Senin, 10 Desember 2012

Pengusaha Eceng Gondok


Pengusah kerajinan jarang tergusur oleh industri modern. Soalnya, pekerjaan tangan tidak bisa digantikan oleh mesin, bahkan mesin yang canggih sekalipun.

Berkah itulah yang sekarang dinikmati Martini. Iu seorang putri ini sembilan tahun berbisnis kerajinan. Ia membuat beragam barang anyaman dan mengekspor producknya ke Eropa dan Amerika.Kini, perusahaan bernama Martini, yang ia dirikan dengan modal Rpp 250.000,- telah berkembang menjdi besar.

Setidaknya, Martini memperkerjakan 70 karyawan di rumahny sendiri. Selain itu, dia merekrut 600 pekerja di Bantul dan Kulonprogo. Dari merekalah Martini mendapatkan pasokan anyaman. "Tenaga kerjanya tersebar di DIY, Klaten dan Solo, Kutoarjo, Purworejo dan Magelang", kata HAri Sentosa, Direktur PT.Sarana Yogya Ventura (SYV), anak peerusahaan dari PT. Bahana Artha Ventura, pemberi kredit untuk Martini.

Kebanykana pegawai Martini adalah perempuan yang diantaranya banyak yang berusia lanjut. Kerana menurutnya pekerjaan ini dapat dikerjakan oleh para lansia.

Kisah bisnis ini cukup Unik. Dunia anyam-menganyam sebennarnya bukan hal baru lagi bagi anak ketiga dari empat bersaudara ini. Sejak SD, Martini sudah kerap menganyam untuk tugas sekolah. Namun, begitu berangkat dewasa, Martini mengaku tidak pernah terpikir untuk memakai keahlian tersebut. Bahkan ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Menuruti mata pencahariannya itu, Martini sempat berkelana ke Padang dan Lampung.

Sehabis menikah, Martini memutuskan untuk pulang kampung. "Setelah menikah, saya bekerja pada orang lain untuk membuat anyaman" Ujar istri Nurhadi ini. Tak lama kemudian, perusahaan tempatnya bekerja tutup. Maka, Martini memberanikan diri untuk menjajal bisnis kerajinan milikya sendiri.

Milai 1 Maret 1990, di KulonProgo, Yogyakarta, Martini membuat anyaman dari enceng gondok. Perempuan yang juga pernah berdagang sayur di pasar tradisional ini menguras tabungannya untuk moodal. TAnpa ragu, Martini menyerahkan produk anyaman seperti tas dan karpet buatannya kepada pedagang kerajinan. ia menggenjot sepeda tua peninggalan orang tuanya sejauh 40km, demi mengantarkan dagangannya. "Pesanan itu diantar minimal dua hari sekali", sambung Martini.

Ternyata, kerajinan bikinan Martini disukai. Permintaan dari pedagang makin banyak. "Modal Rp250.000,- it terus berputar," kenang Martini. Lama-lama, ia kewalahan memenuhi permintaan. Ia mulai merekrut saudara dan tetangga sekitar untuk menganyam. adapaun ia sendiri yang mngerjakan design dan sample produknya.

Berkat kegigihannnya memenuhi tengggat waktu, order buat martini pun meningkat. Nilainya mencapai ratusan juta rupiah. Padahal, Martini tidak punya sumber tambahan untuk modal. alhasil, kalau banyak order, ia melemparnya ke pengusaha lain.
Bisnis ini berkembang pesat tahun 2003, setelah ia ikut pameran. Ia mendirikan agen di jakarta dan memasok beberapa toko di Bali. Masa kejayaan bisnis Martini sudah terasa sejak tahun 2005.

Tetapi malang tak dapat di tolak, tahun 2006 YOgya diguncang gempa, demikaian pula dengan Martini Natural. Rumah Produksinya di Bantul luluh lantah hingga tak dapat beroperasi. Ia terpaksa membatalkan beberapa pesanan akibat beragam masalah. Pembayaran dari para pembeli pun seret. "Ada pelanggan yang berutang sampai Rp 400 juta," kata dia. Bisa diduga, ke kas bisnis Martini terganggu. Kendati demikian, Martini tidak menyerah. Kali ini ia mencoba mendapatkan pinjaman dari bank. Bermodal tanah 3.000meter, dia mengajukan kredit. "Tetapi saya hanya mendapat pinjaman Rp 70 juta, sementara modal yang saya perlukakn Rp 600 juta, "ujar dia.

Martini pun jalan terur. Sampai suatu saat iia ikut pelatihan kerajinan di Jawa Timur. Rekan-rekannya lantas menganjurkan untuk menghubungi Bahana Artha VEntura. Alhasil, setelah kembali kke Jogja, ia pun menghubungi Sarana Yogya Ventura.
Pucuk dicita ulam pun tiba. Sarana Yogya mengambil alih kredit Martini di bank. Mereka juga memeberikan suntikan kredit Rp 50juta. MArtini menggunkana seluruh modal itu untuk mengerjakan order yang ada.. "Order selesai, kemudian usaha saya stabil lagi secara bertahap"tutur dia.

Dari Sarana Yogya, Martini juga mendapat konsultasi usaha gratis, diantaranya bimbingan untuk bertransaksi dengan pihak ketiga dan keterampilan menggunkan inernet."Kebutuhan usaha saya selaludi respons,"kata Martini yang pernah mendapat Penghargaan UKM terbaik III dari Dji Sam Soe Award ini. Belakangan, batas geografis wilayah Yogya ternyata tidak bisa membendung usaha anyaman ini. Hasil kerajinan ini di bawa agen unutk diekspor."Sejumlah 95% pasar Martini Natural adalah untuk ekspor, misalnya Perancis dan Italia"ujar hari. Untuk pasara lokal Martini mendirikan geraii di Magelang dan Jakarta.

Merangkak dari PRT dan pedagang sayur menjadi Pengusaha
Martini tak menduga kalau ia akana menjadi wanita pengusaha sukses seperti ini. Maklum saja orangtua Martini bercita-cita agar ia manjadi guru. Maka, mereka memasukkan MArtini ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Sayang, karena tidak mampu, Martini putus sekolah karena alasan ekonomi.

Keterbatsan ekonomi keluarga selanjutnya justru menempa Martini menjadi pribadi yang sekarang. Pelan-pelan, MArtini jadi sosok yang memiliki ketaguhan dan kesabaran dalam hidup. Ia pun rela menjalani hidup prihatin sebagai PRT dan pedagang sayur, kendati sempat menganyam bangku sekolah yang lumayana tinggi.

Kini, bisa dibilang hidup Martini sudah berkecukupan. Nurhadi, suaminya yang dulu sering bekerja di proyek pembangunan, belakangan ikut terlibat ke dalam usaha istrinya. Tidak sepperti kehidupannya yang dulu, sekarang Martinidapat menyekolahkan putri semata wayangnya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Sumber : blackwhiteofpeppo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar