H SIMIN berhasil menaklukkan angkuhnya Ibu Kota,
Jakarta. Dia memulai usaha jualan sate dengan gerobak keliling hingga
merambah hotel berbintang.
“Sate, sate….” Suara khas penjual sate
memang akrab di telinga warga Jakarta. Dengan gerobak, mereka biasanya
berkeliling menjajakan dagangannya ke kompleks perumahan warga Ibu Kota.
Sebagian dari mereka berasal dari Pulau Madura. Untuk menandakan warga
asli Madura, di gerobak mereka lazim tertempel tulisan: sate madura.
Pulau Madura dengan segala kekhasannya memang dikenal memiliki
masyarakat pekerja keras.
Berjualan sate hingga ke luar daerah,
menjadi pebisnis barang-barang bekas dan tukang cukur adalah beberapa
mata pencaharian yang ditekuni warga Madura. Tak terkecuali H Simin.
Pria kelahiran 1965 tersebut adalah satu dari beberapa warga Madura yang
menggeluti usaha sate.Kisah H Simin menjadi pedagang sate bermula pada
sekitar tahun 1980- an saat dia hijrah dari kampung halaman mengikuti
jejak kedua orang tuanya. Orang tua H Simin seorang pedagang sate.Ketika
sampai di Jakarta, H Simin pun mau tak mau membantu orang tuanya
berjualan sate di Jalan Bangka, Jakarta Selatan. Sebagai anak yang
berbakti kepada orang tua, H Simin mengaku tak sungkan membantu kedua
orang tuanya.
Malah, dia merasa senang karena bisa meringankan
beban kedua orang tua meski waktu itu tugasnya hanyalah membuat tusuk
sate, membeli bumbu keperluan untuk membuat sate, dan tugas lain.“Apa
pun yang disuruh orang tua pada waktu itu, saya menurut saja,” ujarnya.
Cukup lama H Simin turut membantu jualan sate kedua orang tuanya. Hingga
pada 1993, dia memberanikan diri untuk membuka usaha sendiri. Menjadi
mandiri bukan urusan mudah bagi sosok pekerja keras ini. Orang tuanya
sempat tak setuju anaknya membuka usaha sendiri lantaran merasa menjadi
pedagang sate itu memerlukan modal yang tak hanya materi, melainkan juga
keuletan. Meski begitu H Simin tetap pada pendiriannya. Dia ingin lepas
dari bayang-bayang orang tua. Bermodalkan seekor ayam, dia pun mulai
berkeliling Jakarta menjajakan dagangannya.
Sejak itu, H Simin
berusaha menjadi sosok mandiri. Menjadi seorang yang dapat berdiri di
atas kaki sendiri ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. H
Simin yang selama ini nyaman dengan tugas membantu orang tuanya harus
menemui kenyataan bahwa dia harus mencari penghasilan sendiri. Di
sinilah pesan orang tuanya benar-benar dirasakan. Berjualan sate tak
hanya butuh modal materi, melainkan juga keuletan. Ya, karena awal-awal
berjualan, H Simin merasakan betul cobaan berat. Dagangan tidak laku
setelah kaki lelah melangkah, suara hampir habis untuk menjajakan sate
dagangannya. Namun, H Simin tak berputus asa.Gagal di hari pertama dia
mencoba hari kedua.Begitu seterusnya hingga dia mulai mendapatkan
pelanggan.
Keyakinan H Simin dipertebal dengan rasa dan kualitas
sate buatannya. “Saya mencuri ilmu dari orang tua,” katanya tentang
racikan bumbu satenya sehingga mampu menghasilkan cita rasa khas. Alhasil,
sate dagangannya mulai mendapat tempat di sebagian besar pelanggan. H
Simin pun mulai mantap dengan jalan hidupnya. Apalagi sejalan dengan
waktu, berkah didapatkannya. Dia mendapat fasilitas kredit kemitraan
dari Bank Negara Indonesia (BNI) sebesar Rp40 juta untuk membuka warung
di kawasan Warung Tenda 46, sebuah kawasan pedagang kaki lima yang
dibina Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Pusat dan BNI. Kegiatan
berkeliling Jakarta mendorong gerobak pun beralih dengan berjualan di
warung tenda.
Sejak mangkal di Warung Tenda 46, harum dan
lezatnya sate H Simin mulai dikenal. Dari mulut ke mulut, kelezatan sate
buatan Simin menggiring warga Ibu Kota berduyun-duyun mendatangi warung
tendanya. Apa sebenarnya yang membuat sate kambing dan sate ayam buatan
H Simin menjadi santapan favorit? Selain menjaga kebersihan masakan,
dia mematok harga yang terjangkau, yakni Rp12.000 untuk sate ayam dan
Rp15.000 sate kambing.Yang tak kalah penting, sate buatan H Simin
dijamin halal lantaran kambing maupun ayam dipotong dan diolah sendiri.
Hal lain yang membuat sate H Simin memiliki cita rasa khas adalah
racikan bumbunya. Racikan bumbu resep keluarga menjadi kuncinya. Selain
itu,H Simin juga memanfaatkan pengetahuan yang pernah dia dapat saat
mengikuti pelatihan pembuatan sate. Misalnya saja, sate tidak dibakar
dengan menggunakan arang kayu, melainkan memakai arang batok kelapa
seperti yang biasa dipakai membuat steak.
“Rasanya juga menjadi
lebih enak,” katanya. Dari pelatihan tersebut, H Simin ternyata
mendapatkan bekal tambahan lain. Dia jadi tahu teknik memilih daging
sate,termasuk mengetahui tempat dan alat-alat pembuat sate yang memenuhi
standar hotel berbintang. Bekal pengetahuan tata cara membuat sate yang
memenuhi standar hotel berbintang turut melambungkan penjualan satenya.
Seiring kemampuan mengolah sate bercita rasa hotel, dia pun mulai
mendapat pesanan dari kalangan hotel, selain dari pesta. Pesanan dari
hotel pun turut mengangkat omzet penjualan. Omzet yang diraih dari
pesanan (hotel maupun pesta di tempat-tempat lain) dalam sebulan
rata-rata mencapai Rp100 juta.Adapun dua warungnya bisa menghasilkan
penjualan hingga Rp60 juta per bulan.
Dari penghasilan
tersebut,menurut pengakuan Simin, 40% adalah penghasilan bersih setelah
dipotong berbagai macam biaya, termasuk untuk menggaji karyawan sebanyak
15 orang. Dari pendapatannya itu, H Simin bisa menyekolahkan anaknya
hingga perguruan tinggi. “Syukur alhamdulillah, dari merintis usaha sate
kini saya bisa seperti sekarang, termasuk dapat menyekolahkan anak
hingga bangku kuliah,” tutur pria yang masih turun langsung melayani
pelanggan meski terhitung telah sukses, saat ditemui di rumahnya di
Jalan Jatibunder, Kebon Melati, Tanah Abang. Ada alasan mengapa H Simin
sampai sekarang masih mau turun tangan melayani pelanggan. Utamanya
adalah untuk tetap menjaga mutu. Maka, dia pun masih terlibat langsung
mulai dari memilih ayam dan kambing di pasar hingga mengawasi proses
memasak. Bahkan,dia selalu mengantarkan pesanan pelanggan dan menunggu
hingga masakan buatannya dihidangkan. “Supaya tidak ada komplain,”
terangnya.
Semua itu dilakukan H Simin juga untuk menjaga
hubungan kekeluargaan dengan karyawan. Agar tak ada jarak antara bos dan
bawahannya. Hanya saja, bisnis H Simin bukan tanpa kendala. Selain
persaingan yang semakin ketat, H Simin juga sedikit mengalami kesulitan
atas beberapa hal, terutama soal pembayaran yang dilakukan pihak hotel.
Pembayaran dari hotel yang menjadi pelanggannya dilakukan sebulan sekali
sehingga kalau sedang banyak permintaan, usahanya kerap kekurangan
modal. Meski demikian, seperti wirausaha lain, H Simin juga punya
keinginan agar usahanya lebih maju lagi. Salah satu cita-citanya adalah
membuka restoran.
Dia yakin, kalau terlaksana, restorannya akan
laris.Apalagi ia telah memiliki pelanggan dari sejumlah hotel berbintang
lima dan perusahaanperusahaan besar.
Sumber : economy.okezone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar