Minggu, 14 Oktober 2012

Berawal Pedagang Minyak Kini Juragan Jeans

Jika mau menulis tentang kisah hidup saya, bisa-bisa lebih dari 20 buku,” kata Ase Sopian di pemilik Vially Jeans, di rumahnya di Babakan, Ciparay, Kota Bandung, beberapa waktu lalu.

Pria 54 tahun yang lebih dikenal dengan panggilan Abah Ase ini memiliki pengalaman luar biasa untuk membesarkan usahanya.

Baginya, peranan perbankan, terutama Bank Mandiri, memberikan pinjaman turut membantu perkembangan usahanya hingga berhasil seperti sekarang. Kredit dari Bank Mandiri digunakan Ase untuk membeli peralatan operasional seperti mobil, mesin, dan peralatan operasional lain.

Ase menceritakan, perkembangan usahanya dilalui dengan banyak cobaan. Dia pernah berjualan sayur dan berdagang minyak keliling. Berdagang sayur dan minyak keliling, menurut ukurannya, tidak bisa mendongkrak kesejahteraan keluarga.

Dengan tekad membantu sesama dan memperbaiki kehidupan, Ase memutuskan untuk berbisnis. ”Saya ingin beribadah, membantu orang lain dengan apa yang saya punya,” ucap Ase.

Sekira pertengahan 1980-an Ase, yang ketika itu masih berdagang minyak, bertekad untuk mengubah nasib. Lulusan sekolah teknik menengah (STM) di Bandung ini mencari usaha yang cocok baginya.

Sampai suatu ketika Ase menyaksikan tetangganya yang menjalankan bisnis konveksi bisa membagikan uang dan sebagian harta kepada tetangga-tetangga yang lain. “Beliau yang menginspirasi saya,” ungkapnya.

Lalu Ase berkonsultasi dengan beberapa anggota keluarga. Akhirnya dia memutuskan untuk berbisnis konveksi seperti tetangganya. Salah seorang keluarga meminjamkan uang untuk roda usaha yang akan dijalankan Ase. “Saya ingat modalnya Rp60 juta. Dulu uang senilai itu besar sekali untuk menjalankan usaha,” ujar Ase.

Pada 1985 Ase mencoba peruntungannya. Dengan dua karyawan dan dua mesin Ase mulai memproduksi celana jeans. Tidak langsung besar, namun Ase rajin memasarkan, membina karyawannya, dan menjalin koneksi dengan beberapa pedagang.

Berkat kegigihannya, pada medio 1990-an produk Ase mampu menguasai Kota Bandung dan sekitarnya. Mesin produksi terus ditambah sampai Abah Ase memiliki 15 mesin yang menjadi asetnya kini.

Mesin-mesin itu terdiri atas mesin jahit, obras, trash, dan mesin-mesin lain yang mendukung proses pembuatan celana jeans.

Saat ini celana jeans produksi Ase yang diberi label Vially Jeans sudah masuk ke sebagian wilayah Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Sulawesi. Suami Neneng Salamah ini mempekerjakan warga sekitar rumahnya yang berlokasi di Jalan Terusan Suryani, Gang Abadi, Babakan Ciparay, Kota Bandung.

Selain tetangganya, Ase juga mengajak kerabatnya di kampung halaman di Garut untuk membantunya membuat celana dan jaket berbahan denim. “Karyawan saya borongan, jika sedang ramai order ya bisa lebih dari 15 orang. Jika tidak ya paling 10 orang,” paparnya.

Meski demikian, perjalanan bisnis Ase tak luput dari cobaan. Ayah tiga orang putri dan dua orang putra ini mengaku bisnisnya sempat jatuh dan nyaris membuatnya putus asa.

Pada pertengahan 1990-an, dia tertipu koleganya hingga ratusan juta rupiah. Hebatnya Ase mampu melewati itu. “Saya bisa bangkit,” kata pria kelahiran Garut, 17 April 1956 ini.

“Jika terus larut dalam kesedihan dan keputusasaan, kapan kita bangkit,” ujarnya. Kejatuhan itu akibat dia terlalu bersemangat menyambut usahanya yang semakin maju.

Kala itu Ase kurang mengontrol ego sebagai pengusaha yang besaran penghasilannya tidak disangka-sangka. Bahkan oleh dia sendiri. Namun pengalaman pahit itu sudah berlalu. Kini dia telah merengkuh sukses.

Dari bisnisnya, Ase bisa beribadah haji ke Tanah Suci, memiliki empat unit rumah yang tersebar di Kota Bandung, sebuah vila di Garut, dan beberapa buah mobil.

“Saya juga menyekolahkan anak-anak saya dari bisnis saya ini. Mereka semua lulus kuliah. Bahkan salah seorang anak perempuan saya berhasil lulus S-2 dan sekarang menjadi dosen di Jambi,” tutur Ase.

Dia menjual satu potong celana jeans Vially seharga Rp65 ribu. Dalam satu hari rata-rata Ase bisa mengantongi Rp6.500.000 dari hasil penjualan 100 potong.

Menurut Ase, dalam memasarkan dan menjual produk dia kerap menemui kendala. Misalnya, ada kompetitor yang bersaing tidak sehat. Kemudian yang paling parah adalah pemberlakuan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) mulai tahun ini.

Pemberlakuan kesepakatan perdagangan bebas itu berakibat membanjirnya produk jeans asal Negeri Tirai Bambu yang berharga murah. “Omzet saya bisa turun hingga 25 persen,” ucapnya.

Dampak ACFTA, sambung Ase, baru terasa pada April tahun ini. Padahal, kualitas produk jeans asal Indonesia pada umumnya jauh lebih baik daripada buatan China. Sayangnya, menurut Ase, konsumen di Indonesia masih berorientasi pada harga, bukan kualitas.

“Harga mereka (produk China) bisa lebih murah hingga Rp10 ribu. Secara kasat mata memang perbedaan produk mereka dengan kita tidak terlihat, tapi jika ditilik bisa kentara. Buat kami ACFTA berdampak negatif, meski saya pribadi bertekad jangan sampai kalah,” paparnya.

Ase sebenarnya memiliki niat yang besar untuk memasarkan produknya ke luar negeri. Akan tetapi dia mengaku tidak tahu prosedur dan belum memiliki koneksi untuk memasarkannya.

“Sangat ingin ekspor, tapi tidak tahu jalan. Saya ingin sekali memasarkan produk saya di China. Siapa tahu bisa menandingi produk tuan rumah,” harapnya.

Saat ini Ase memiliki toko di Plaza Parahyangan, Jalan Dalem Kaum, Kota Bandung. Toko itulah yang mendistribusi barang milik Ase ke seluruh Indonesia. Total ada 40 pelanggan tetap Ase dari luar kota.

Dia berencana membuka toko baru di daerah Mochammad Toha, Kota Bandung. “Saya sudah membeli tokonya, tinggal mengisi barang di sana,” ucapnya.

Ase mengatakan, sebagai pelaku usaha kecil dia mendapat perlakuan yang baik dari Bank Mandiri. Pengajuan dan pencairan modal usaha dari Bank Mandiri tidak terlalu lama.

Dia mendapatkan modal dari bank dengan aset terbesar di Indonesia tersebut pada akhir 2008. Namun dia enggan menyebut jumlahnya. “Ada, lumayan,” sebutnya.

Bank Mandiri, katanya, sangat membantu UMKM melalui kucuran kredit. Dia berharap, pemerintah terus membangun link antara perbankan dan UMKM.

“Terbukti UMKM salah satu elemen pendukung peningkatan ekonomi masyarakat yang tahan banting. Saya pikir Bank Mandiri sangat membantu dalam mengembangkan UMKM di Indonesia,” tuturnya.

Dalam mengelola bisnis, kakek seorang cucu ini memiliki prinsip tersendiri. Dia tidak pernah takut dengan kesusahan. Justeru kesusahanlah yang bisa membulatkannya untuk berinovasi, berkarya, dan menghasilkan sesuatu yang belum pernah dia capai.

“Jangan pernah kapok, jangan pernah putus asa. Karena dengan kita diuji oleh kesusahan, di sanalah momentum kita untuk berpikir,” papar Ase.

Berkat inovasinya pula kini Ase mengembangkan usahanya ke usaha bordir. Dari sini dia mendapatkan tambahan penghasilan. Menjadi pengusaha, kata Asep, tidak sulit.

“Asal ada kemauan dan mental yang kuat. Tidak cengeng dan berani mengambil risiko. Saya jamin, manusia bermental kuat dan memiliki kemauan, apa yang dikerjakannya akan meraih sukses,” ungkapnya.

Ase mengajarkan anak-anaknya agar bisa berdiri sendiri, tidak menggantungkan nasib pada orang lain. Hanya satu putrinya yang mengabdi menjadi dosen, sisanya bercita-cita menjadi pengusaha.

“Menjadi pengusaha lebih asyik daripada menjadi pegawai. Saya sendiri seumur hidup saya tidak pernah menjadi anak buah orang lain,” kenangnya.

Meski tidak merasa sebagai pengusaha sukses, kini Ase sudah bisa mewujudkan cita-citanya sejak dulu. Bisa mendongkrak kesejahteraan serta dapat mempekerjakan kerabat dan tetangganya. “Dan yang terpenting saya bisa berbagi dengan orang lain,” kata Ase.

Sumber : economy.okezone.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar