit pun. Bahkan, Mariana yang mendirikan Yayasan Umat Peduli untuk membantu pembangunan sekolah-sekolah di Indonesia bersama teman-temannya, semakin terpacu untuk berinovasi. Desain baru terus digelontorkan ke pasar. Lalu, pegawai baru yang relatif masih hijau langsung dipekerjakan, di bawah bimbingan intensif Mariana tentunya.
Keyakinannya terbukti membuat bisnisnya tetap melaju. Rata-rata bisnisnya tumbuh 15%-20% per tahun. Tak cuma itu, sejak pertengahan 2010, Parang Kencana diizinkan membuka gerai di lantai dasar Plaza Senayan. Padahal, menurut Mariana, mal elite tidak biasanya memberikan tempat bagi merek etnik Indonesia. “Ini tidak mudah. Pendekatannya saja setahun lebih,” ujarnya seraya tersenyum, tanpa bisa menyembunyikan kegembiraannya.
Mariana kini sudah bersiap melangkah lebih jauh. Jika berjalan sesuai dengan rencana, Desember ini workshop terbaru Parang Kencana akan dibuka di kawasan Cengkareng. Peningkatan produksi ini tentu saja untuk memenuhi permintaan pasar yang melaju cepat. Meski begitu, ia mengaku tidak akan memutuskan pasokan dari para perajin batik yang selama ini setia mengiringi bisnisnya. “Saya tidak mau mematikan orang lain,” ujarnya.
Selain itu, tahun depan, ia akan merilis Parang Kencana Kids untuk anak-anak dan bersiap membuka butik di kawasan Orchard Road, Singapura. Sebuah langkah yang sesuai dengan visinya yang sederhana tetapi kuat, yakni batik harus bisa dipakai semua kalangan.
Jika diukur dari eksistensi merek batiknya, yakni Parang Kencana, jejak bisnis Mariana Sutandi memang baru berusia 17 tahun. Usia yang relatif muda untuk membangun sebuah merek. Namun, jika dilihat dari awal persentuhannya dengan industri batik, tak kurang dari 30 tahun Mariana telah menggeluti dunia yang dilimpahi kekayaan tradisi dan budaya itu.
Tiga puluh tahun merupakan usia yang dianggap matang untuk menjalani garis hidup yang diyakininya. Dan itulah memang yang dialami Parang Kencana, yang kini semakin matang menjelajahi industri batik premium di Indonesia. Dengan 30 gerai yang tersebar di berbagai pusat perbelanjaan ataupun kawasan elite seperti Plaza Senayan dan Kemang serta di gerbang pertemuan Indonesia dengan dunia luar, Bandara Soekarno-Hatta, Mariana dengan gigih mengibarkan Parang Kencana yang berciri khas batik tulis bermotif parang. “Parang adalah salah satu corak yang pakem dan banyak dipakai keluarga bangsawan,” ungkap Mariana. Pilihan yang dirasanya sangat sesuai dengan segmen premium yang disasarnya.
Hingga kini, busana batik premium yang diproduksinya dibanderol seharga Rp 500 ribu-5 juta lebih per potong, baik kemeja lengan pendek, kemeja lengan panjang, maupun busana wanita seperti blus, terusan, dan berbagai model lainnya. Sementara selendang batik, harga yang dipatok malah lebih premium lagi, misalnya ada yang menembus Rp 15 juta lebih per helai.
Per bulan, produksinya kini mencapai lebih dari 5 ribu potong busana bermotif batik dan ratusan kain batik dengan mengaryakan sekitar 70 karyawan, lima desainer batik, 7 desainer busana, serta tak kurang dari 400 perajin batik di Pekalongan, Cirebon dan Jakarta. Meski demikian, sesuai dengan segmen yang disasarnya, Mariana menjaga eksklusivitas produknya. Caranya, ia hanya memproduksi 1-20 potong dari setiap desain yang mencapai 70 desain baru setiap bulannya. Sementara untuk kain batik lebih eksklusif lagi, hanya ada satu potong setiap desainnya.
Sambil menyantap masakan Jawa yang dipesannya, Mariana menceritakan lika-liku bisnisnya kepada SWA di butik utamanya yang cukup luas dan rindang di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Lahir di Malang 60 tahun silam, Mariana telah bersentuhan dengan dunia perbatikan sejak masa bersekolah di Solo. Saat itu, ia kagum pada teknik pewarnaan dan pembuatan kain batik yang memiliki alur kerja berlapis-lapis. Mariana yang memang menyukai tantangan, terpesona pada kesulitan dan kerumitan pembuatan sehelai kain batik yang bisa memakan waktu 4-6 bulan.
Kekaguman ini berubah menjadi bisnis semasa menempuh kuliah hukum di Universitas Parahyangan, Bandung, pada 1962. Bungsu dari empat bersaudari ini lantas menjajakan batik yang dibawanya dari Pekalongan kepada teman-temannya.
Selepas kuliah, ia sempat bergabung di perusahaan suaminya yang bergerak di bidang logam. Meski demikian, melihat gairah bisnisnya yang menyala-nyala di dunia batik, dirinya lantas diminta memimpin perusahaan batik ternama sejak 1972 – proses yang dijalaninya hingga 1993.
Pada awal 1990-an itu, akhirnya modal dan terutama nyalinya, sudah cukup terkumpul untuk mengibarkan bendera sendiri dengan merek Parang Kencana. “Banyak pergolakan dalam diri saya ketika memutuskan untuk berdiri sendiri,” ujarnya. Dengan modal tabungan seadanya dan ditopang kecintaan terhadap batik tulis yang meletup-letup, Mariana akhirnya mengawali bisnis dari garasi rumahnya di kawasan Simpruk, Jak-Sel.
Ia kemudian memasukkan Parang Kencana ke Pasaraya, salah satu dari sedikit mal prestisius di masa itu, serta di butik di Terminal D Bandara Soekarno-Hatta. Pilihan itu bisa diraih lantaran memiliki koneksi di kedua lokasi premium tersebut. Tidak heran, karena Mariana, yang selalu menjadi ketua OSIS di SMP dan SMA itu, memang aktif di berbagai organisasi, salah satunya di Dewan Kerajinan Nasional. Dari berbagai organisasi itulah ia mengenal banyak pengusaha seperti Abdul Latif, pemilik Pasaraya.
Pengalaman sebagai pemimpin perusahaan batik yang cukup besar selama puluhan tahun membuatnya memiliki jaringan dengan para perajin batik tulis di Pekalongan, Cirebon dan Jakarta. Ia bersyukur, berkat pola ibu asuh yang kerap diterapkan pada perajin, ia mendapat sokongan penuh dalam bentuk keluwesan pembayaran dari para perajin. Sebabnya sederhana, sejak dulu Mariana kerap membina perajin yang bekerja sama dengannya, mulai dari aspek desain hingga manajemen usaha, sehingga mereka dipercaya pihak perbankan.
Bisnis Mariana pun berkembang pesat. Perkembangan terbesar dicapai pada 2007. “Jujur, saya tidak tahu sebabnya. Tapi, saat krisis menerpa, seingat saya penjualan langsung melonjak sangat tinggi,” ibu dua putra dan satu putri itu – yakni Irwan Sutandi (41 tahun), Erry Sutandi (36 tahun) dan Ivonne Sutandi – menguraikan.
Mariana mengaku, awalnya selalu menggunakan dana pribadi untuk memutar roda bisnisnya. Namun, suatu ketika ia ditegur seorang teman yang memiliki bank. Menurut sang teman, dana pribadi jangan sepenuhnya dikucurkan untuk bisnis, harus ada pembagian risiko. Mariana mengikuti saran sang teman dan bisnisnya pun melaju. Beragam kreasi lahir dari tangannya. Antara lain, ia mengeluarkan seri Liris untuk pasar yang lebih muda pada 2000. “Saya ingin semua kalangan, baik tua maupun muda, memakai batik,” ujarnya memaparkan visinya.
Akhirnya, Liris diluncurkan dengan mengundang berbagai kalangan anak muda kelas atas di Jakarta. Liris, yang mengusung warna cerah dan desain kontemporer, sukses. Sejak itu, para desainer dan butik batik mengikuti jejaknya.
Sejak tahun 2000-an pula, satu per satu anak dan menantu Mariana dimagangkan di dalam perusahaan. Diawali oleh Irwan Sutandi yang kini mengurusi bagian produksi, lalu Erry Sutandi yang mengelola pemasaran, dan menantunya Meity Sutandi, istri Erry, yang diarahkan di lini penelitian, pengembangan dan desain. Dengan posisi sebagai komisaris, Mariana kini mengajarkan business wise yang dimilikinya dikombinasikan dengan manajemen modern yang dikuasai anak-anaknya.
Di sisi promosi, Mariana mengakui Parang Kencana jarang beriklan. Kendati demikian, ia tak kehabisan akal untuk berpromosi. Misalnya, bekerja sama dengan media fashion seperti Femina untuk pemakaian busana di sesi pemotretan modelnya. Juga, ia kerap menggelar show bersama perancang busana batik lain. Tak ketinggalan, pameran di beberapa negara seperti Turki juga pernah diikutinya.
Dalam hal manajemen perusahaan, Mariana mengaku memberi kebebasan walau dengan bimbingan dirinya. Semisal kepada Meity, ia membiarkan sang menantu mengalami kesalahannya sendiri. “Untuk bisa mengatakan sebuah batik itu baik atau tidak, dia harus merasakan sendiri, dan melihat sendiri. Tugas saya adalah membimbing mereka,” ujarnya menegaskan.
Mariana memang memiliki semangat kepemimpinan progresif. Ia membina anak muda untuk melanjutkan estafet kepemimpinannya. Selain dirinya, jajaran kunci seperti desain busana juga dipegang oleh orang muda. Bahkan, bisa dibilang sangat muda. Sebagai contoh, salah satu desainer busana Parang Kencana dipercayakan pada Evelyn Fransisca, lulusan terbaik sekolah mode Esmod jurusan desainer fashion yang baru berusia 22 tahun. “Saya tidak khawatir, mereka harus belajar dulu, kalau mereka salah ya tidak apa-apa, asal jangan diulangi lagi kesalahannya,” ujar Mariana.
Eve, sapaan akrab Evelyn, mengakui banyak mempelajari dunia batik dari Mariana. Dan dengan gaya kepemimpinan Mariana tak pelak Eve mengaku kagum pada bosnya. Sebab, selain Mariana hingga kini masih membimbing langsung tim litbang dan desain Parang Kencana, juga mengizinkan anak-anak muda itu mencoba hal baru. “Meski Ibu Mariana tidak menyetujui tapi dia tetap membolehkan kami melakukan tes pasar. Lalu, jika kurang berhasil di pasar, dia akan menganggap itu sebagai pelajaran bagi kami,” ungkap Eve, yang bersama timnya diminta Mariana menghasilkan 35 desain busana wanita per bulan.
Keberanian Mariana memercayai orang muda juga diapresiasi oleh Sonny Muchlison, dosen Institut Kesenian Jakarta, yang juga pengusaha batik premium dengan label Sonny. “Dengan desainer busana muda, Mariana melakukan penyegaran desain untuk mengombinasikan dengan desainer lama yang ada di perusahaannya,” ujarnya.
Mariana sendiri tidak melulu sukses dalam bisnis. Ia pernah merugi akibat pelanggan yang cukup terpercaya dari Malaysia tidak diketahui rimbanya setelah menerima produk Mariana. Selain itu, kenangan yang cukup membekas dalam dirinya adalah peristiwa pembajakan beberapa karyawan intinya di pertengahan tahun 2000 oleh sebuah label batik baru yang kini cukup sukses. “Ini off the record,” Mariana menegaskan, pada awalnya. Namun setelah dijelaskan bahwa SWA tidak berniat memanas-manasi situasi, ia akhirnya membolehkan SWA mengutip peristiwa pembajakan itu tetapi tak menyebut perusahaan batik mana yang telah membajak para karyawannya itu.
Bagaimana mengatasi kondisi tersebut? Mendengar pertanyaan ini, Mariana tampak merenung. “Saat kita kesulitan, jangan mengeluh. Tapi memohon ampun kepada Tuhan atas kesalahan kita sehingga mengalami hal ini. Tuhan tidak akan meninggalkan kita jika kita jujur di hadapan-Nya,” tutur Mariana.
Dengan sikapnya, Mariana yang aktif melayani di gereja, justru merasakan berkat Tuhan. Entah ada hubungannya atau tidak, ia mengaku usahanya tidak goyah sedikit pun. Bahkan, Mariana yang mendirikan Yayasan Umat Peduli untuk membantu pembangunan sekolah-sekolah di Indonesia bersama teman-temannya, semakin terpacu untuk berinovasi. Desain baru terus digelontorkan ke pasar. Lalu, pegawai baru yang relatif masih hijau langsung dipekerjakan, di bawah bimbingan intensif Mariana tentunya.
Keyakinannya terbukti membuat bisnisnya tetap melaju. Rata-rata bisnisnya tumbuh 15%-20% per tahun. Tak cuma itu, sejak pertengahan 2010, Parang Kencana diizinkan membuka gerai di lantai dasar Plaza Senayan. Padahal, menurut Mariana, mal elite tidak biasanya memberikan tempat bagi merek etnik Indonesia. “Ini tidak mudah. Pendekatannya saja setahun lebih,” ujarnya seraya tersenyum, tanpa bisa menyembunyikan kegembiraannya.
Mariana kini sudah bersiap melangkah lebih jauh. Jika berjalan sesuai dengan rencana, Desember ini workshop terbaru Parang Kencana akan dibuka di kawasan Cengkareng. Peningkatan produksi ini tentu saja untuk memenuhi permintaan pasar yang melaju cepat. Meski begitu, ia mengaku tidak akan memutuskan pasokan dari para perajin batik yang selama ini setia mengiringi bisnisnya. “Saya tidak mau mematikan orang lain,” ujarnya.
Selain itu, tahun depan, ia akan merilis Parang Kencana Kids untuk anak-anak dan bersiap membuka butik di kawasan Orchard Road, Singapura. Sebuah langkah yang sesuai dengan visinya yang sederhana tetapi kuat, yakni batik harus bisa dipakai semua kalangan.
Sumber : peluangbisnisid.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar