Berasal dari keturunan
ningrat, Bu Djoko sejak kecil adalah penikmat makanan lezat. Namun, ia
tak banyak mengerti resep masakan. Sebuah "kecelakaan" ketika diminta
membuatkan sop buntut oleh sang suami, mengubah segalanya. Kini ia
memiliki Ningrat Coffee Shop di bandara, Kedai di Semanggi dan di
Senayan.
Sejak
kecil Raden Ajeng Ratna Haryani Suhadi selalu menikmati makanan lezat
di rumahnya. Setiap hari bisa terhidang sampai enam macam makanan di
meja makan. Sekalipun begitu, ia hanya diizinkan untuk menyantap tanpa
pernah diajari cara membuatnya. "Kalau kamu pintar, kamu tak perlu ke
dapur, cukup membayar pembantu," kata wanita yang punya sapaan akrab Bu
Djoko itu, menirukan ucapan ibunya.
Itu
sebabnya, masuk ke bisnis makanan merupakan hal di luar dugaan ibu dari
dua putra ini. Awalnya adalah saat suaminya meminta dibuatkan sop
buntut. Ia pun bingung, tetapi tak ingin mengecewakan suaminya. Lalu,
"Saya masak dengan bumbu racikan sendiri. Tanpa saya cicipi dulu,
langsung saya kasih ke suami," tutur Bu Djoko. Ternyata sop buntutnya
tak mengecewakan. Dan, dalam banyak hal, Bu Djoko sendiri tak bisa
menjelaskan dari mana keahlian yang sekonyong-konyong itu ia dapatkan.
Baginya, keahlian
memasak ia dapatkan murni dari Tuhan karena, sampai sekarang, hanya
dengan melihat saja maka Bu Djoko sudah tahu apa bumbunya.
Pada
tahun 1970, Bu Djoko membuka kafe tenda di daerah yang sekarang
ditempati Plaza Indonesia di Jakarta. Sayangnya, saat itu sudah banyak
penjual sop kikil dan pengunjungnya lebih mengenal sop kikil ketimbang
sop buntut. Karena itu, tidaklah mengherankan jika usaha pertamanya
kurang sukses. Namun, Bu Djoko tak menyerah.
Peluang bisnis kemudian datang dari PT Garuda Indonesia
pada tahun 1985. Saat itu terminal internasional yang belum selesai
dibangun membutuhkan restoran makanan ringan. Restoran ini ditujukan
untuk membantu Garuda melayani penyediaan makanan untuk penumpang yang
menunggu, baik karena penerbangan terlambat maupun karena ada pesawat
transit. Bu Djoko lalu membuat Snack Shop lewat kontrak dengan Garuda.
"Omzet kami tergantung dari banyaknya pesanan saat penerbangan tertunda
atau adanya penumpang transit," kata Bu Djoko yang menghabiskan Rp400
juta untuk pembangunan Snack Shop itu.
Ketika
itu setiap harinya Bu Djoko disibukkan mengurus empat counter dengan
total karyawan sekitar 30 orang. Counter itu tersebar di Gate 1, Gate 2,
Gate 7, dan Gate 6. Maklum saja, saat itu frekuensi penerbangan Garuda
cukup banyak. Ada yang ke Eropa, Singapura, Tokyo, Australia, dan Korea.
Apabila pesawat itu hanya membutuhkan waktu transit satu jam, Bu Djoko
hanya menyediakan minuman saja. Namun, kalau pesawat itu transit sampai
dua jam, untuk mereka disediakan minuman dan makanan ringan sesuai menu
yang mereka pilih antara bolu kukus, pisang goreng, atau sandwich.
Saat
pesawat transit, Bu Djoko mendapat data jumlah penumpang dari pihak
Garuda. Dari data itu, ia lalu menyediakan makanan dan minuman.
"Pembayarannya dilakukan per dua minggu. Nilainya bisa Rp58 juta," kata
Bu Djoko yang saat itu harus memperpanjang kontrak per tahun dengan
Garuda. Di luar kontrak, Bu Djoko juga mendapat keuntungan dari
penjualan bir. Dalam sehari ia bisa menjual ribuan botol bir yang sering
dikonsumsi turis. "Pendapatan dari menjual bir sehari bisa untuk
membeli satu mobil," kenang Bu Djoko.
Pada
waktu itu (tahun 1985), setiap satu paket makanan ringan nilainya US$3
(US$1 = Rp1.100). "Saat itu minuman masih murah, jadi untung kami
lumayan," kata Bu Djoko. Sayangnya, masa keemasan itu tidak berlangsung
lama karena mulai tahun 1990 Garuda tidak lagi membayar dengan dolar.
Pada saat pembayaran menggunakan rupiah, Bu Djoko mengalami kerugian
karena nilai dolar makin tinggi.
Pada
tahun 1992, karena pembangunan bandara sudah selesai, Bu Djoko
dipindahkan ke terminal 2F yang telah selesai dibangun. Di tempat
barunya ini, Bu Djoko tidak lagi mendapat izin menjual makanan ringan.
Ia hanya mendapat izin menjual masakan. Karena itu, di tempat dengan
nama Ningrat Coffee Shop ini ia menjual sop buntut, rawon, dan nasi tim
ayam. Sekalipun sudah tidak menjual makanan ringan, ia masih melayani
pemesanan masakan dari Awair untuk setiap adanya penerbangan yang
tertunda. Namun, kini pemasukan utama Bu Djoko tidak lagi dari penumpang
yang mengalami keterlambatan penerbangan atau transit. Mereka lebih
banyak mendapat keuntungan dari penumpang pesawat. "Dalam sehari, untuk
domestik saja bisa melayani untuk puluhan pesawat," kata Bu Djoko.
Karena
tidak diizinkan memasak di area bandara, Bu Djoko harus memasak dari
rumah. "Saya dengan tujuh pembantu memasak setiap pagi karena jam empat
pagi sudah harus sampai di bandara," ujarnya. Masakan itu nantinya
diantar dengan memakai taksi atau bus Damri. Hal itu dilakukan untuk
menghemat biaya operasional. "Kalau dengan mobil sendiri, kami harus
keluar uang membayar sopir dan perawatan mobil," ungkapnya. Proses
memasak makanan sudah dimulai sejak pukul dua pagi. Sepagi itu,
pembantunya sudah membawa barang belanjaan untuk kemudian mulai memasak.
Masakannya terdiri dari nasi goreng, bubur ayam, bakso, sop buntut,
rawon, dan nasi tim ayam. Agar rasanya tetap terkontrol, Bu Djoko
sendiri turun langsung meramu bumbunya. Sementara itu, untuk menjaga
loyalitas karyawan, Bu Djoko memberi insentif yang cukup besar, bahkan
terkadang lebih besar dari gaji bulanan mereka. "Gaji untuk koki saja
sekitar Rp1 juta," kata Bu Djoko.
Dari
berbagai penumpang pesawat yang singgah di Ningrat Coffee Shop, cukup
banyak yang menyarankan dirinya untuk membuka cabang di luar bandara.
"Anak saya lalu mengusulkan untuk membuat kafe," ujarnya. Bu Djoko lalu
membuat kafe dengan nama Kedai 1 Bu Djoko, di pintu selatan Senayan
dengan investasi sekitar Rp40 juta untuk membeli tenda, kursi, dan
peralatannya. "Sewa tempatnya Rp300.000 per bulan," tambahnya. Ternyata
investasi itu tak seberapa dibandingkan keuntungan mereka saat itu.
Penjualan sehari bisa mencapai Rp10 juta. Kalau dilihat dari jumlah
porsi yang terjual di tempat ini, dalam sehari laku 250 sampai 300
porsi. Penjualan terbesar mereka adalah untuk sop buntut, yaitu sekitar
80 porsi, dengan harga Rp10.000 per porsi. "Kami yang pertama buka 24
jam di sana," tambah Bu
Djoko. Lalu karena digusur, kafe mereka pun terpaksa pindah ke pintu
timur Senayan. Kepindahan ini disesalkan Bu Djoko karena ia kehilangan
beberapa pelanggannya. "Padahal kami sudah memiliki izin resmi," kenang
Bu Djoko. Pindah ke Parkir Timur Senayan, penjualan pun mulai mengalami
penurunan. "Maklum saja, di sana banyak pedagang kaki lima
dan tak semua pelanggan tahu saya pindah," kata Bu Djoko. Untungnya,
saat ini, kelompok pencinta mobil Mercy dan Honda Tiger sering memakai
kedai miliknya untuk tempat "nongkrong". Merasa masih bisa mengembangkan
usahanya, Bu Djoko lalu membuat satu kedai lagi di Semanggi. "Sewanya
lebih mahal dari di Senayan, sekitar Rp3,5 juta per bulan," ujarnya.
Berbeda dengan di Senayan, di sini sop buntut dijual dengan harga
Rp16.000, sementara minuman racikan harganya Rp10.000.
Uniknya,
sekalipun kedua putra Bu Djoko telah jadi pengusaha sukses, mereka
terkadang ikut melayani pembeli. Ade, anaknya, bahkan meramu beberapa
minuman khas yang kini memiliki peminat tetap. Di antaranya,
Bananakolada, yang terbuat dari pisang. Mengenai visi ke depan, dalam
waktu dekat ini Bu Djoko berencana membuat restoran dua lantai untuk
kalangan menengah-atas di Pasaraya. Nilai investasinya sendiri mencapai
Rp2 miliar. "Mungkin harga sop buntut di sana bisa mencapai Rp45.000 per porsi," katanya.
Kendatipun
sudah lumayan sukses, Bu Djoko mengaku tak ingin menjadikan sop buntut
buatannya sebagai bisnis waralaba. Ia mengaku pernah diajak kerja sama
untuk membuat waralaba di Kuala Lumpur dan Hong Kong,
tetapi semua itu ia tepis. "Saya tidak ingin mewaralabakan resepnya,
tapi pengelolaan kafenya," kata Bu Djoko. Dengan begitu, menurut dia,
cita rasa kafe dengan label Bu Djoko akan selalu sama.
Sumber : kisahentrepreneur.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar