Meski hanya lulusan sekolah menengah atas, Arifdiarto Ambar Wirawan
(35) atau yang akrab disapa Kelik berhasil menjadi pengusaha sukses.
Usaha geplak dan peyek tumpuk yang sudah digelutinya selama 10 tahun ini
mampu meraih omzet hingga Rp 60 juta per bulan.
Dengan margin 30 persen, Kelik bisa menyisakan keuntungan sekitar Rp
18 juta per bulan. Nilai yang luar biasa bagi pengusaha di Kabupaten
Bantul, DI Yogyakarta. Meski sudah sukses, ia belum merasa puas.
Penambahan cabang gerai baru di kota lain menjadi obsesinya ke depan.
Kelik membuka usaha geplak dan peyek tumpuk bersama istrinya, Sri
Kasih (32), di Jalan Wahid Hasyim, Bantul. Toko berukuran 5 x 8 meter
itu berdampingan dengan rumah tempat tinggalnya sekaligus lokasi
produksi. Dulu, toko itu hanya berupa bangunan bambu, tetapi kini sudah
berkembang menjadi bangunan permanen dengan desain lebih menarik.
Dalam sehari, Kelik membutuhkan sekitar 2,5 kuintal gula pasir untuk
membuat geplak. Untuk peyek tumpuk, ia butuh sekitar 50 kilogram kacang
dan 25 kilogram tepung beras per hari. Untuk membantunya berproduksi, ia
mempekerjakan 20 tenaga kerja.
Apa istimewanya geplak buatan Kelik. Menurut dia, ia hanya
menggunakan gula asli tanpa pemanis sehingga rasa manisnya lebih mantap.
Tak heran jika geplak yang dijual seharga Rp 16.000 per kilogram itu
laris manis. ”Kalau bentuknya hampir sama produk milik orang lain,
tetapi dari segi rasa, konsumen bisa membedakannya,” katanya.
Untuk membuat geplak, ia memakai kelapa, gula, dan aroma sesuai
selera. Proses pembuatan geplak diawali dengan pemarutan kelapa lalu
santannya ditempatkan di kuali dan dicampur dengan gula kemudian diaduk.
Setelah dinaikkan ke tungku sekitar 4 jam, lalu diturunkan dan diberi
aroma, olahan itu kemudian dibentuk dan diangin-anginkan selama 10
menit.
Menurut Kelik, produknya yang dinilai istimewa adalah peyek tumpuk.
Sesuai dengan namanya, peyek tersebut dibuat dengan cara menyusun
sehingga membentuk rangkaian peyek. Berbeda dengan peyek pipih yang
dimasak dengan satu kali penggorengan, peyek tumpuk digoreng selama tiga
kali.
Pertama, penggorengan dimaksudkan untuk membuat susunan peyek.
Setelah terbentuk susunan, peyek dipindahkan ke penggorengan kedua. Pada
penggorengan pertama, nyala api harus kuat agar efek panasnya tinggi.
Tujuannya supaya kacangnya bisa lekas matang. Di penggorengan kedua,
nyala api justru lebih kecil karena tujuannya supaya peyek secara
keseluruhan bisa matang. ”Kalau apinya terlalu besar, bisa gosong,” ujar
bapak tiga anak ini.
Sebelum masuk ke penggorengan terakhir, peyek terlebih dahulu
diangin-anginkan selama semalam. Tujuannya supaya peyek benar-benar
renyah dan gurih. Peyek tersebut dijual seharga Rp 32.000 per kilogram.
Untuk proses pengapian, ia memanfaatkan tempurung kelapa.
”Untuk membuat peyek dan geplak, dalam sehari saya butuh sekitar 750
butir kelapa. Kalau tempurungnya tidak saya manfaatkan kan sayang.
Hitung-hitung, ongkos produksi bisa ditekan, apalagi harga gas dan
minyak tanah sudah sangat mahal,” katanya.
Ide pembuatan peyek tumpuk sebenarnya berasal dari mertuanya yang
kebetulan bernama Mbok Tumpuk. Sebagai menantu, Kelik berhasil
meningkatkan usaha mertuanya dengan tetap mempertahankan nama Mbok
Tumpuk sebagai identitas produknya.
Menurut Kelik, membuka usaha di bidang makanan awalnya tergolong
susah. Karena belum dikenal masyarakat, biasanya penjualan masih minim.
Kalau tidak kuat, si pengusaha bisa saja memutuskan untuk berhenti.
”Bagi saya, usaha butuh konsistensi. Meski awalnya tidak laku, saya
harus terus berproduksi. Saya tidak boleh menyerah. Konsistensi juga
faktor utama untuk menumbuhkan kepercayaan pelanggan,” paparnya.
Selain konsistensi, lanjut Kelik, faktor kejujuran juga memegang
peranan penting. Kepada pembeli, ia selalu menginformasikan soal masa
kedaluwarsa produknya. Kalau waktunya tinggal sedikit, ia menyarankan
pembeli tidak mengambilnya, apalagi jika peyek atau geplak tersebut akan
dibawa ke luar kota.
Kelik hanya menjual geplak dan peyeknya di toko sendiri. Ia sengaja
tidak menitipkannya ke toko-toko lain meski banyak permintaan. Ia
khawatir bila dititipkan, harga dan kualitas tidak bisa terkontrol.
”Bisa saja di toko lain produk kami dijual sangat mahal. Mereka juga
bisa saja menjual produk kedaluwarsa. Kalau sudah begitu, citra kami
pasti hancur,” katanya.
Ia berharap bisa membuka gerai sendiri di kota-kota besar. Dengan
pengendalian sendiri, ia yakin usahanya bisa maju karena semuanya lebih
terkontrol. Sampai sekarang saja, Kelik bersama istri masih terlibat
langsung dalam proses peracikan bumbu.
Sumber : binder724studio.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar