Selasa, 04 Desember 2012

Simon Bisnis Roti


Pria putus sekolah yang hanya sempat mengenyam pendidikan di ST atau setara SMP, mengawali bisnisnya hanya bermodal sebagai tukang dorong gerobak roti hingga mendapat kepercayaan mengelola toko roti yang bangkrut. Kini ia memiliki enam toko roti yang tersebar di beberapa provinsi di Sumatera.

Puluhan karyawan berbaju merah, di sebuah toko roti Saimen, Jalan Raden Mattaher No 52-54, Pasar Jambi,   tampak sibuk melayani setiap pengunjung yang datang. Di sisi kanan, terlihat rak-rak yang diisi bermacam-macam roti dan kue tradisional. Pembeli pun dapat dengan bebas memilih jajanan kesukaannya. Di bagian dalam tampak antrean para pembeli yang tengah memesan berbagai makanan seperti fried chicken, mi, nasi goreng, serta berbagai menu lainnya. Bahkan kursi-kursi yang disediakan hampir semua diduduki oleh para pengunjung yang menikmati makanan yang telah dibeli.

Dari lantai dua bangunan tersebut, terdengar riuh tepuk tangan seperti sebuah acara. Ternyata saat itu sedang berlangsung pemberian Anugerah Gandum Kencana 4. Acara yang telah menjadi agenda tahunan itu memberikan apresiasi kepada pelanggan setianya berupa hadiah-hadiah menarik seperti handphone dan sepeda motor.
Di tengah ruang tersebut, tampak berdiri sosok pria berkulit putih yang mengenakan baju kemeja kuning dan kacamata. Dengan penuh senyuman, dia menerima ucapan selamat dari seluruh undangan seraya bersalam-salaman. Dialah Simon Daud, sang pemilik toko roti Saimen, yang begitu terkenal di Jambi dan beberapa daerah lainnya.
Pembawaannya sederhana, tak ubahnya seperti pegawai lain. Sambil tersenyum hangat, ia mempersilakan Jambi Independent duduk. “Terima kasih sudah datang,” ucapnya mengawali pembicaraan kepada wartawan koran ini, yang juga memberikan ucapan selamat kepadanya.
Ia pun menjelaskan ihwal nama Anugrah Gandum Kencana yang diambil dari kata gandum. “Karena usaha roti, mi, dan ayam goreng, serta kue-kue yang saya kelola semua menggunakan gandum, makanya diberi nama Anugerah Gadum Kencana,” ujar pria kelahiran Bangka Belitung, 1957, itu.
Usaha roti yang dirintis sejak 1985 di Kota Jambi bermula dari kesederhanaan. Peralatan yang masih sederhana serta modal terbatas hanya Rp 20 juta. “Modal Rp 20 juta itu sudah termasuk sewa toko, kendaraan, peralatan kue sederhana, bahan baku, dan perlengkapan toko,” kenang Simon Daud akan masa lalu usahanya, yang diberi nama Roti Prancis.
Modal usaha yang sangat terbatas itu didapat dari hasil tabungan sejak 1997-1984 sebagai tukang dorong gerobak roti dan pengelola toko roti di Palembang. Pengalaman menjadi tukang dorong gerobak roti dilakoni Simon di usia 16 tahun ketika memutuskan merantau dari Bangka ke Palembang. Ia berharap setiba di Palembang bisa masuk Balai Pelatihan Kerja yang dikelola orang Jerman. Tapi sayang pelatihan itu sudah ditutup, karena hanya berlangsung lima tahun. “Pas saya ke Palembang, pelatihan itu sudah tahun kelima, jadi saya tidak bisa ikut lagi,” ujarnya.
Tak berputus asa, untuk memenuhi kebutuhan hidup, Simon ikut bekerja di sebuah toko roti sebagai tukang gerobak yang mengantarkan roti ke ekspedisi untuk dikirim ke daerah. “Saya bekerja sebagai tukang dorong gerobak roti selama tiga tahun,” akuinya.
Selama mendorong gerobak, Simon dengan ringan tangan sering membantu pekerjaan para pembuat roti. Dari rajin membantu dan bertanya itulah akhirnya Simon mendapatkan ilmu tentang membuat roti. “Dasarnya juga saya memang sudah bisa bikin roti, belajar dari ibu saya. Tapi di toko roti itu saya bisa menambah ilmu lagi,” ujar pria yang memiliki tiga anak itu.  
Tiga tahun bekerja sebagai pendorong gerobak roti, toko tempatnya bekerja bangkrut dan terlilit utang karena sang pemilik kalah judi. Tak ingin kehilangan pekerjaan, Simon pun melakukan negosiasi dengan pabrik roti yang merupakan relasi bisnis tempatnya bekerja. “Saya minta ke pemilik pabrik untuk dukung saya menjalankan toko roti yang bangkrut tersebut, dan berjanji akan melunasi utang yang ditinggalkan pemilik sebesar Rp 6 juta. Saya janji lunasi dalam satu tahun,” tegas Simon dengan penuh keyakinan kala itu.
Berhasil melunasi utang toko roti, pemilik toko pun akhirnya menyerahkan usahanya kepada Simon dengan pembayaran modal toko sebesar Rp 4 juta, dicicil selama satu tahun.
Bakat usaha sebenarnya telah ditanamkan oleh orangtua Simon yang hanya bekerja sebagai nelayan. Dulu, sebelum berangkat sekolah ST, oleh orangtuanya Simon disuruh mengantar ikan terlebih dahulu ke pasar. Sesampai di sekolah, tubuh Simon sering tercium bau amis ikan. Karena itu Simon sering mendapat ejekan teman sekolahnya dan bahkan dijauhi. Tapi bagi Simon itu bukan masalah untuk bisa meneruskan sekolah. “Dari situ saya bertekad bisa sukses dan mengubah nasib agar tidak dihina orang. Setelah sukses pun saya tidak mau sombong,” kata Simon penuh sahaja.
Sukses mengelola toko roti di Palembang, tepatnya di dekat Jembatan Ampera, Simon memutuskan membuka usaha di Jambi. Pada 1985 dia merintis usaha di Jambi. Perkembangannya tidak begitu pesat, karena kepengurusannya masih melalui pihak ketiga. Pada 1990 Simon memutuskan menetap di Jambi dan mengurus sendiri usahanya. Lalu pada 1992, Roti Prancis berganti nama menjadi Saimen yang diambil mirip namanya. “Roti Saimen itu pun langsung saya patenkan,” tegasnya.
Menjalankan bisnis roti, menurut Simon, perlu kerja keras, penelitian soal rasa dan selera pasar, serta kualitas makanan. Berkat keuletan dan kepiawaiannya menjalankan usaha roti, usaha itu pun terus berkembang dengan menambah berbagai menu seperti mi, ayam goreng, dan kue jajanan pasar. “Agar usaha ini terus berkembang, saya sangat menjaga kualitas rasa dan bahan. Selanjutnya baru melakukan promosi agar lebih dikenal masyarakat,” imbuhnya.
Simon pun membuka beberapa cabang seperti di Muarabungo dan Sipin. Tak hanya sampai di situ, Simon pun melebarkan sayap bisnisnya hingga ke provinsi tetangga seperti Bengkulu, Palembang, dan Tanjungpinang. Bahkan pada 2010 Simon berencana membuka sepuluh cabang lagi di beberapa daerah, di antaranya Tembilahan, Bangko, Sarolangun, Linggau, dan Curup.
Kalau biasanya usaha dimulai dari kota besar ke daerah, Simon justru memulai sebaliknya. “Karena itulah sama teman-teman saya dijuluki ‘Si Kabayan Masuk Kota’,” ucapnya sambil tersenyum.
Resep roti dan masakan yang ditawarkan Simon sesuai selera masyarakat setempat. Ia rajin mempelajari selera masyarakat di berbagai daerah, lalu meraciknya menjadi sebuah citarasa yang khas, lezat, dan tanpa pengawet. “Target untuk ekspansi penuhi wilayah Sumatera,” ucapnya optimistis.
Untuk memperkaya ilmu, Simon rela merogoh kocek lebih dalam guna mengikuti kursus di Jakarta dan beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, Bangkok, Thailand, Taiwan, Jepang, Cina, dan beberapa negara Eropa. “Habis belajar dari Eropa, pulangnya di pesawat saya nyaris hampir mati gara-gara menahan buang angin,” ucapnya sambil tertawa. Simon mengaku tidak enak kentut karena di sebelahnya duduk seorang bule Eropa. Takut dianggap tidak sopan, ia menahan kentut hingga perut terasa bengkak dan napas terasa menyesak. “Saya sampai terbaring lemas,” katanya sambil mengelengkan kepala.
Lantas dengan ilmu yang didapat itu, ia pun berencana membangun Baking School, pusat pendidikan para kitchen (tukang masak) dan baker (pembuat roti). “Tapi ini masih untuk kalangan intern,” pungkasnya.
Dalam waktu dekat Simon berencana membuka I-Donat and Cafe di Jalan Sumantri Brojonegoro, Sipin. “Mudah-mudahan dalam waktu dekat semua terealisasi,” katanya mengakhiri percakapan.

Sumber : jambi-independent.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar