Kamis, 27 September 2012

Soto Ambengan Miliki Restaurant

KETIKA Sadi harus mengisi selembar angket kepuasan pelanggan di sebuah hipermarket, Sadi menolak mengisinya. Sebenarnya Sadi bersedia, asalkan petugas hipermarket tersebut yang menuliskannya. "Bukan saya tidak mau, tetapi saya tidak bisa menulis. Petugas itu tidak percaya karena saya baru saja melakukan transaksi dengan kartu kredit. Masak punya kartu kredit tidak bisa
menulis, begitu katanya. Saya hanya bersekolah sampai kelas V SD. Kalau kartu kredit kan hanya tanda tangan, tidak perlu nulis," kata Sadi (61), pemilik Soto Ayam Ambengan Pak Sadi (Asli).

Perjalanan hidup Sadi dari hanya kuli pikul angkring soto hingga memiliki restoran sendiri, agaknya yang membuat Sadi bersikap apa adanya. "Orang hidup tidak perlu sombong. Ingat saja dari mana dulu kita berasal. Kalau itu dipegang terus, apa yang kita capai saat ini rasanya nikmat sekali," kata Sadi yang telah memiliki tujuh anak ini.

Tahun 1960, Sadi yang masih remaja harus datang ke Surabaya. Di kampung halamannya di Lamongan, ia tidak memiliki apa-apa untuk hidup. "Ibu saya meninggal ketika saya berusia 7 tahun, dan ayah hanya buruh sawah atau kerja serabutan saja. Kata orang kalau mau sukses harus mencoba hidup di kota, jangan di desa," kisah Sadi.

Pekerjaan pertama yang ia dapatkan adalah membantu pamannya berjualan soto. Tugasnya, memikul pikulan soto keliling kampung. Dua tahun Sadi menekuni pekerjaan itu, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk berjualan sendiri.

"Saya ingin jualan sendiri. Waktu itu saya jualan tahu tektek. Jualan hari pertama hanya laku 12 piring. Harganya murah sekali, Rp 5 seporsi. Saya masih ingat semua," kata Sadi.

Tidak laku berjualan tahu tektek, Sadi kembali berjualan soto. Tetapi dewi keberuntungan masih belum berpihak padanya. Sadi terpaksa harus kembali menjadi kuli pikul lagi.

"HINGGA pada suatu hari pada tahun 1971, saya ditawarkan oleh seseorang untuk membuka warung soto di depan asrama Brimob di Jalan Ambengan. Saya terima tawaran itu," kata Sadi. Ia berjualan dengan menggunakan gerobak, yang diparkir di halaman sebuah rumah di Jalan Ambengan, Surabaya.

Dalam berjualan, ia dibantu istrinya, Ny Djaijah, yang saat itu masih menyusui anak mereka yang pertama. Jika Sadi melayani tamu, istrinya membersihkan piring-piring bekas makan tamu. Sementara anaknya ditidurkan di kolong gerobak soto.

"Setiap kali mengingat kejadian itu, saya pasti mengeluarkan air mata. Kasihan, anak itu seharusnya
tidur di rumah, di tempat tidur. Bukan di kolong gerobak," kenangnya.

Pertama kali berjualan, Sadi memakai nama warung sotonya itu "Soto Ayam Cita Rasa". Pembeli pertamanya adalah penghuni asrama Brimob itu. Lama kelamaan warung sotonya makin dikenal orang. Namanya bukan lagi Soto Ayam Cita Rasa, tetapi Soto Ayam Ambengan, sesuai dengan nama jalannya.

Pembelinya tidak lagi sebatas penghuni asrama, tetapi meluas hingga karyawan kantor, pegawai Kotamadya Surabaya hingga orang-orang yang kebetulan melintas. Sadi jadi semakin repot.

"Begitu repotnya, sampai merokok saja tidak sempat. Akhirnya saya berhenti merokok gara-gara jualan soto. Sampai sekarang," tukas Sadi.

Walau repot, Sadi akhirnya bisa merasakan hasil dari kerja kerasnya. Dia bisa membeli sebuah rumah di Jalan Ambengan 3A, dan mendirikan sebuah warung soto yang lebih permanen di sana. "Soto saya sudah dikenal orang Surabaya. Setiap kali ada tamu dari luar Surabaya, mereka selalu membawanya ke sini. Katanya kalau datang ke Surabaya belum makan soto Ambengan, belum mantap," katanya sambil mengklaim 70 persen orang Surabaya mengenal sotonya.

Menurut Sadi, soto ayamnya tidak berbeda dengan soto ayam yang banyak beredar di Surabaya, dengan kuah yang berwarna kuning kental. Isinya hanya soun putih, potongan daging dan kulit ayam, seiris telur, dan poya. Poya adalah kerupuk udang dan bawang putih yang digiling menjadi bubuk.

"Kuncinya di poya karena poya yang membuat soto menjadi gurih. Sayangnya pedagang soto lain tidak begitu memperhatikan poya. Mereka membuat poya dengan perbandingan 5:1, lima kilogram kerupuk udang dicampur satu kilogram bawang putih. Sedangkan saya perbandingannya 5:5. Mungkin ini yang membuat soto saya digemari orang," ungkap Sadi.

TAHUN 1989, Sadi membuka cabang di Jakarta, berkat tawaran kerja sama dari pemilik sebuah rumah di Jalan Woltermonginsidi, Kebayoran Baru.

Ketika sampai di Jakarta, Sadi sempat heran karena ternyata di Jakarta banyak rumah makan soto ayam cabang Ambengan, padahal dialah satu-satunya pemilik soto ayam Ambengan. "Di jalan Ambengan sendiri cuma ada satu soto, yakni soto saya. Yang ada di Jakarta ini soto Ambengan yang mana?" tanyanya.

Sadi mengaku sempat marah. Namun dia tahu bahwa nama jalan tidak bisa dipatenkan sebagai nama rumah makan. Akhirnya dia hanya menambahkan namanya di belakang tulisan soto Ambengan, menjadi Soto Ayam Ambengan Pak Sadi (Asli).

"Pemalsuan ini juga membuktikan bahwa soto saya juga dikenal oleh orang Jakarta. Ketika saya mengiklankan akan membuka rumah makan di Jakarta, puluhan telepon berdering menanyakan kapan tepatnya akan dibuka. Di hari-hari pembukaan, soto saya selalu habis pukul 12.00 siang," tutur Sadi.

Kerja sama dengan orang Jakarta tersebut ternyata hanya bisa dipertahankan selama satu tahun. Rekan bisnis tersebut akhirnya tertarik untuk membuka rumah makan sendiri. "Ya sudah, saya pindah. Saya sempat kontrak beberapa tahun sampai akhirnya saya membeli tanah dan menjadikannya rumah makan, juga di jalan Woltermonginsidi," kata Sadi.

Sekarang rumah makan Soto Ayam Ambengan Pak Sadi (Asli) baik di Surabaya maupun di Jakarta tidak lagi berbentuk warung. Di Jakarta bahkan berupa gedung baru bertingkat tiga. Semua karyawan diperbolehkan tinggal di lantai 2 dan lantai 3 rumah makan. "Yang sudah berkeluarga di lantai 2, yang belum di lantai 3. Gratis. Selain itu mereka masing-masing juga mendapat makan, odol, sabun
mandi dua batang sebulan, dan detergen. Mereka juga saya beri seragam. Jadi gaji mereka utuh hanya untuk ditabung atau mengirim keluarga di kampung," kata Sadi yang banyak mengambil karyawan dari pedesaan di Jatim dan Jateng.

Sadi sendiri saat ini tidak lagi memiliki pekerjaan. Dia nyaris tidak turun ke dapur untuk memasak, atau menjadi kasir menerima uang pelanggan. "Kegiatan saya hanya mengontrol kualitas masakan. Kalau ada tawaran untuk membuka cabang, baru saya datang bernegosiasi. Setelah itu, ya menikmati hidup. Walau begitu, saya tetap tidak doyan merokok lagi. Soto benar-benar membuat saya melupakan rokok," katanya.

Sumber : http://sotosadi.multiply.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar