Rabu, 10 Oktober 2012

Sukses Sepatu Yongki Komaladi

Tak mabuk kepayang ketika sedang tenar. Itulah salah satu prinsip yang dipegang Yongki Komaladi, perancang dan pengusaha sepatu yang cukup kondang di tanah air. Di awal 1990-an, sebagai salah satu peragawan terkenal, namanya masih cukup harum. Tawaran manggung pun masih terus mengalir. Tapi, sejak saat itu, Yongki memutuskan untuk beralih profesi menjadi perancang dan pedagang sepatu. Yongki sadar, ia tak bisa selamanya jadi peragawan karena usianya terus bertambah dan model-model baru terus bermunculan. 

Sekarang, setelah delapan tahun menekuni bisnis alas kaki, Yongki berhasil mendudukkan dirinya menjadi perancang dan pengusaha sepatu yang disegani. Ketika orang menuding sepatu sebagai sunset industry dan banyak pengusaha sepatu gulung tikar akibat krismon, ia justru makin berjaya. "Penjualan dan produksi saya booming, naik 50%," kata Yongki. Ini semua berkat kejeliannya melihat peluang. Ketika krisis melanda Indonesia, dan banyak pengusaha sepatu menghentikan produksinya, Yongki justru membanjiri pasar dengan sepatu murah. Bahan baku impor pun diganti dengan bahan lokal. "Pintar-pintarnya saya mengombinasi bahan," katanya. 

Alhasil, masyarakat pun menyerbu sepatu buatan Yongki. Menurutnya, saat ini 60% penghasilannya berasal dari penjualan sepatu kelas menengah bawah. Meskipun begitu ia tetap meladeni pasar menengah atas. "Semua segmen kan butuh sepatu, jadi fleksibel saja tergantung permintaan pasar," kata Yongki. Strategi ini sukses karena ia sudah memiliki jaringan pemasaran yang luas. Saat ini Yongki memiliki tak kurang dari 150 gerai alias outlet yang tersebar di setiap pusat perbelanjaan. Mulai dari Ramayana dan Borobudur, tempat belanja kalangan menengah bawah, sampai arena shopping orang-orang kaya macam Sogo dan Metro. 

Omzetnya tentu saja besar. Sayang, Yongki enggan membicarakannya. Sebagai gambaran, setiap harinya total produksi ke-12 bengkel sepatu miliknya mencapai 6.000 - 12.000 pasang sepatu, sementara harganya berkisar antara Rp 10.000 - Rp 300.000 perpasang. Dalam waktu dekat Yongki juga akan menjual sepatu-sepatu kelas atas di Pasar Raya dengan harga sekitar Rp 750.000 per pasang. Di luar itu, ia juga menerima order khusus dari perusahaan busana terkenal seperti Sophie Martin. Ada pula dari perancang-perancang busana seperti Itang Yunas, Ramli, dan Susan Budihardjo. Meskipun jumlah tak banyak, tapi harganya jauh lebih mahal. Seberapa mahal? "Itu rahasia dagang,dong," kata lelaki 40 tahun mengelak.  

Si muka tembok itu kini dikejar-kejar pembeli 
Usaha sepatunya dirintis setelah malang melintang di dunia mode selama 12 tahun. Ada dua bidang yang awalnya ingin ditekuninya. Pertama menjadi merancang busana. Kedua, merancang sepatu. Tapi kemudian Yongki, yang lihai mendesain pakaian dan sepatu, memilih terjun ke bisnis sepatu. Alasannya, dibanding perancang busana, persaingannya lebih longgar. Maka, tahun 1992, dengan modal awal Rp 4 juta, Yongki memulai bisnis sepatunya. 

Produksi pertamanya adalah sepatu jungle yang bergaya koboi untuk lelaki. Meskipun mendapat banyak kritikan lantaran dinilai kelewat modis, toh 60 pasang sepatu jungle yang dijual di Department Store Borobudur itu habis terjual. Selanjutnya Yongki mulai membuat sepatu-sepatu dengan model yang lebih sederhana sehingga bisa dipakai di mana saja, dengan jumlah jauh lebih besar: 100 pasang. Sepatu-sepatu itu pun ludes terjual. Setelah sukses dengan sepatu laki-laki, tiga tahun kemudian Yongki berekspansi ke sepatu perempuan. 

Mula-mula, ia kesulitan memperluas jaringan pemasarannya. Soalnya, karena harga sepatunya murah, tak banyak department store yang mau menerimanya. Awalnya, hanya Ramayana dan Borobudur yang mau menerimanya. Sebelumnya, Yongki memang sudah memiliki hubungan yang cukup baik dengan kedua department store tersebut. Maklum saja, ketika masih jadi peragawan, Yongki juga pernah nyambi bekerja sebagai Chief Merchandiser (bagian pengembalian produk-produk busana) di kedua tempat tersebut. 

Tapi koneksi tak bisa terus-menerus jadi sandaran. Buktinya, meskipun kenal baik dengan pengelola Sogo, toh Yongki ditolak di tempat itu. Meskipun berkali-kali ditolak, Yongki tetap tak patah semangat. "Muka tembok deh," ujar lelaki yang mengaku dirinya sebagai "duda kembang" itu. Setelah 10 kali bolak-balik mengajukan permohonan, akhirnya Sogo luluh juga. Mengejutkan, sepatu karya Yongki yang dilego di tempat elite itu ternyata laris manis. Minimal 20 pasang sepatu terjual setiap minggunya. Department store kelas kakap lainnya, seperti Metro, mulai melirik Yongki. Kondisinya berbalik, sekarang ia yang dikejar-kejar pengelola pusat perbelanjaan. "Saya sekarang jadi jual mahal, tanya lokasinya dulu ha..ha...," gelak Yongki.

Penggemar sepatu rancangan Yongki makin luas. Selain harganya yang terjangkau, sepatu yang semuanya adalah buatan tangan itu cukup eksklusif. "Saya berusaha agar mode di setiap departmen store berbeda," katanya. Ia mengaku sudah menghasilkan 300 model sepatu laki-laki dan 500 model sepatu perempuan. Di pasar lokal Yongki memakai beberapa merek dagang, seperti Sandal, Skandal, dan Yongki Komaladi Shoes. Untuk setiap mode, ia hanya membuat 60 pasang sepatu. Kalau laku di pasaran, mode itu akan diproduksi kembali. Rata-rata, setiap mode sepatu rancangan Yongki diproduksi ulang lima sampai 10 kali. 

Selain sibuk mendesain dan mengontrol hasil kerja 200 orang karyawannya, Yongki juga mengerjakan desain pakaian untuk beberapa perusahaan seperti KFC, Indosiar, dan Texas. Ia juga sedang berekspansi ke bisnis tas. Meskipun sekarang sudah dibantu lima orang kerabat dekatnya, toh Yongki tetap saja merasa repot dan kekurangan waktu. "Kalau bisa dibeli, saya mau beli waktu," ujarnya. 
             
Yongki Palsu Pembawa Hoki
Yongki Komaladi, perancang sepatu terkenal, tak pernah menyangka kalau nama "Yongki" yang diambil dari nama kakak kandungnya itu bakal jadi begitu terkenal. Perancang sekaligus pengusaha sepatu bermerek Yongki Komaladi Shoes itu terlahir 40 tahun silam dengan nama Kwok Joen Sian. "Nama panggilan kecil saya adalah Ayin," ujarnya. 

Nama Yongki mulai melekat padanya lantaran ke mana pun pergi dia selalu mengenakan gelang emas milik kakaknya yang bertuliskan Yongki. Sejak itu orang-orang pun memanggilnya Yongki. Ketika WNA beramai-ramai mengganti nama, lelaki keturunan Tionghoa ini secara resmi "mengakuisisi" nama kakaknya. Sementara si Yongki asli berganti nama jadi menjadi Yusuf. "Saya ini anak yang paling nyeleneh," ujar anak ke-14 dari 15 bersaudara itu.

Kecuali Yongki, tak seorang pun dari keluarganya yang terjun di dunia fashion dan seni. Semuanya berawal dari pekerjaannya sebagai penjaga butik di Duta Merlin. Saat itulah ia mulai mengenal dan tertarik ke dunia fashion. Bermodal ketampanan dan bentuk tubuhnya yang bagus, Yongki pun beranjak menjadi peraga busana. Prestasinya berlenggak-lenggok selama 12 tahun cukup memuaskan. Berbagai arena peragaan busana di luar negeri pernah diikutinya dan gelar sebagai peragawan fotogenik pernah disabetnya. Ia juga sempat membintangi beberapa film dan sinetron. Di antaranya film Cinta di Balik Noda yang di bintangi Meriem Bellina. 

Meskipun kariernya di dunia mode belum mentok, lulusan sekolah bisnis Standford College Singapura ini banting setir jadi pengusaha sepatu. "Kalau saya terus jadi peragawan, saya akan ketinggalan dari teman-teman saya," ujar bos 200 orang pekerja itu. Bisnis sepatu dipilihnya lantaran masih berkaitan erat dengan dunia mode. Keputusannya itu ternyata tepat. Bisnis sepatunya berkembang pesat dengan omzet miliaran rupiah per tahun. Sepatu karya Yongki tak hanya terkenal di Indonesia, tapi juga sampai ke Singapura dan Nigeria.
  
Sumber : groups.yahoo.com  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar