Tak pernah terpikirkan oleh Endah Sutjihati (37) bahwa ia akan terjun di bisnis sulam dan kain perca. Yang ia tahu, sejak muda keahliannya adalah masak-memasak. Sehingga hampir 10 tahun lamanya ia sibuk mengurusi katering dan rumah makan milik mertuanya.
”Sekitar tahun 2005, saya tertarik ikut kursus kilat sulam yang diselenggarakan Gramedia. Setelah itu, nggak pernah lepas lagi. Kemana-mana saya membawa benang dan jarum. Sambil menunggu anak sekolah, sambil menonton TV, saya menyulam. Mula-mula hanya untuk keperluan saya sendiri. Saya menyulam untuk kerudung dan baju. Tapi ibu-ibu yang melihatnya langsung tertarik. Lama-lama semua kerudung yang saya pakai diminta, sampai-sampai saya tidak punya kerudung sulaman saya sendiri,” kata Endah, ibu empat anak.
Mulailah Endah membuat pesanan kerudung yang dihiasi sulaman. Kerudungnya laku keras. Ia juga membuat sulaman di baju, juga laku keras. Saran-saran untuk meningkatkan kualitas berdatangan, di antaranya dari Haneda Ananta (36), sesama anggota komite sekolah, tentang desain dan paduan warna benang. Di saat itulah Endah merasa ia memang butuh mitra untuk mengembangkan usaha yang sedang dirintisnya.
Singkatnya, keduanya sepakat untuk kerja sama. Haneda yang lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Trisakti bertanggung jawab soal desain, sedangkan Endah yang berlatar belakang pendidikan manajemen Perbanas mengerjakan produknya sekaligus mengurus keuangan.
Berbeda dengan Endah, Haneda sama sekali tidak bisa menyulam. ”Pada dasarnya saya tomboy dan tidak suka hal-hal yang berbau perempuan, seperti menjahit, memasak. Tapi pas kenal mbak Endah, kok asyik juga ya melihat dia menyulam. Modal awal kami hanya Rp 500.000,” kata Haneda, ibu dari dua anak.
Dari sini, keduanya mulai melirik kain perca. Potongan-potongan kecil kain itu bila disusun dengan gradasi warna maupun motif yang sesuai dan disulam dengan teknik yang pas, akan menghasilkan hiasan indah. ”Mulailah kami berburu limbah kain ke beberapa penjahit langganan. Modal kami cuma kaus polos. Di atas kaus itulah kami sulam nama-nama murid di sekolah. Wah, kaus kami laku keras, sampai kewalahan,” kenang Endah.
Dari lingkaran sekolah dan tetangga, mereka meluaskan jangkauan dengan mengikuti aneka bazar dan pameran. Produk yang dijual dengan memakai label ”caremommies” itu di antaranya bantal, selimut, seprei, tas sekolah, sampai hiasan dinding.
Haneda yang pernah bekerja sebagai web designer kemudian membuat situs web untuk produk ini sekaligus membuka penjualan secara online. ”Responsnya sangat baik. Pembelinya datang dari hampir seluruh provinsi di Indonesia,” kata Haneda. Mereka juga mengisi gerai di sejumlah mal di Jakarta.
LP Cipinang
Menyadari kesuksesannya bisa dicapai meskipun berawal dari nol, Endah ingin menularkan kiatnya tersebut kepada banyak pihak. Ia pun mulai mengajar sulam dan patchwork di halaman rumahnya. Awalnya, muridnya adalah ibu-ibu yang tinggal di sekitar kediamannya. Lama-lama ia diminta mengajar di berbagai tempat, termasuk di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang dan Salemba. Hasil karya para napi di Cipinang kini malah sudah bisa dipasarkan dengan label ”Elpina”.
Menyadari kesuksesannya bisa dicapai meskipun berawal dari nol, Endah ingin menularkan kiatnya tersebut kepada banyak pihak. Ia pun mulai mengajar sulam dan patchwork di halaman rumahnya. Awalnya, muridnya adalah ibu-ibu yang tinggal di sekitar kediamannya. Lama-lama ia diminta mengajar di berbagai tempat, termasuk di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang dan Salemba. Hasil karya para napi di Cipinang kini malah sudah bisa dipasarkan dengan label ”Elpina”.
”Peserta kursus menyulam ini semuanya laki-laki. Tapi ternyata sulaman mereka tak kalah halus, bahkan ada yang sangat bagus. Saat ini yang di Cipinang sudah bisa mandiri, mereka sudah bisa berusaha sendiri. Yang di Salemba juga demikian. Kita saat ini mulai menjajaki LP lainnya,” kata Endah.
Dibandingkan lima tahun lalu ketika keduanya baru memulai bisnis ini, keuntungan yang diperoleh saat ini sudah berlipat-lipat. Keduanya juga sudah memiliki karyawan tetap maupun kontrakan. Tak sedikit juga anak-anak sekolah yang magang untuk belajar menyulam. Seperti pada Kamis (15/9/2011) lalu, sejumlah murid dari SMK Negeri II, Depok, melakukan praktik kerja lapangan di workshop Haneda di kawasan Kelapa Dua, Depok. Mereka bekerja dengan tekun. Benang di jari-jari mereka dengan lincah menelusuri kontur pola yang digambar di atas kain.
”Hari ini kami cukup sibuk karena ada pesanan dua lusin kimono yang harus dikirim untuk acara Sabtu,” kata Haneda.
Tantangan untuk memenuhi pesanan, mengisi pameran dan toko, mengajar dan memberi pelatihan, membuat Endah dan Haneda banting setir untuk membenahi manajemen. Endah akan mengurusi divisi pelatihan dan produksi, sementara Haneda akan semakin berinovasi lewat online. Pemisahan tersebut tidak menutup kemungkinan masing-masing pihak menjalin kerja sama dengan mitra baru, bahkan menciptakan label baru.
Keduanya tidak khawatir pengembangan bisnis itu akan memecah persahabatan dan kerja sama yang sudah terjalin. ”Dibawa enak saja kerjanya. Dengan kebebasan mencari mitra baru, saya rasa bisnis ini akan berkembang lebih cepat. Bisnis online Mbak Haneda sudah dilirik pihak-pihak yang ingin bekerja sama. Sementara, saya juga ingin mencoba memasarkan ke luar negeri. Jadi kita masing-masing jalan saja,” kata Endah.
Bagaimana dengan label ”caremommies”? ”Label ini tetap milik bersama. Kita juga memiliki rekening bersama. Setiap lima persen dari hasil penjualan divisi masing-masing kita simpan di rekening bersama,” tambah Haneda.
Kedua ibu yang sudah menghasilkan dua buah buku sulam itu menyadari, persahabatan dan saling percaya menjadi kunci kesuksesan mereka.
Sumber : jpmi.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar