Kota Salatiga, di Provinsi Jawa Tengah memiliki tangan terampil yang
mengolah paru sapi menjadi keripik nan gurih. Peminat keripik dari paru
itu bahkan datang dari luar kota, hingga Jakarta. Alhasil, produsen
keripik paru mendulang omzet hingga Rp 100 juta perbulan.
Selain terkenal dengan cemilan enting-enting gepuk, Kota Salatiga, Jawa Tengah, tersohor dengan pembuatan keripik paru sapi.
Makanan ringan keripik paru dari Kota Salatiga itu kerap menjadi
incaran buah tangan oleh wisatawan yang datang ke kota yang berada di
lereng gunung Merbabu itu.
Purboningsih, pemilik usaha keripik paru cap Bu Pur, sesumbar bahwa
pelanggan usaha keripik paru miliknya datang dari kota Yogyakarta,
Tangerang, Bandung, serta Jakarta. “Termasuk di Salatiga sendiri sudah
ada grosir cemilan yang menjadi pelanggan saya,” tutur Purboningsih yang
sudah empat tahun berjalan membangun usaha ini.
Setiap bulan, masing-masing pelanggan bisa memesan dua sampai tiga
kali. Untuk memenuhi setiap pesanan, Purboningsih mesti mempersiapkan
rata-rata 2 kuintal paru, atau setara dengan sekitar 500 bungkus.
Peluang bisnis membuat kripik paru sudah lebih dulu dilakoni Sri
Yuniati yang memproduksi keripik paru bermerek usaha Cap Lombok. Sri,
panggilan akrab dari pengusaha asal Mrican, Salatiga, ini telah
memproduksi keripik paru sejak 20 tahun silam. Keripik paru produksinya
juga merambah ke daerah-daerah lain seperti Semarang, Bogor, Jakarta,
dan Tangerang. “Hanya 25% keripik paru produksi kami yang dipasarkan di
Salatiga. Sisanya dikirim keluar kota,” terang Sri.
Harga keripik paru bikinan Purboningsi dan Sri dipatok dalam kisaran
Rp 80.000 per kilogram (kg). Harga keripik paru dalam kemasan dengan
ukuran lebih kecil (1/4 kg) Rp 25.000. Adapun keripik yang dikemas dalam
kaleng dan berbobot 1,35 kg dijual dengan harga Rp 145.000.
Untuk mengolah kerupuk paru, kedua pelaku usaha keripik itu mendapat
pasokan bahan baku dari rumah pemotongan sapi di Salatiga. Produsen
keripik paru sapi Salatiga kompak mencari bahan baku paru sapi dari
daerah mereka sendiri, menghindari membeli paru sapi dari kabupaten
tetangga seperti Boyolali. “Kami khawatir paru sapi daerah lain
bersumber dari sapi glongongan,” kata Sri. Sapi glonggongan adalah sapi
yang diberi minum sebelum disembelih, untuk menaikkan bobot.
Untuk mendapatkan paru segar berkualitas, paling tidak mereka merogoh
kocek hingga Rp 40.000 per kg. Rata-rata Sri butuh sekitar 50 kilogram
paru setiap hari. Sri bisa mengenali paru bermutu baik dari warna dan
kekeringan paru. “Paru yang bagus berwarna jambon (merah muda) cerah,
dan tidak mengandung air,” terang Sri.
Dari setiap 50 kg paru yang dibeli, yang bisa terolah hanya setengah.
Sebab, terjadi penyusutan paru selama proses produksi. Sebelum digoreng
dan dicampur tepung bumbu, paru harus direbus dahulu. Setelah direbus,
paru kemudian diiris tipis agar renyah saat dikonsumsi, “Ketebalan paru
harus diperhatikan agar renyah,” terang Sri.
Walaupun ketebalan paru tidak diukur saat mengiris, Sri mengaku sudah
hafal ukuran ketebalan irisan paru itu. Jika tidak hati-hati saat
mengiris, bisa-bisa tangan dan jemari menjadi korban.
Kendala dari pembuatan keripik paru itu adalah harga bahan bakar gas
elpiji dan minyak tanah yang mahal. Oleh karena itu Purboningsih atau
Sri Yuniati memilih menggunakan kayu sebagai bahan bakar. Selain murah,
penggunaan kayu bisa memberikan efek harum pada keripik. “Wanginya bisa
beda dan lebih khas,” kata Sri.
Dalam sebulan, Sri bisa mengantongi omzet hingga Rp 100 juta. Adapun
Purboningsih mengantongi omzet sebesar Rp 30 juta. Pendapatan mereka
bisa melonjak hingga dua kali lipat saat bulan Ramadhan.
Sumber :inspirasiusahasukses.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar