Kamis, 13 September 2012

Sukses dengan Beramal

Semangat kewirausahaan.

Tampil dalam berbagai seminar dari perguruan tinggi satu ke perguruan tinggi lain, dialog jarak jauh, dan bahkan narasumber di Universitas Ciputra Entrepreneurs Center (UCEC), Ciputra tak hendak cari uang.

"Ini masanya untuk beramal, menularkan gagasan. Tak ada kata lelah untuk beramal, berbuat untuk kepentingan bangsa. Bagaimana mengubah masa depan bangsa dan masa depan anak bangsa, menjadi semakin lebih baik," ujarnya.

Beramal dengan gagasan, dengan waktu, dan dengan uang, diyakini Ciputra membuat dia mendapatkan lebih banyak dari apa yang dia berikan. Setidak-tidaknya karunia kesehatan dan kesempatan menularkan pengalaman dan gagasan.

"Sudah sejak tiga tahun lalu, saya selain mendidik calon-calon entrepreneurs dan menyiapkan para pendidik/pelatih entrepreneurs, juga minta waktu sejumlah menteri agar turut mendorong dan memasukkan gerakan entrepreneur dalam program-programnya," ungkap Ciputra.

Menurut Ciputra, pentingnya entrepreneurship tak sebatas mengatasi pengangguran dan kemiskinan, tapi juga mengatasi ketidakadilan. Karena itu, Ciputra menganggap harus ada gerakan nasional bersama.

Dari 2.850 perguruan tinggi, sudah terbentuk 315 Entrepreneurs Centre. Dan menandai 100 hari program kerja kabinet, digelar seminar nasional dan sekaligus peresmian Entrepreneur Centre.

Ciputra, mengatakan, ia bersyukur Kongres Ke-61 FIABCI (Federasi Real Estat Internasional) dapat diselenggarakan di Indonesia. Ini merupakan kali kedua Indonesia menjadi tuan rumah Kongres FIABCI. Sebelumnya, Indonesia pernah menjadi tuan rumah pada tahun 1983 ketika Ciputra menjadi Ketua REI dan Presiden FIABCI Indonesia.

Menurut Ciputra, sebetulnya Indonesia sudah dijadwalkan menjadi tuan rumah FIABCI pada tahun 1998. Namun, pada tahun itu Jakarta dilanda kerusuhan Mei dan nama Indonesia agak tercemar karena sebagian peserta sudah mendaftar dan membayar tetapi kongres dibatalkan begitu saja.

"Namun, sekarang, setelah 12 tahun berlalu, kami melakukan usaha yang keras untuk merehabilitasi nama Indonesia di mata anggota FIABCI. Kami membayar uang 120.000 dollar AS untuk memberi ganti rugi kepada FIABCI agar Indonesia dapat menggelar kembali kongres dunia di Indonesia. Anggota REI membayar ini secara gotong royong," cerita Ciputra, yang merupakan orang Indonesia pertama dan orang Asia ketiga yang menjadi Presiden FIABCI dunia pada tahun 1987.

Menurut tokoh properti Indonesia ini, sebenarnya Indonesia tidak perlu membayar uang itu karena FIABCI sudah menghapus pembukuan 12 tahun lalu. Namun dalam hati, mereka masih membicarakan Indonesia yang membatalkan kongres begitu saja pada Mei 1998. "Karena itulah saya memelopori agar Indonesia membayar ganti rugi kepada FIABCI sehingga Indonesia dapat kembali menjadi tuan rumah Kongres FIABCI. Kali ini diadakan di Nusa Dua, Bali," ungkap Ciputra.

Menurut pendiri REI ini, Indonesia layak bersyukur karena seharusnya Indonesia menjadi tuan rumah 40 tahun lagi. Namun, Indonesia sebagai bangsa dihargai dunia internasional. Apalagi, saat ini pertumbuhan ekonomi kita tumbuh dengan baik.

"Dan saya bangga melihat generasi muda yang meneruskan organisasi Real Estat Indonesia (REI). REI adalah organisasi profesi paling baik di Indonesia. Kader-kader REI, Ferry Soeneville, Siswono Yudo Husodo, dan Mohammad S Hidayat, mendapat posisi penting dalam swasta dan pemerintahan," kata Ciputra dengan bangga.

REI, kata Ciputra, adalah tuan rumah di negeri sendiri. Jumlah anggota REI saat ini sekitar 2.000. Anggota REI aktif di dunia internasional dan asosiasi internasional. "Kami belajar banyak dari FIABCI bagaimana menangani bisnis properti. Kami belajar soal broker dan manajemen properti. Dan Indonesia begitu kuat. Dalam Kongres FIABCI di Bali, peserta dari Indonesia berjumlah 600 orang dan peserta luar negeri sekitar 400. Ini sudah kami anggap sukses," kata Ciputra berseri-seri.

Ciputra adalah orang Indonesia pertama dan orang Asia ketiga yang menjadi Presiden FIABCI dunia pada tahun 1987. Pengaruh Ciputra dalam Federasi Real Estat Internasional hingga kini masih sangat kuat.

"Saya berharap Kongres FIABCI memberi dampak yang baik bagi tuan rumah, Bali, dan juga bagi peserta kongres. Kami ingin orang asing tahu keramahtamahan orang Indonesia, khususnya masyarakat Bali," ungkapnya. Ketika mula didirikan, PT Pembangunan Jaya cuma dikelola oleh lima orang. Kantornya menumpang di sebuah kamar kerja Pemda DKI Jakarta Raya. Kini, 20-an tahun kemudian, Pembangunan Jaya Group memiliki sedikitnya 20 anak perusahaan dengan 14.000 karyawan. Namun, Ir. Ciputra, sang pendiri, belum merasa sukses. ''Kalau sudah merasa berhasil, biasanya kreativitas akan mandek,'' kata Dirut PT Pembangunan Jaya itu.

Ciputra memang hampir tidak pernah mandek. Untuk melengkapi 11 unit fasilitas hiburan Taman Impian Jaya Ancol (TIJA), Jakarta -- proyek usaha Jaya Group yang cukup menguntungkan -- telah dibangun ''Taman Impian Dunia''. Di dalamnya termasuk ''Dunia Fantasi'', ''Dunia Dongeng'', ''Dunia Sejarah'', ''Dunia Petualangan'', dan ''Dunia Harapan''. Sekitar 137 ha areal TIJA yang tersedia, karenanya, dinilai tidak memadai lagi. Sehingga, melalui pengurukan laut (reklamasi) diharapkan dapat memperpanjang garis pantai Ancol dari 3,5 km menjadi 10,5 km.

Masa kanak Ciputra sendiri cukup sengsara. Lahir dengan nama Tjie Tjin Hoan di Parigi, Sulawesi Tengah, ia anak bungsu dari tiga bersaudara. Dari usia enam sampai delapan tahun, Ci diasuh oleh tante-tantenya yang ''bengis''. Ia selalu kebagian pekerjaan yang berat atau menjijikkan, misalnya membersihkan tempat ludah. Tetapi, tiba menikmati es gundul (hancuran es diberi sirop), tante-tantenyalah yang lebih dahulu mengecap rasa manisnya. Belakangan, ia menilainya sebagai hikmah tersembunyi. ''Justru karena asuhan yang keras itu, jiwa dan pribadi saya seperti digembleng,'' kata Ciputra.

Pada usia 12 tahun, Ciputra menjadi yatim. Oleh tentara pendudukan Jepang, ayahnya, Tjie Siem Poe, dituduh anti-Jepang, ditangkap, dan meninggal dalam penjara. ''Lambaian tangan Ayah masih terbayang di pelupuk mata, dan jerit Ibu tetap terngiang di telinga,'' tuturnya sendu. Sejak itu, ibunyalah yang mengasuhnya penuh kasih. Sejak itu pula Ci harus bangun pagi- pagi untuk mengurus sapi piaraan, sebelum berangkat ke sekolah -- dengan berjalan kaki sejauh 7 km. Mereka hidup dari penjualan kue ibunya.

Atas jerih payah ibunya, Ciputra berhasil masuk ke ITB dan memilih Jurusan Arsitektur. Pada tingkat IV, ia, bersama dua temannya, mendirikan usaha konsultan arsitektur bangunan -- berkantor di sebuah garasi. Saat itu, ia sudah menikahi Dian Sumeler, yang dikenalnya ketika masih sekolah SMA di Manado. Setelah Ciputra meraih gelar insinyur, 1960, mereka pindah ke Jakarta, tepatnya di Kebayoran Baru. ''Kami belum punya rumah. Kami berpindah-pindah dari losmen ke losmen,'' tutur Nyonya Dian, ibu empat anak. Tetapi dari sinilah awal sukses Ciputra.

Pada tahun 1997 terjadilah krisis ekonomi. Krisis tersebut menimpa tiga group yang dipimpin Ciputra: Jaya Group, Metropolitan Group, dan Ciputra Group. Namun dengan prinsip hidup yang kuat Ciputra mampu melewati masa itu dengan baik.

Ciputra selalu berprinsip bahwa jika kita bekerja keras dan berbuat dengan benar, Tuhan pasti buka jalan. Dan banyak mukjizat terjadi, seperti adanya kebijakan moneter dari pemerintah, diskon bunga dari beberapa bank sehingga ia mendapat kesempatan untuk merestrukturisasi utang-utangnya. Akhirnya ketiga group tersebut dapat bangkit kembali dan kini Group Ciputra telah mampu melakukan ekspansi usaha di dalam dan ke luar negeri.

Ciputra telah sukses melampaui semua orde; orde lama, orde baru, maupun orde reformasi. Dia sukses membawa perusahaan daerah maju, membawa perusahaan sesama koleganya maju, dan akhirnya juga membawa perusahaan keluarganya sendiri maju. Dia sukses menjadi contoh kehidupan sebagai seorang manusia. Memang, dia tidak menjadi konglomerat nomor satu atau nomor dua di Indonesia, tapi dia adalah yang TERBAIK di bidangnya: realestate.

Pada usianya yang ke-75, ketika akhirnya dia harus memikirkan pengabdian masyarakat apa yang akan ia kembangkan, dia memilih bidang pendidikan. Kemudian didirikanlah sekolah dan universitas Ciputra. Bukan sekolah biasa. Sekolah ini menitikberatkan pada enterpreneurship. Dengan sekolah kewirausahaan ini Ciputra ingin menyiapkan bangsa Indonesia menjadi bangsa pengusaha.

Pengusaha propertiIr Ciputra, optimistis persoalan pengangguran dan kemiskinan di Tanah Air bisa diatasi, salah satunya dengan memperbanyak entrepreneur.

Strategi tersebut terbukti berhasil mengatasi krisis pengangguran yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1965-1985. "Tahun 1965-1985 tercipta lapangan kerja terbesar yang tidak pernah terjadi dalam sejarah AS. Itu terjadi karena munculnya entrepreneur," kata pengusaha yang banyak telah lama berkecimpung di dunia properti tersebut usai menemui Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sofyan Djalil di kantor Kementerian, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta.

Ciputra berkisah, pascaperang dunia kedua, Amerika Serikat (AS) mengalami krisis pengangguran sangat besar akibat gejala ledakan jumlah penduduk (baby boomer).

Melalui tangan ahli Peter Draker dan pemerintah AS, sejumlah penduduk AS kala itu mendapat pendidikan menjadi seorang entrepreneur. Hasilnya, selama dua dekade mulai tahun 1965-1985, AS bisa membuka lapangan kerja yang cukup besar bahkan tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

"Pada masa krisis sekarang ini, Peter Draker mengatakan krisis di AD akan segera berakhir karena AS negara entrepreneur. Orang yang dipecat dari dunia keuangan akan menjadi entrepreneur dan menciptakan perusahaan sehingga ada lapangan kerja baru," kata Ciputra.

Kembali pada persoalan di Indonesia, pria yang mulai merambah dunia pendidikan dengan mendirikan Universias Ciputra tersebut menilai, sebagai negara yang ketinggalan, entrepreneur adalah salah satu cara yang paling unggul untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan.

"Pak Menteri setuju untuk menciptakan lapangan kerja di Indonesia (bisa dilakukan) kalau ada enterpreneur yang berhasil menciptakan lapangan kerja," ujar Ciputra.












Sumber : .produkanda.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar