Banyak kisah TKI bernasib naas. Kalau pun tidak, TKI yang pulang
kampung acapkali gagal memanfaatkan uang yang dikumpulkannya selama
bekerja di luar negeri. Lalu, bingung mencari pekerjaan lagi dan
selamanya hanya menjadi kuli. Padahal, menjadi kuli di negeri sendiri
penghasilannya tak mungkin sama dengan di luar negeri.
Sementara itu, usia produktifnya dihabiskan di negeri rantu. Pulang
sudah usia setengah tua. Sudah tak bisa punya daya tawar memilih
pekerjaan. Lebih parah lagi, mantan TKI cenderung malas bekerja dengan
gaji rendah. Sebab, sudah terbiasa dengan gaji besar di luar negeri.
Menyadari kemungkinan terjadinya hal buruk tersebut,
mantan TKI yang merupakan pasangan suami istri, Sukisman dan Dewi,
mencoba menyiapkan hari tua seawal mungkin. Keduanya sama-sama berusia
35 tahun, dan pernah menjadi Tki di Korea.
Pasangan suami istri yang mengaku saling bertemu di
Jakarta itu kini sukses beternak telur puyuh. Keuntungan bersihnya
mencapai Rp. 1 juta/pekan. Modal awal pun sudah kembali dalam waktu enam
bulan.
Sukses itu tidak datang tanpa ujian. Tetapi diawali
dengan kebangkitan total usahanya dalam beternak sapi. Akibat
kebangkrutan besar itu, Dewi harus rela ditinggal pergi suaminya ke
Korea. Mencari modal lagi untuk usaha.
Padahal, waktu itu Dewi yang asli Garut, Jawa Barat
baru saja melahirkan anak pertamanya, Gerrad Meilano (5). Sedangkan
putra keduanya, Aditya Al Majid yang kini berusia 11 bulan lahir hampir
bersamaan dimulainya bisnis telur puyuh.
Dewi mengawali rumah tangganya dengan ketidakpastian
sumber penghasilan. Namun, mereka kini sudah mapan. Memiliki toko pakan
ternak bertingkat dua dan beternak puyuh petelur sebanyak 4 ribu ekor.
Penjualnya juga sudah ajeg. Ada pengepul
dari Klaten yang setiap dua minggu sekali datang mengambil telur. Ini
masih ditambah keuntungan besar bisnis burung kicau yang harganya mulai
dua ratus ribu sampai jutaan rupiah.
Dewi, asal Garut Jawa Barat. Berasal dari keluarga
tidak mampu dan tinggal di desa. Seperti pada umumnya perempuan muda
yang baru saja lulus SMA di tahun 1996, Dewi juga ingin segera bekerja.
Pasalnya, sekolah di perguruan tinggi jelas tidak mungkin.
Ketiadaan biaya menjadi kendala. Alhasil, sejak tamat
dari SMA, Dewi bertekad mencari pekerjaan sebisanya. Padahal, di Garut
jarang ada pabrik besar. Karena itu, Dewi yang ingin mengubah nasibnya
membulatkan tekad untuk merantau.
Pertama kali, bekerja di sebuah pabrik di Purwokerto.
Tetapi, hanya bertahan selama dua tahun. Sesudah itu, pulang ke desa
dan menganggur. Tak ingin hanya berpangku tangan, Dewi kembali bekerja.
Tekadnya semakin bulat dan besar, sehingga dirinya memutuskan untuk
bekerja ke luar negeri.
Setelah susah payah melamar melalui PJTKI, awal tahun
2003 bisa berangkat ke luar negeri dan bekerja di sebuah pabrik
pembalut di Korea. Ketika hendak berangkat ke luar negeri itulah, dia
bertemu dan berkenalan dengan Sukisman. Seorang TKI asal Selman yang
juga hendak mengadu nasib di Korea.
Perkenalan itu berlanjut salama keduanya berada di
negeri orang. Sehabis masa kontak kerja yang kedua, Dewi dan Sukisman
pulang ke Indonesia. Waktu itu, tahun 2005. Setahun kemudian, 2006,
mereka menikah, “waktu menikah itu, kami sama-sama masih menganggur,”
ungkap Dewi.
Saking pusingnya tak kunjung mendapat pekerjaan,
Sukisman nekad berangkat ke Korea lagi. Sedangkan Dewi tinggal di Garut
bersama anak pertamanya yang waktu itu baru berusia dua minggu.
Tiga tahun lamanya Sukisman bekerja di Korea. Tahun
2009, Sukisman pulang dan keduanya sepakat membuka usaha di kampung
halaman Sukisman di Pendowoharjo, Sleman. Dewi setuju.
“Tahun 2009 itu, kami sepakat beternak sapi. Tidak
tanggung-tanggung, kami berdua membeli 10 ekor sapi. Tapi, semua itu
gagal. Harga sapi terjun bebas dan kami rugi dua juta rupiah perekor.
Itu belum termasuk kerugian tenaga dan pakan,” kenang Dwi.
Namun, kegagalan itu tak membuat mereka putus asa.
Sebaliknya, terus memompa semangat suaminya untuk terus berushaa.
Akhirnya melalui seorang teman, Dewi belajar beternak puyuh petelur.
Akhir tahun 2009, Dewi dan Sukisman bahu membahu membangun peternakan
puyuh. Uang sisa penjualan sapi yang ruti, diinvestasikan lagi untuk
beternak telur puyuh dan membuat warung pakan ternak kecil-kecilan.
“Tidak disangka, dari ternak puyuh sebanyak 4 ribu
ekor, semua modal sudah kembali dalam waktu enam bulan. Omzetnya sangat
tinggi,” kata Dewi.
Kini, Dewi semakin tekun memelihara telur puyuh. Sekalipun cukup sulit, hasilnya sepadan. Memelihara puyuh petelur itu sulit, karena tergolong
ternak sensitif. Mudah tertular penyakit dan stres. “Kalau mendengar
suara keras yang mendadak, puyuh bisa stres. Tapi dengan kandang yang
tertutup dan dibersihkan setiap hari, semua kendala itu tidak
bermasalah,” jelas Dewi, seraya mengimbuhkan karena itu pula dirinya
melarang orang lain untuk bisa mauk ke kandang. Selain keuntungan dari
telur puyuh. Dewi juga masih memperoleh keuntungan lain dari penjualan
kotoran puyuhnya. Dari 4 ribu ekor puyuh, dalam sehari menghasilkan
kotoran sebanyak 3 ember. “Satu ember kotoran puyuh yang masih basah
laku terjual sebesar seribu rupiah,” katanya.
Sedangkan dari puyuhnya sendiri, kadang juga masih
bisa diperoleh sedikit keuntungan lagi. Setahun, sekali, puyuh yang
sudah tidak produktif dijual seharga Rp. 2.500/ekor dan diganti puyuh
usia 3 minggu. “Puyuh akan mulai bertelur pada usia 60 hari dan mencapai
puncak produktivitasnya pada usia 10 bulan,” pungkasnya.
Sumber : inspirasiusahasukses.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar