Rabu, 03 Oktober 2012

Jalan Sukses Tanpa Merek Sendiri



Bermula dari keinginan usaha sendiri, Budiono Gondosiswanto sukses menjadi produsen produk toiletris curah. Ia memasok ke jaringan supermarket. Kesuksesannya tak lepas dari keyakinan bisa sukses meski usahanya mengalami jatuh bangun.
Kendati pasar produk toiletris telah dikuasai oleh perusahaan produsen besar, bukan berarti tidak ada peluang bagi perusahaan kecil. Budiono Gondosiswanto telah membuktikan bisa berhasil menjual detergen dan produk toiletris curah maupun bermerek sendiri.
Lewat bendera PT Motto Beringin Abadi, saat ini, Budiono mampu memproduksi sekitar 1.200 ton per bulan pelbagai produk seperti detergen, softener, sabun cuci piring, karbol, sampo rambut, sabun cuci tangan, hingga pelicin pakaian. Dengan harga jual mulai dari Rp 5.000 sampai Rp 20.000 per liter, saat ini, produk-produk buatannya itu laku keras.
Lahir dan dibesarkan dari keluarga cukup mampu, awal hidup Budi – begitu ia biasa disapa – cukup mulus. Ia bahkan bisa kuliah di jurusan kimia, Hawkesbury Advance College, University Western Sydney, Australia. Lulus tahun 1987, ia ikut bisnis showroom mobil milik keluarga di Tomang.
Tapi, Budiono menyimpan kegelisahan. Ia membaca buku harian sang kakek yang berasal dari China lalu hijrah ke Banyuwangi dan sukses menjadi pedagang kelontong. Padahal, usahanya mulai dari berjualan sisir dan sarung secara pikulan. Buku itu mengispirasi Budi untuk memulai usaha sendiri. Kakeknya yang tidak punya pengalaman dagang saja bisa sukses, apalagi dia sudah punya titel sarjana kimia, pikirnya.
Pada tahun 1995, Budi memutuskan meninggalkan bisnis keluarga dan berniat membuka bisnis sendiri. “Saya bilang sama papa, saya mau usaha sendiri,” kenangnya. Saat itu, ia belum punya gambaran mau usaha apa. Tapi, lantaran paham soal kimia, Budi memutuskan membuat deterjen.
Awalnya, Budi membeli ember dan pipa paralon untuk membuat adonan detergen. Modalnya Rp 5 juta dari tabungannya saat bekerja di showroom mobil. Pertama kali jualan, ia menawarkan detergen ke tetangga dan kenalannya. Sehari dua hari, detergennya hanya menghasilkan Rp 15.000. Tapi, ia tidak putus asa. Ia bilang pada istrinya, “Ini baru satu yang beli. Kalau seluruh orang beli, kita bisa dapat Rp 1 triliun,” ucapnya kala itu.
Terbukti, usahanya terus berkembang. Pada 1998, Budi sempat meraih omzet hingga Rp 25 juta per bulan. Tapi, krisis keuangan membuat usahanya cepat bangkrut. Banyak tagihan dari pembeli tidak dibayar. Alhasil, ia hanya memiliki simpanan Rp 1 juta.
Budi frustrasi. Ia belum membayar gaji karyawan dan uang sekolah anak-anaknya. Tapi, ia ingin memutar kembali duit itu sebagai modal usaha. Untung ia masih punya keyakinan. “Saya tahu, saya bisa sukses suatu hari nanti,” katanya yakin.
Kebetulan, kakaknya meminjamkan sebuah rumah tua di Matraman. Budi menjadikan rumah itu sebagai pabrik kecil untuk memproduksi detergen. Penjualannya masih seret, tapi cukup untuk bertahan hidup.
Hoki Budi mulai muncul pada tahun 2001. Saat itu, Daiso, supermarket raksasa di Jepang, meminta pasokan bahan detergen untuk private label (bermerek toko). Tak begitu lama, Rinso dari Amerika Serikat juga meminta sampel detergen buatannya.
Bermodal Rp 500.000, Budi mengirim sampel detergen ke dua perusahaan itu. Tak disangka, lantaran menawarkan harga yang kompetitif dan produk yang bagus, dua perusahaan itu menawarkan kerjasama.

Rinso dan Daiso ingin datang melihat pabriknya. Budi lemas. Pasalnya, ia sadar pabriknya sangat tidak layak dilihat. Namun, ia pasrah. Ketika mereka bertanya di mana labolatoriumnya, ia menjawab, semua ada di otak. Meski kaget, baik Rinso dan Daiso tetap memesan masing-masing senilai Rp 150 juta.
Setelah itu, Budi memenangi tender memasok deterjen untuk merek toko di Carrefour. Ketika petinggi Carrefour datang, ia keteteran lantaran di kantornya tidak ada kursi tamu. “Hanya ada satu kursi direktur dan lima kursi bakso,” katanya.
Lantaran harganya relatif murah, banyak perusahaan tetap memesan detergen ke Budi. Saat itu, kapasitas produksi pabriknya sebesar 15 ton per bulan. Ia juga membuat merek sendiri bernama Surplus.
Tahun 2003, Budi meminjam uang ke bank untuk membangun pabrik di Cileungsi, Bogor. Saat itu, kapasitas produksinya mencapai 100 ton per bulan. Tapi, pada 2007, usaha Budi sempat goyah. Ia merugi hingga Rp 800 juta lantaran cairan pembersih lantai yang dikirim ke Jepang bermasalah. Produk itu menguap di kapal sehingga ditolak masuk Negeri Sakura.
Tapi, Budi tidak putus asa. Ia aktif mencari konsumen ke beberapa negara seperti Spanyol, Filipina, Korea, Yaman, Afrika, hingga Afganistan. Nilai kontraknya mencapai Rp 700 juta. Ia juga menjajaki memasok ke sejumlah perusahaan seperti Unilever, Combiphar, Alfa, dan jaringan supermarket lain.
Saat ini, kapasitas produksi pabriknya mencapai 1.200 ton per bulan. Dari penjualan produk toiletris itu, saat ini omzet usahanya mencapai lebih dari Rp 1 miliar per bulan.
Sumber : wirasmada.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar