Seorang penjual bakso keliling yang setiap sore selalu
ditunggu-tunggu oleh pelanggan. Ia berjualan bakso sejak saya masih
remaja, dengan rasa yang biasa-biasa saja. Tetapi dalam lima tahun
terakhir, saat penjual bakso mulai banyak, saya melihat perubahan yang
besar. Selain rasa baksonya yang enak, rasa kuahnya juga sangat sedap,
halal, harganya juga murah.
Pantas, setiap orang selalu menunggu-nunggu saat ia lewat. Namanya,
Timbul. Nama ini, kini bukan sekedar nama bakso, tetapi sudah menjadi
guyonan jika ada orang yang sedang berdiri di tepi jalan. Ketika
ditanya, menunggu siapa? Jawaban slengekan sering dibalas dengan ucapan :
menunggu Timbul.saya mendatangi rumahnya, menanyakan mengapa rasa
baksonya begitu enak, tekstur, kekenyalannya, juga rasanya. Semuanya
dibuat alami, dari bahan halal, daging sapi beneran, bukan daging
glonggongan, tanpa bahan pengawet karena selalu habis dalam sehari.
“Rahasianya apa kok baksonya enak,” tanya saya kepadanya, Timbul mau
menceritakan perjalanan hidupnya, dari sejak berjualan bakso pertama
kali, hingga hari ini. Jika dihitung-hitung, sudah lebih dari 15 tahun
ia berjualan bakso.Iapun menceritakan, bagaimana ia setiap hari mencoba
membuat bakso terbaik dan rasa terenak sesuai yang diinginkan pelanggan.
Setiap pulang dari berjualan, ia selalu mengoreksi kekurangannya
bersama istri tercintanya. Menghitung omzet, keuntungan, meskipun
jumlahnya tidak seberapa, justru merupakan kegiatan berikutnya.
Untuk mengetahui apa yang diinginkan pelanggan, caranya, ia selalu
mendengar apa saja yang dikeluhkan pelanggan, mulai dari kuah yang
anyep, bakso yang kurang empuk, hingga omelan-omelan lain yang sering
diucapkan pelanggan. Semua didengarkan. Saran, kritikan, cacian, tidak
membuatnya marah, tetapi malah ‘tersenyum’ dan berkeinginan untuk terus
memberikan yang terbaik kepada pelanggannya. Rasa baksonya yang enak
rahasianya terletak pada campuran daging, dan bahan lain dengan adonan
yang tepat. Rasa kuahnya yang sedap terletak pada perlakuan pemberian
bumbu-bumbu dan kaldu yang tepat, serta pengapian saat memasak.
Pada awal masa produksi, Timbul hanya mengolah 25 kilogram daging
sapi. Ia menggiling dan membuat bakso sendiri. Memperbaiki kerusakan
mesin sendiri. Setelah bakso jadi, dengan sepeda motor ia mengirim
bakso ke pasar Cipinang, Jatinegara, Kebayoran Lama, dan Kramat Jati pun
seorang diri.
Timbul yang kala itu membuat bakso dengan mesin giling manual
memiliki kenangan. Karena teledor, jari manis tangan kanannya masuk ke
dalam mesin giling bakso. Walhasil, ujung jarinya masuk ke mesin dan
tergiling oleh spiral yang ada di dalamnya.
Selain kenangan saat membuat bakso, ada pula kisah saat pertama kali
Timbul memasarkan bakso. Oleh seorang pedagang bakso di pasar Kramat
Jati, Jakarta, Timbul diminta datang pukul 4.30 sore. Tapi ia telat. Si
pedagang pun marah. Bakso yang ia bawa akhirnya dilempar, dan ia
langsung disuruh pulang. Timbul sebetulnya kecewa, tapi setelah
mengendapkan pikiran, ia sadar bahwa kejadian itu karena kesalahan
dirinya. Ia pun berjanji kepada diri sendiri akan lebih menghormati
mitra bisnis dan mengirim pesanan sebelum batas waktu.
Esok hari dan hari-hari berikutnya Timbul tetap setia menjalani
rutinitas membuat dan memasarkan bakso. Pesanan bakso terus bertambah,
dari yang semula hanya satu atau dua karung, berikutnya beberapa karung.
Kapasitas muat motor sudah tidak memungkinkan. Sadar bahwa antara
pesanan dan kemampuan armada pengirim tidak memadai lagi, ia pun menyewa
dari saudaranya mobil pick-up Suzuki ST20, orang biasa menyebut mobil
dua tak dengan volume mesin 500cc itu dengan Suzuki Truntung.
Sumber : barubisa.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar