I Wayan Paramarta memang bukan seorang artis terkenal. Kendati jauh dari popularitas, sosok Paramarta yang tinggal di Lingkungan Batan Ha 2, Amlapura ini ternyata pernah mengharumkan nama Bali juga Indonesia lewat Olimpiade Penyandang Cacat di Kobe, Jepang. Bagaimana kesehariannya sekarang?
PASAR Kesatrian di Amlapura, Jumat siang beranjak sepi. Parkir sepeda motor yang ada di pinggir pasar beringsut satu per satu. Sementara komplek toko yang ada di hadapan parkir, sebagiannya tampak sudah tutup. Tinggal beberapa saja yang masih buka.
Di salah satu toko yang masih buka, lokasinya tak jauh dari mulut terminal Kesatrian, tampak seorang pria cacat duduk santai. Dia dikenal sebagai tukang servis jam di toko tempatnya duduk tersebut. Pandangannya hanya tertuju pada keramaian di hadapannya. Entah orang lalu lalang atau kendaraan yang berseliweran.
Kata sebagian orang di sekitar pasar, pria itulah yang bernama I Wayan Paramarta. Atlet cacat di bidang bulutangkis yang pernah meraih medali emas dalam Olimpiade Penyandang Cacat di Kobe, Jepang.
Kesan pertama saat bertemu Paramarta, orang sangat cuek. Bahkan, sempat menolak untuk diajak bercengkrama, apalagi wawancara. Tapi, lewat pembicaraan awal yang lumayan ringan bersama adiknya, I Nyoman Sindiarta, akhirnya Paramarta menceritakan masa mudanya yang pernah Berjaya di dunia bulutangkis.
“Medali itu saya dapat waktu ikut Olimpiade Penyandang Cacat di Kobe, Jepang. Kalau nggak salah ingat Olimpiade itu berlangsung pada 1989. Waktu itu, saya masih umur 35 tahun,” kata Paramarta yang saat itu masih enggan memalingkan pandangan dari keramaian yang ada di hadapannya.
Selain karena hobi main bulutangkis, keiikutsertaan Paramarta di Olimpiade itu ternyata berawal dari sebuah kebetulan. Dari sejak muda, Paramarta kerap bermain bulutangkis di Gedung Kesenian Amlapura. Pada suatu saat, permainannya menarik perhatian Pak Mika, salah seorang pegawai Dinas Sosial Karangasem. “Mungkin orangnya sudah meninggal sekarang. Pak Mika itu yang berjasa. Dia yang mengajak saya pertama kali ikut turnamen di Malang tahun 1988,” ujarnya.
Saat itu, Paramarta mengiyakan begitu saja kesempatan yang diberikan Pak Mika. Kendati dia disodori tiga syarat. Harus bisa di olahraga menembak, catur, dan bulu tangkis. “Saya iyakan saja. Menembak dan catur saya bisa. Sebelum berangkat ke Malang, saya ke Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) di Badung,” kenangnya.
Sampai di Malang, Paramarta hanya memilih bulutangkis saja. Dua olahraga lainnya, dia kesampingkan. Karena sebelum berangkat, Pak Mika sempat membisiki bahwa dirinya tak harus memainkan ketiga olahraga yang disyaratkan.
“Akhirnya saya ambil bulu tangkis saja. Waktu itu ada klasifikasinya, nggak seperti sekarang. Maksudnya, yang cacat kaki main sama orang yang cacat kaki juga,” imbuhnya. Pada turnamen di Malang, Paramarta meraih medali emas yang pertama kalinya. Sekaligus, sebagai tiket menuju Olimpiade Penyandang Cacat di Kobe, Jepang.
Selepas Olimpiade itu, dirinya sangat aktif di dunia bulu tangkis. Bahkan, sampai sekarang dirinya masih aktif menggenggam raket. Dalam seminggu, dia rutin main di Gedung Kesenian selama empat hari. Bagi dia, bulu tangkis adalah dunianya. Dia mengenal olah raga ini sejak kecil.
“Dulu bulu tangkis itu disebut taplak-taplakan. Sebelum ada Gedung Kesenian, saya main di jalan. Itupun pakai raket dan shuttle cock yang dikasih minta orang. Waktu itu zaman nggak enak, raket mahal sekali. Jadi saya cuma pakai papan atau tulang paha sapi. Raket pertama kali saya pegang karena dikasih penggede yang suka main di Gedung,” tuturnya.
Meski fisiknya mengalami keterbatasan sejak lahir, pria yang telah berusia 56 tahun ini ternyata tipikal orang yang suka berpangku tangan. Buktinya, dari sejak tamat SMP sampai sekarang, dirinya tetap bekerja. Meski pekerjaan itu hanya sebatas tukang servis jam. Semangatnya itu membuat keluarganya sungkan. Demikian halnya dengan orang lain.
Soal santunan dari pemerintah, Paramarta mengaku kerap mendapatkannya. Tapi, dia enggan untuk berharap banyak dalam hal itu. Terakhir, santunan dia peroleh dari Gubernur Bali Dewa Beratha pada 2004 silam dengan nilai Rp 5 juta.
“He he he, kalau ditanya cukup atau tidak, duit segitu jelas nggak cukup. Sekarang saja sudah nggak ada lagi. Terakhir, uang itu saya pakai beli raket yang harganya Rp 900 ribu. Dan, sekarang raket mahal itu sudah patah,” pungkasnya.
Sumber : forum.vibizportal.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar