Senin, 07 Januari 2013

Sukses Seni Lukis & Bingkai


Terjun ke dunia bisnis bagi seorang seniman lukis seperti Edi Markasan tampaknya bukan perkara mudah. Bahkan, sejak semula dia tak pernah membayangkan untuk bisa menjadi seorang pengusaha kendati hanya tinggal melanjutkan usaha yang lebih dulu dirintis orangtua. Tetapi apa hendak dikata demi tanggung jawab dan penghormatan kepada almarhum orangtuanya, mau tidak mau dia harus rela menyisihkan sebagian waktu untuk ikut mengurus Lala Frame nama usaha warisan itu  bersama sang kakak.

Beruntung sepak terjang perusahaan yang kini dia duduk sebagai salah satu direkturnya itu tidak terlalu jauh menyimpang dari dunia lukisan, yakni sebuah pabrik bingkai (frame) yang menggunakan teknik mesin secara modern.  Bahkan ragam produk dari perusahaan yang resmi beroperasi pada 1975 di Surabaya dan baru hijrah ke Jakarta tiga tahun kemudian itu semakin luas. Bukan hanya melayani pesanan bingkai, tetapi juga memproduksi lukisan dan kaligrafi.

Selain itu jumlah mode bingkainya pun semakin beragam, mulai dari yang sederhana hingga yang terkesan mewah bermotif ukiran keemasan. Sengaja dia memproduksi seperti itu karena untuk memenuhi selera pasar yakni menengah bawah dan kalangan atas.  “Saat ini sudah tercatat 120-an model bingkai yang kami pajang sebagai contoh dan biasanya setiap dua bulan akan muncul mode-mode terbaru,” ujar Edi.

Tidak jarang Lala Frame juga menerima pesanan dari konsumen yang membawa desain sendiri. Namun untuk pembelian seperti itu, kata Edi, harus dalam partai besar agar produksinya bisa lebih efisien.  “Kami kan harus tetap mempertahankan harga yang bisa bersaing lebih rendah dari yang lain,” tambahnya.

Bagi Edi di tengah-tengah persaingan bisnis kerajinan bingkai yang semakin ketat dan kondisi pasar dalam negeri yang masih belum kondusif soal harga merupakan hal yang sensitif. Apalagi masalah itu sudah menjadi komitmen sebagai salah satu strategi bisnis dari Lala Frame.

Setidaknya mereka siap melayani pesanan dengan desain sendiri itu sedikitnya 500 buah. Sementara untuk konsumen yang memilih mode bingkai koleksi Lala tidak dibatasi.  “Pesan satu bingkai pun akan kami layani dengan standar harga yang sama,” ujarnya.

Untuk itu Edi memiliki kiat tersendiri dalam menyiasati harga yakni berani melakukan stok. Satu mode bingkai langsung dicetak dalam bentuk lonjoran dengan jumlah yang besar. Dengan begitu jika ada pesanan para pekerjanya yang kini tercatat 140 orang itu tinggal memotong-motong sesuai permintaan konsumen.  Cara seperti itu selain irit ongkos produksinya juga untuk menyiasati waktu. Biasanya proses finishing dari pengerjaan sebuah bingkai itu paling rumit dan memakan waktu lebih lama.

Karena itulah sebagian produk bingkai Lala Frame menerapkan teknik finishing dengan sistem penyemprotan terutama untuk bingkai ukuran besar bermotif ukiran kecil-kecil yang rumit atau biasanya disebut dengan jenis bingkai art.  Kendati ukirannya mirip dengan motif ukiran Jepara yang kecil dan tidak terlalu dalam, namun menurut Edi, hampir seluruh produk bingkai jenis art ini merupakan hasil desain sendiri. Pengerjaan ukirannya pun gunakan mesin.

Harga bingkai model art itu berkisar Rp 27.000 hingga Rp 80.000 per meter untuk ukuran standar yang lebarnya berkisar 5 cm hingga 8 cm. Sementara untuk ukuran paling besar dengan lebar lebih dari 15 cm rata-rata mencapai Rp 180.000 per meter.  Kini bingkai jenis seperti itu sedang marak diminati konsumen kelas atas baik di tingkat lokal maupun di luar negeri. Meskipun tidak secara langsung Lala Frame, kata Edi, sering menerima pesanan dalam partai besar untuk dikirim ke Malaysia, Brunei dan Arab Saudi.

Sistem penjualan ke luar negeri seperti itu terpaksa dia tempuh karena pengalaman ekspor sendiri ternyata banyak mengalami hambatan. Selain pengurusan dokumen yang rumit masalah tranportasinya tergolong mahal, sehingga biaya operasional perusahaan semakin membengkak tidak karuan. Belum lagi mereka harus menghadapi berbagai pungutan liar.  Karena itulah sebagai orang yang bertanggunga jawab penuh di bidang pemasaran Edi lebih berkonsentrai pada pengembangan pasar domestik. Untuk itu dia mencoba untuk konsisten didalam menyedialan pelayanan yang mudah dan hemat.

Bukan hanya konsumen yang langsung datang ke tiga gerai milik Lala Frame di kawasan Pondok Kelapa, Jakarta Timur, saja yang bisa membeli secara ritel tetapi juga sejumlah toko bingkai di seputar Jabotabek, Semarang, Surabaya hingga Pekan Baru selama ini merupakan mitra kerja perusahaannya. Edi menyadari dengan keterbatasan waktu karena dia harus tetap melukis, maka jaringan pemasaran Lala Frame agak terbatas bahkan tidak jarang tersendat-sendat. Karena itu dia membangun kerja sama dengan beberapa toko bingkai untuk pemasarn. Caranya, dengan menaruh contoh mode pada setiap toko milik mitra bisnis bersangkutan dan memposisikan diri sebagai pemasok.

Mengenai produk lukisan selain memajang karya sendiri gerai Lala Frame, Edi juga menampung hasil karya pelukis lain. Apalagi untuk produk hiasan kaligrafi, lukisan pemandangan dan bunga yang cenderung beraliran realis. Khusus untuk lukisan art atau standar pameran, Edi masih bertahan pada hasil karyanya sendiri.  Namun, sesuai dengan perkembangan dan pendalaman seninya, bukan lagi karya lukisan realis, tetapi juga sudah mengarah pada lukisan ekspresionis. “Masing-masing aliran mempunyai pangsa pasar sendiri, jadi kami tidak terlalu mempersoalkan perbedaan itu,” tandas Edi yang mulai melukis sejak di bangku SMP.

Umumnya konsumen yang belum paham dengan seni lukis akan cenderung memilih lukisan realis. Sebaliknya bagi mereka yang sudah paham dengan seni di atas kanvas tersebut akan memilih karya art atau standar pameran. Dari segi harga kedua jenis tersebut sudah tentu berbeda. Lukisan realis seperti pemandangan, bunga, hewan dan sebagainya umumnya hanya berkisar Rp 200.000 hingga Rp 2 juta per unit, tergantung besar-kecilnya produk seni bersangkutan. Tetapi untuk lukisan standar pameran harga terendah mulai dari Rp 4 juta per unit hingga puluhan bahkan ratusan juta.

Satu fenomena yang terjadi belakangan ini, ternyata tidak sedikit kantor-kantor para eksekutif atau ruangan di perusahaan besar itu memilih pajangan lukisan. Barangkali selain bergengsi, menurut penilaian Edi, saat ini sudah banyak kalangan pengusaha yang paham dengan seluk-beluk sebuah karya lukisan.  “Bisa saja dari mereka itu memperkaya pengetahuan seni dari membaca buku atau berbincang -bincang dengan rekan-rekannya.”

Tampaknya fenomena itu pula yang mendorong Edi untuk lebih giat mempromosikan lukisan art-nya lewat kegiatan pameran. Bahkan dalam waktu dekat dia telah merencanakan untuk melakukan pameran tunggal.  Bukan itu saja, meskipun dia seorang seniman, tidak menolak jika ada pelanggan yang memesan dibuatkan lukisan dengan membawa mode sendiri.

Sumber : jpmi.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar