Pria kelahiran Belawan, Sumatera Utara, 25 Desember 1949, bernama asli Tan Kang Hoo, ini seorang pengusaha yang telah sukses berinvestasi di lebih 10 negara. Chairman dan CEO PT Raja Garuda Mas International dan Komisaris Utama PT Inti Indorayon Utama, ini salah satu raja produsen minyak kelapa sawit dan pulp and paper di dunia.
Dalam kondisi sulit, saat pemerintah mengambil kebijakan menaikkan harga minyak lebih 100%, Sukanto mengajak semua komponen bangsa bisa bekerjasama dan fokus pada bidang masing-masing, terutama supaya lapangan kerja tetap tertangani. Pengusaha tetap fokus pada bidang usahanya dan pemerintah fakus mengupayakan efisiensi.
Perihal, dia telah lebih sering tinggal di luar negeri, bahkan membuat markas pusatnya di Singapura, Sukanto mengatakan bahwa hal itu bukan berarti pihaknya lari ke luar negeri, melainkan berupaya mengembangkan pasar sampai ke luar negeri.
“Kita ingin buktikan bahwa pengusaha Indonesia tidak hanya jago kandang yang dapat fasilitas dari pemerintah. Tapi kami juga bisa menaklukkan dunia, dan kompetitor besar,” kata Sutanto.
Dia memberi contoh, seperti Jepang. Toyota cari pasar di Indonesia dengan assembling mobil. Apakah mereka itu lari ke Indonesia? Tidak, mereka cuma cari pasar di negeri ini.
Jadi, katanya, kalau kita ekspansi ke luar negeri, bukan melarikan diri, tapi berupaya meraih yang lebih besar lagi dan siap dalam persaingan.
Sukanto Tanoto mengaku sosoknya mirip ibunya: tegas dan keras. Pernah suatu ketika Sukanto kecil ngeluyur pergi ke tepi laut. Waktu pulang, ditanya oleh ibunya, jawabnya mengarang-ngarang, Sukanto kecil dipukuli pakai rotan. “Saya paling banyak makan rotan,” kenangnya tentang sosok sang ibu.
Tapi, dengan sifat keras dan tegas, termasuk dalam hal berbisnis, ia bisa menjadi salah seorang pengusaha papan atas Indonesia, memimpin sejumlah perusahaan di bawah grup Raja Garuda Mas Internasional.
Sebenarnya, sejak kecil, Sukanto—yang pada usia 12 tahun sudah gemar membaca apa saja, termasuk buku tentang revolusi Amerika dan Perang Dunia—bercita-cita jadi dokter. “Kalau dulu saya meneruskan ke fakultas kedokteran, saya jadi dokter,” ujarnya. Karena obsesi itu, sampai 1973-1974, ia masih senang pakai nama dokter Sukanto.
Tapi, saat baru 18 tahun, ayahnya, Amin Tanoto, sakit stroke. Sulung dari tujuh bersaudara ini lalu mengambil alih tanggung jawab keluarga: meneruskan usaha orangtua berjualan minyak, bensin, dan peralatan mobil. Pekerjaan yang tak asing baginya karena sepulang sekolah ia biasa membantu orangtuanya sambil membaca buku. Dan, dari situ Sukanto alias Tan Kang Hoo pertama kali belajar keterampilan bisnis, termasuk menerima kenyataan dan tidak menyerah dalam keadaan apa pun, serta mencari solusi.
Pindah dari kota kelahirannya, Belawan, Sumatra Utara, ke Medan, ia juga berdagang onderdil mobil, lalu mengubah usaha itu menjadi general contractor & supplier. Suatu ketika, datang Sjam, seorang pejabat Pertamina dari Aceh. “Waktu itu saya tidak tahu kalau dia pejabat,” kenang Sukanto. Ditawari kerja sama pekerjaan kontraktor, “Ya, mau-mau saja, wong saya masih muda,” ujarnya. Tak disia-diakan kesempatan itu, di Pangkalan Brandan, Sumatra Utara, Sukanto membangun rumah, memasang AC, pipa, traktor, dan membuat lapangan golf di Prapat. “Itulah technical school saya,” katanya. Untuk mencari bahan bangunan, ia sampai pergi Sumbawa, Lampung, pada usia 20 tahun.
Pandai melihat peluang, waktu impor kayu lapis dari Singapura menghilang di pasaran, di Medan ia mendirikan perusahaan kayu, CV Karya Pelita, 1972. “Negara kita kaya kayu, mengapa kita mengimpor kayu lapis,” ujarnya. “Saya itu pioner,” katanya. Di saat orang lain belum membuat kayu lapis, ia memproduksi kayu lapis dan mengubah nama perusahaannya menjadi PT Raja Garuda Mas (RGM), dengan ia sebagai direktur utama, 1973. Kayu lapis bermerek Polyplex itu diimpor ke berbagai negara Pasaran Bersama Eropa, Inggris, dan Timur Tengah.
“Strategy competition saya itu satu dua step sebelum orang mengerjakannya,” ungkapnya. Ketika belum ada orang membuka perkebunan swasta besar-besaran, walaupun waktu itu sudah ada perkebunan asing, di Sumatra, Sukanto membuka perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran.
“Setelah itu baru kita bikin Indorayon,” tuturnya. PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang bergerak di bidang reforestation menghasilkan pulp, kertas, dan rayon, serta mampu memasok bibit unggul pohon pembuat pulp di dalam negeri. Kehadiran IIU sempat ditentang masyarakat dan aktivis lingkungan hidup. Karena, ditengarai, Danau Toba tercemar berat oleh limbah pulp. Akibatnya, IIU sempat ditutup.
Tapi, Sukanto memetik hikmahnya: belajar dari kesalahan, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. “Apa yang saya pelajari dari situ (Indorayon), lalu saya pakai di Riau,” ujarnya. Di Riau, ia membuka Hutan Tanaman Industri dan mendirikan pabrik pulp yang konon terbesar di dunia, PT Riau Pulp. Mulai berdiri 1995, karena krisis, baru jadi pada 2001. Di sekitar pabriknya, bersama lembaga swadaya masyarakat, Sukanto membuat program community development untuk penduduk setempat. “Saya tidak kasih ikan, tapi saya ajari mancing, itu yang kita kerjakan,” tuturnya. Antara lain, program community development: penggemukan sapi, pembangunan jalan, dan pertanian. “Mimpi saya, kalau saya dapat seratus pengusaha Riau itu jadi miliader, saya senang,” katanya lagi.
Selain di Indonesia, Raja Garuda Mas, yang memiliki sekitar 50 ribu karyawan, beroperasi di Cina, Brasil, Finlandia, Malaysia, dan Filipina. Perusahaan dan kantor pemasarannya berada di Singapura, Hong Kong, Jepang, India, Korea, Swiss, Australia, dan Amerika Serikat. “Ia kini banyak bermain di luar Indonesia,” kata Dick Heryawan dari Actual Data Niaga, penulis profil 400 pebisnis paling moncer di Indonesia.Sukanto membangun tiga perusahaannya di Pangkalan Kerinci, Riau, pada 2004 melalui APRIL. Perusahaan yang disebut Riau Complex itu terdiri dari PT Riau Andalan Pulp and Paper, PT Riau Andalan Kertas, dan PT Riau Prima Energi. Kapasitas produksi bubur kertasnya dua juta ton per tahun. Sedangkan produksi kertas 400 ribu ton per tahun. Hingga 2004, pendapatan APRIL US$ 1,03 miliar. Paper One, salah satu produk kertas, beredar di 51 negaraBisnis Sukanto sempat seret ketika krisis ekonomi dan politik menghajar Indonesia pada 1997. Rontoknya kurs rupiah membuat ia terjerat utang Rp 2,1 triliun ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Itu belum termasuk utang Riau Complex US$ 1,26 miliar. Tapi Sukanto tak ambruk. Pada 1998 ia “mencaplok” Sateri Oy, pabrik serat viscose, serat buatan mirip kapas, di Finlandia.
Di Sateri International, induk Sateri Oy, Sukanto duduk sebagai komisaris. Lima tahun kemudian, Sateri membeli Bahia Pulp, pabrik bubur kertas di Brasil, dengan harga US$ 91 juta.Pada Februari 2006, untuk menggenjot produksi pelarutan bubur kertas menjadi 365 ribu ton per tahun, Sateri International mengucurkan US$ 400 juta ke Bahia. Uang segar itu merupakan tindak lanjut pertemuan Sukanto dengan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, yang menjanjikan dana investasi. Ketika itu Sukanto “menghadiahi” Lula blangkon dan caping Jepang.
Di Sao Paulo, Brasil, Sukanto sesungguhnya sudah menjejakkan kaki bisnis sejak 2003, tatkala ia membeli 81,7 persen saham Klabin Bacell SA, perusahaan bubur kertas. Selain di Brasil dan Finlandia, Sateri juga merambah Cina. Di negeri tirai bambu itu, Sateri JiangXi memproduksi serat viscose. Dengan kapasitas 60 ribu ton per tahun, pada 2004 pendapatan Sateri International US$ 228 juta. Adapun laba kotornya sekitar US$ 44 juta.
Sukanto juga memborong 90 persen saham Shandong Rizhao SSYMB Pulp and Paper Co. Ltd., pabrik bubur kertas terbesar di Provinsi Shandong, Cina, yang berkapasitas produksi 1,3 juta ton per tahun. Di sini Sukanto mendirikan Pacific Oil & Gas. Meski terbilang pemain baru di industri minyak, Pacific yang berpusat di Hong Kong sudah terlibat dalam proyek besar, seperti membangun terminal penerima LNG dan pembangkit listrik berbahan gas kapasitas 1.400 megawatt di Xiamen, Cina.
KEJELIAN Sukanto berbisnis sudah dimulai tatkala ia berusia 17 tahun di Belawan, Sumatera Utara. Saat itu ia mengambil alih toko ayahnya, yang meninggal lantaran serangan jantung. Sukanto muda berjualan minyak dan onderdil mobil. Dari Belawan, sulung tujuh bersaudara ini hijrah ke Medan. Di kota ini, Tan Kang Hoo, demikian nama Sukanto, menambah lagi sayap bisnisnya: menjadi kontraktor dan pemasok suku cadang untuk Pertamina.Pada 1972, ia mendirikan perusahaan kayu CV Karya Pelita. Saat itu Indonesia bergantung pada pasokan tripleks dari Singapura.
Belakangan, perusahaan itu berganti nama menjadi PT Raja Garuda Mas. Untuk mendalami seluk-beluk bisnis kayu, Sukanto bahkan sampai terbang ke Taiwan, mempelajari segala ihwal kayu lapis. Tak sampai enam bulan, Raja Garuda Mas memproduksi Polyplex, demikian merek kayu lapisnya, yang ia jual hingga ke Timur Tengah dan Eropa.Sukanto kemudian mendirikan Forindo Pte. Ltd. di Singapura. Perusahaan pengadaan barang dan jasa logistik ini khusus untuk mendukung operasionalisasi Raja Garuda Mas. Sejak itu laju bisnisnya tak terbendung.
Lalu ia terjun ke properti dan kelapa sawit. Lewat PT Bina Sarana Papan, Sukanto membangun Uni Plaza dan Thamrin Plaza di Medan.Sukanto masuk ke bisnis kelapa sawit dengan mendirikan PT Inti Indosawit Subur pada 1980. Saat itu luas kebun kelapa sawitnya sudah 8.000 hektare dengan 2.000 karyawan. Tiga tahun kemudian Raja Garuda Mas mengakuisisi Bimoli.
Pada tahun yang sama, Sukanto mendirikan Pec-Tech, perusahaan yang awalnya mendukung kebutuhan Raja Garuda untuk jasa konstruksi, rekayasa, dan pengadaan logistik.Pec-Tech juga menggarap proyek infrastruktur, energi, minyak, dan gas di Cina dan Brasil. Contohnya, pembangkit 1.600 megawatt di Xiamen, Fujian, Cina, serta membangun ladang gas di Arun dan Bontang. Dalam 10 tahun terakhir, nilai proyek yang dikerjakan Pec-Tech US$ 4 miliar.
Pada 1980, Sukanto terjun ke bisnis bubur kertas dan serat rayon pengganti kapas. Ia mendirikan pabrik bubur kertas di Desa Sosor Ladang, Kecamatan Porsea, 215 kilometer arah tenggara Medan. Total investasi yang ia tanamkan US$ 213 juta (ketika itu sekitar Rp 852 miliar). “Pertama dalam hidup saya investasi sebesar itu,” ujar Sukanto, seperti dikutip Finance Asia.Belakangan, pabrik seluas 200 hektare itu ditentang Emil Salim, Menteri Negara Lingkungan Hidup saat itu.
Menurut Emil, lokasi pabrik yang dekat permukiman itu mencemari Sungai Asahan. Tapi PT Inti Indorayon Utama terus maju. Bahkan mendapat hak pengusahaan hutan tanaman industri 150 ribu hektare-kemudian menjadi 269 ribu hektare. Mendapat restu Presiden Soeharto, Indorayon mulai beroperasi pada April 1989.
Baru beberapa bulan uji operasi, penampung air limbah jebol. Satu juta meter kubik limbah tumpah ke Sungai Asahan. Indorayon tutup pada Juni 1998. Namun, Maret 2003, Indorayon kembali diizinkan beroperasi. Namanya berganti menjadi PT Toba Pulp Lestari. Selama tutup, Indorayon mengaku tekor US$ 600 juta.
Pada 1989 Sukanto mendirikan Asian Agri. Induk usaha ini mengelola 150 ribu hektare kelapa sawit, karet, dan kakao di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Dengan 19 pabrik, kapasitas produksi Asian Agri menembus satu juta ton minyak sawit per tahun dan menjadi salah satu pemain minyak sawit terbesar di dunia.Asian Agri sendiri kini tersandung dugaan menggelapkan pajak Rp 1,3 triliun. Dua pekan lalu sebagian berkas kasus Asian Agri ini telah dilimpahkan Direktorat Pajak ke Kejaksaan Agung. Juru bicara Asian Agri, Rudi Victor Sinaga, menyatakan sudah menyiapkan dokumen untuk klarifikasi. Ia merasa Direktorat Jenderal Pajak tak pernah mengajak berunding. “Kami melihat saja,” katanya.
Usaha Sukanto yang lain adalah bank. Ketika United City Bank mengalami kesulitan keuangan, pada 1986-1987, ia mengambil alih mayoritas sahamnya dan bangkit dengan nama baru: Unibank. Di Medan, ia pun merambah bidang properti, dengan membangun Uni Plaza, kemudian Thamrin Plaza. Tidak hanya dalam negeri, ia melebarkan sayap ke luar negeri, dengan ikut memiliki perkebunan kelapa sawit National Development Corporation Guthrie di Mindanao, Filipina, dan electro Magnetic di Singapura, serta pabrik kertas di Cina (yang kini sudah dijual untuk memperbesar PT Riau Pulp). Sejak 1997, Sukanto memilih bermukim di Singapura bersama keluarga dan mengambil kantor pusat di negeri itu. Obsesinya, ingin jadi pengusaha Indonesia yang bersaing di arena global, minimal di Asia. Tujuan utamanya, menurut dia, “Bagaimana kita bisa memanfaatkan keunggulan kita, untuk bersaing, paling tidak di arena Asia.”
Kini, selain bisnis, ia hendak menulis buku tentang bagaimana entreprenur menghadapi krisis. “Yang mau saya lakukan itu adalah penelitian bagaimana pengusaha di Eropa itu survive, pada First World War, Second World War. Bagaimana pengusaha Amerika itu melewati krisis 1930. Bagaimana pengusaha-pengusaha di Cina, waktu perubahan rezim, ketika komunis masuk, bagaimana mereka itu survive. Saya juga akan mempelajari bagaimana pengusaha-pengusaha melalui Latin America krisis, yang di Brasil,” tuturnya. “Apa krisis itu memunculkan bibit-bibit entreprenur yang baru,” katanya lagi.
Sampai sekarang Sukanto masih hobi baca buku. Buku apa saja, baik yang bisnis maupun nonbisnis. “Setiap saya pergi, saya bawa buku,” katanya. “Kalau naik travel, kalau tidak tidur, ya, baca,” katanya lagi. Manfaatnya, menurut dia, selain untuk update pengetahuan, juga membantu sekali dalam binis dan kegiatan sosial sehari-hari. Satu lagi, pria yang menguasai dua bahasa asing, Cina dan Inggris, ini senang belajar. Ia pernah mengikuti kursus di Insead, Paris, di MIT, di samping tetap jadi peserta Lembaga Pendidikan dan Pemibinaan Manajemen, Jakarta. Sampai sekarang pun ia kadang mengambil cuti untuk mengikuti kursus pendek. “Karir saya satu lagi: siswa profesional abadi,” katanya. Dua-tiga minggu ia cuti untuk pergi ke Harvard, Tokyo, London School of Economic, untuk meng-update pengetahuan. Terakhir, 2001 lalu, ia mengikuti Wharton Fellows Program, Amerika, selama enam bulan, untuk belajar dotcom.
“Kalau di bisnis, kunci sukses saya: think, act, learn, baca, dengar, lihat,” katanya. “Kedua, kalau saya tidak tahu, saya tanya. Saya juga tidak merasa sungkan menceritakan kegagalan saya,” ujarnya lagi. Selain itu, pegangannya: do the right thing, do the thing right. Do the right thing diartikan sebagai suatu pedoman pada pola manajemen. Do the thing right memiliki penekanan terhadap pentingnya suatu action. “Prinsip saya, bisnis dan politik tak boleh campur,” ujar pengagum pengusaha plastik dari Taiwan, Wai-Sze Wang, ini. “Bisnis, ya, bisnis,” katanya.
Sumber : inspirasidaily.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar