Made Ngurah Bagiana adala seorang pekerja keras yang low profil. yang selalu menganggap dirinya bukan siapa-siapa. Kesuksesan yang telah diraihnya tetap membawa dirinya dalam kesederhanaan.
Orang tua memberi saya nama Made Ngurah Bagiana. Saya lahir pada 12
April 1956 sebagai anak keenam dari 12 bersaudara. Sejak kecil, saya
terbiasa ditempa bekerja keras. Malah kalau dipikir-pikir, sejak kecil
pula saya sudah jadi pengusaha. Bayangkan, tiap pergi ke sekolah, tak
pernah saya diberi uang jajan. Kalau mau punya uang, ya saya harus ke
kebun dulu mencari daun pisang, saya potong-potong, lalu dijual ke
pasar.
Menjelang hari raya, saya pun tak pernah mendapat jatah baju baru.
Biasanya, beberapa bulan sebelumnya saya memelihara anak ayam. Kalau
sudah cukup besar, saya jual. Uangnya untuk beli baju baru. Lalu,
sekitar usia 10 tahun, saya harus bisa memasak sendiri. Jadi, kalau mau
makan, Ibu cukup memberi segenggam beras dan lauk mentah untuk saya
olah sendiri.
PENSIUN JADI PREMAN
Begitulah, hidup saya bergulir hingga menamatkan STM bangunan tahun
1975. Bosan di Bali, saya pun merantau ke Jakarta tanpa tujuan. Saya
menumpang di kontrakan kakak saya di Utan Kayu. Untuk mengisi perut,
saya sempat menjadi tukang cuci pakaian, kuli bangunan, dan kondektur
bis PPD.
Kerasnya kehidupan Jakarta, tak urung menjebloskan saya pada kehidupan
preman. Bermodal rambut gondrong dan tampang sangar, ada-ada saja ulah
yang saya perbuat. Paling sering kalau naik bis kota tidak bayar, tapi
minta uang kembalian. (Sambil berkisah, Made terbahak tiap mengingat
pengalaman masa lalunya. Berulang kali ia menggeleng, lalu membenarkan
letak kacamatanya).
Toh, akhirnya saya pensiun jadi preman. Gantinya, saya berjualan telur.
Saya beli satu peti telur di pasar, lalu diecer ke pedagang-pedagang
bubur. Ternyata, usaha saya mandeg. Saya pun beralih menjadi sopir
omprengan. Bentuknya bukan seperti angkot ataupun mikrolet zaman
sekarang, masih berupa pick-up yang belakangnya dikasih terpal. Saya
menjalani rute Kampung Melayu – Pulogadung – Cililitan.
Tahun 1985, saya pulang ke kampung halaman. Pada 25 Desember tahun itu,
saya menikah dengan perempuan sedaerah, Made Arsani Dewi. Oleh karena
cinta kami bertaut di Jakarta, kami memutuskan kembali ke Ibu Kota
untuk mengadu nasib. Kami membeli rumah mungil di daerah Pondok Kelapa.
Waktu itu saya bisnis mobil omprengan. Awalnya berjalan lancar, tapi
karena deflasi melanda tahun 1986-an, saya pun jatuh bangkrut. Kerugian
makin membengkak. Saya harus menjual rumah dan mobil. Lalu, saya hidup
mengontrak.
NYARIS TERSAMBAR PETIR
Titik cerah muncul di tahun 1990. Saya pindah ke Perumnas Klender. Tanpa
sengaja, saya melihat orang berjualan burger. Saya pikir, tak ada
salahnya mencoba. Saya nekad meminjam uang ke bank, tapi tak juga
diluluskan. Akhirnya saya kesal dan malah meminjam Rp 1,5 juta ke teman
untuk membeli dua buah gerobak dan kompor.
Bahan-bahan pembuatan burger, seperti roti, sayur, daging, saus, dan
mentega, saya ecer di berbagai tempat. Dibantu seorang teman, saya
menjual burger dengan cara berkeliling mengayuh gerobak. Burger
dagangannya saya labeli Lovina, sesuai nama pantai di Bali yang sangat
indah.
Banyak suka dan duka yang saya alami. Susahnya kalau hujan turun, saya
tak bisa jalan. Roti tak laku, Akhirnya, ya, dimakan sendiri. Masih
untung karena istri saya bekerja, setidaknya dapur kami masih bisa
ngebul. Pernah juga gara-gara hujan, saya nyaris disambar petir. Ketika
itu saya tengah memetik selada segar di kebun di Pulogadung. Tiba-tiba
hujan turun diiringi petir besar. Saya jatuh telungkup hingga baju
belepotan tanah. Rasanya miris sekali.
Di awal-awal saya jualan, tak jarang tak ada satu pun pembeli yang
menghampiri, padahal seharian saya mengayuh gerobak. Mereka mungkin
berpikir, burger itu pasti mahal. Padahal, sebenarnya tidak. Saya hanya
mematok harga Rp 1.700 per buah. Baru setelah tahu murah, pembeli mulai
ketagihan. Dalam sehari bisa laku lebih dari 20 buah.
Untuk mengembangkan usaha, saya mengajak ibu-ibu rumah tangga berjualan
burger di depan rumah atau sekolah. Mereka ambil bahan dari saya
dengan harga lebih murah. Sungguh luar biasa, upaya saya berhasil.
Dalam dua tahun, gerobak burger saya beranak menjadi lebih dari 40 buah.
Saya pun pensiun menjajakan burger berkeliling dan menyerahkan semua
pada anak buah.
Tak berhenti sampai di situ, tahun 1996 saya mencoba membuat roti
sendiri dan membuat inovasi cita rasa saus. Seminggu berkutat di dapur,
hasilnya tak mengecewakan. Saya berhasil menciptakan resep roti dan
saus burger bercita rasa lidah orang Indonesia. Rasanya jelas berbeda
dengan burger yang dijual di berbagai restoran cepat saji.
Sumber : blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar