Kamis, 11 Oktober 2012

Sukses Enterpreneur Indonesia

Berasal dari keturunan ningrat, Bu Djoko sejak kecil adalah penikmat makanan lezat. Namun, ia tak banyak mengerti resep masakan. Sebuah "kecelakaan" ketika diminta membuatkan sop buntut oleh sang suami, mengubah segalanya. Kini ia memiliki Ningrat Coffee Shop di bandara, Kedai di Semanggi dan di Senayan. 

Sejak kecil Raden Ajeng Ratna Haryani Suhadi selalu menikmati makanan lezat di rumahnya. Setiap hari bisa terhidang sampai enam macam makanan di meja makan. Sekalipun begitu, ia hanya diizinkan untuk menyantap tanpa pernah diajari cara membuatnya. "Kalau kamu pintar, kamu tak perlu ke dapur, cukup membayar pembantu," kata wanita yang punya sapaan akrab Bu Djoko itu, menirukan ucapan ibunya. 

Itu sebabnya, masuk ke bisnis makanan merupakan hal di luar dugaan ibu dari dua putra ini. Awalnya adalah saat suaminya meminta dibuatkan sop buntut. Ia pun bingung, tetapi tak ingin mengecewakan suaminya. Lalu, "Saya masak dengan bumbu racikan sendiri. Tanpa saya cicipi dulu, langsung saya kasih ke suami," tutur Bu Djoko. Ternyata sop buntutnya tak mengecewakan. Dan, dalam banyak hal, Bu Djoko sendiri tak bisa menjelaskan dari mana keahlian yang sekonyong-konyong itu ia dapatkan. Baginya, keahlian memasak ia dapatkan murni dari Tuhan karena, sampai sekarang, hanya dengan melihat saja maka Bu Djoko sudah tahu apa bumbunya. 

Pada tahun 1970, Bu Djoko membuka kafe tenda di daerah yang sekarang ditempati Plaza Indonesia di Jakarta. Sayangnya, saat itu sudah banyak penjual sop kikil dan pengunjungnya lebih mengenal sop kikil ketimbang sop buntut. Karena itu, tidaklah mengherankan jika usaha pertamanya kurang sukses. Namun, Bu Djoko tak menyerah. 

Peluang bisnis kemudian datang dari PT Garuda Indonesia pada tahun 1985. Saat itu terminal internasional yang belum selesai dibangun membutuhkan restoran makanan ringan. Restoran ini ditujukan untuk membantu Garuda melayani penyediaan makanan untuk penumpang yang menunggu, baik karena penerbangan terlambat maupun karena ada pesawat transit. Bu Djoko lalu membuat Snack Shop lewat kontrak dengan Garuda. "Omzet kami tergantung dari banyaknya pesanan saat penerbangan tertunda atau adanya penumpang transit," kata Bu Djoko yang menghabiskan Rp400 juta untuk pembangunan Snack Shop itu. 

Ketika itu setiap harinya Bu Djoko disibukkan mengurus empat counter dengan total karyawan sekitar 30 orang. Counter itu tersebar di Gate 1, Gate 2, Gate 7, dan Gate 6. Maklum saja, saat itu frekuensi penerbangan Garuda cukup banyak. Ada yang ke Eropa, Singapura, Tokyo, Australia, dan Korea. Apabila pesawat itu hanya membutuhkan waktu transit satu jam, Bu Djoko hanya menyediakan minuman saja. Namun, kalau pesawat itu transit sampai dua jam, untuk mereka disediakan minuman dan makanan ringan sesuai menu yang mereka pilih antara bolu kukus, pisang goreng, atau sandwich. 

Saat pesawat transit, Bu Djoko mendapat data jumlah penumpang dari pihak Garuda. Dari data itu, ia lalu menyediakan makanan dan minuman. "Pembayarannya dilakukan per dua minggu. Nilainya bisa Rp58 juta," kata Bu Djoko yang saat itu harus memperpanjang kontrak per tahun dengan Garuda. Di luar kontrak, Bu Djoko juga mendapat keuntungan dari penjualan bir. Dalam sehari ia bisa menjual ribuan botol bir yang sering dikonsumsi turis. "Pendapatan dari menjual bir sehari bisa untuk membeli satu mobil," kenang Bu Djoko. 

Pada waktu itu (tahun 1985), setiap satu paket makanan ringan nilainya US$3 (US$1 = Rp1.100). "Saat itu minuman masih murah, jadi untung kami lumayan," kata Bu Djoko. Sayangnya, masa keemasan itu tidak berlangsung lama karena mulai tahun 1990 Garuda tidak lagi membayar dengan dolar. Pada saat pembayaran menggunakan rupiah, Bu Djoko mengalami kerugian karena nilai dolar makin tinggi. 

Pada tahun 1992, karena pembangunan bandara sudah selesai, Bu Djoko dipindahkan ke terminal 2F yang telah selesai dibangun. Di tempat barunya ini, Bu Djoko tidak lagi mendapat izin menjual makanan ringan. Ia hanya mendapat izin menjual masakan. Karena itu, di tempat dengan nama Ningrat Coffee Shop ini ia menjual sop buntut, rawon, dan nasi tim ayam. Sekalipun sudah tidak menjual makanan ringan, ia masih melayani pemesanan masakan dari Awair untuk setiap adanya penerbangan yang tertunda. Namun, kini pemasukan utama Bu Djoko tidak lagi dari penumpang yang mengalami keterlambatan penerbangan atau transit. Mereka lebih banyak mendapat keuntungan dari penumpang pesawat. "Dalam sehari, untuk domestik saja bisa melayani untuk puluhan pesawat," kata Bu Djoko. 

Karena tidak diizinkan memasak di area bandara, Bu Djoko harus memasak dari rumah. "Saya dengan tujuh pembantu memasak setiap pagi karena jam empat pagi sudah harus sampai di bandara," ujarnya. Masakan itu nantinya diantar dengan memakai taksi atau bus Damri. Hal itu dilakukan untuk menghemat biaya operasional. "Kalau dengan mobil sendiri, kami harus keluar uang membayar sopir dan perawatan mobil," ungkapnya. Proses memasak makanan sudah dimulai sejak pukul dua pagi. Sepagi itu, pembantunya sudah membawa barang belanjaan untuk kemudian mulai memasak. Masakannya terdiri dari nasi goreng, bubur ayam, bakso, sop buntut, rawon, dan nasi tim ayam. Agar rasanya tetap terkontrol, Bu Djoko sendiri turun langsung meramu bumbunya. Sementara itu, untuk menjaga loyalitas karyawan, Bu Djoko memberi insentif yang cukup besar, bahkan terkadang lebih besar dari gaji bulanan mereka. "Gaji untuk koki saja sekitar Rp1 juta," kata Bu Djoko. 

Dari berbagai penumpang pesawat yang singgah di Ningrat Coffee Shop, cukup banyak yang menyarankan dirinya untuk membuka cabang di luar bandara. "Anak saya lalu mengusulkan untuk membuat kafe," ujarnya. Bu Djoko lalu membuat kafe dengan nama Kedai 1 Bu Djoko, di pintu selatan Senayan dengan investasi sekitar Rp40 juta untuk membeli tenda, kursi, dan peralatannya. "Sewa tempatnya Rp300.000 per bulan," tambahnya. Ternyata investasi itu tak seberapa dibandingkan keuntungan mereka saat itu. Penjualan sehari bisa mencapai Rp10 juta. Kalau dilihat dari jumlah porsi yang terjual di tempat ini, dalam sehari laku 250 sampai 300 porsi. Penjualan terbesar mereka adalah untuk sop buntut, yaitu sekitar 80 porsi, dengan harga Rp10.000 per porsi. "Kami yang pertama buka 24 jam di sana," tambah Bu Djoko. Lalu karena digusur, kafe mereka pun terpaksa pindah ke pintu timur Senayan. Kepindahan ini disesalkan Bu Djoko karena ia kehilangan beberapa pelanggannya. "Padahal kami sudah memiliki izin resmi," kenang Bu Djoko. Pindah ke Parkir Timur Senayan, penjualan pun mulai mengalami penurunan. "Maklum saja, di sana banyak pedagang kaki lima dan tak semua pelanggan tahu saya pindah," kata Bu Djoko. Untungnya, saat ini, kelompok pencinta mobil Mercy dan Honda Tiger sering memakai kedai miliknya untuk tempat "nongkrong". Merasa masih bisa mengembangkan usahanya, Bu Djoko lalu membuat satu kedai lagi di Semanggi. "Sewanya lebih mahal dari di Senayan, sekitar Rp3,5 juta per bulan," ujarnya. Berbeda dengan di Senayan, di sini sop buntut dijual dengan harga Rp16.000, sementara minuman racikan harganya Rp10.000. 

Uniknya, sekalipun kedua putra Bu Djoko telah jadi pengusaha sukses, mereka terkadang ikut melayani pembeli. Ade, anaknya, bahkan meramu beberapa minuman khas yang kini memiliki peminat tetap. Di antaranya, Bananakolada, yang terbuat dari pisang. Mengenai visi ke depan, dalam waktu dekat ini Bu Djoko berencana membuat restoran dua lantai untuk kalangan menengah-atas di Pasaraya. Nilai investasinya sendiri mencapai Rp2 miliar. "Mungkin harga sop buntut di sana bisa mencapai Rp45.000 per porsi," katanya. 

Kendatipun sudah lumayan sukses, Bu Djoko mengaku tak ingin menjadikan sop buntut buatannya sebagai bisnis waralaba. Ia mengaku pernah diajak kerja sama untuk membuat waralaba di Kuala Lumpur dan Hong Kong, tetapi semua itu ia tepis. "Saya tidak ingin mewaralabakan resepnya, tapi pengelolaan kafenya," kata Bu Djoko. Dengan begitu, menurut dia, cita rasa kafe dengan label Bu Djoko akan selalu sama. 

Sumber :  kisahentrepreneur.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar