Rabu, 26 September 2012

Sukses Bisnis Sepatu

Saat tinggal di Jepang untuk mengikuti sang ayah yang bertugas di sana, Nadia Mutia Rahma mengikuti program pendalaman bahasa Jepang di KAI Japanese Language School, salah satu sekolah bahasa Jepang di Shinjuku, Tokyo. Di sana ia berkenalan dengan berbagai siswa dari mancanegara. Di kelas angkatannya, kebetulan ada banyak siswa yang berasal dari wilayah Skandinavia. Otomatis Nadia selalu mendapat cerita mengenai kawasan yang menaungi negara Finlandia, Swedia, Islandia, Norwegia dan Denmark. “Saya senang mendengar cerita seputar kebudayaan orang-orang Skandinavia,” ujarnya.

Salah satu budaya yang mencuri perhatiannya adalah tradisi memakai clog atau kelom. Ia mengaku jatuh cinta dengan alas kaki dari kayu tersebut. “Sebenarnya tradisi memakai kelom bukan hanya milik orang Skandinavia. Di Jepang dan Indonesia juga ada. Di Jawa, kelom disebut dengan teklek,” jelasnya. tak disangka, inilah awal mula kisah sukses wanita muda ini menjadi eksportir sepatu.

Kepincut bisnis sepatu
Usai belajar di KAI, putri pasangan Nanang Sunarya dan Noerdiyanti ini lalu mengambil jurusan Fashion Introduction di ESMOD Tokyo. Di sini Nadia banyak belajar mengenai seluk-beluk dunia fashion, termasuk sisi bisnisnya. Saat menempuh kuliah, Nadia sering mengikuti seminar fashion. Salah satunya adalah seminar dari Hiko Mizuno, seorang desainer sepatu asal Jepang. Di seminar tersebut, ditampilkan cara-cara memproduksi sepatu. Melihat keseriusan dan ketelitian para pengrajin sepatu di Jepang yang dipaparkan dalam seminar tersebut, Nadia pun tertarik untuk terjun ke bisnis sepatu. “Di seminar tersebut dijelaskan sejarah, teknik, dan pengembangan produk sepatu. Ternyata sangat menantang. Saya jadi tertarik mendalaminya,” cerita Nadia.

Karena suka dengan alas kaki kelom, ia pun bertekad untuk menciptakan produk kelom dengan inovasinya sendiri. Selain karena minat, Nadia mengaku mempunyai feeling yang sangat kuat terhadap bisnis kelom. “Menurut saya, bisnis itu juga harus menggunakan feeling. Saya merasa yakin dengan produk kelom. Apalagi masih jarang pengusaha yang berinovasi dengan kelom di Indonesia,” tuturnya.

Selain itu, Nadia juga melakukan survei terhadap berbagai situs toko online, baik lokal maupun internasional. Rupanya produksi kelom masih terbilang sedikit di Indonesia, sementara peminatnya cukup banyak, termasuk dari mancanegara. “Saya langsung bertekad untuk fokus juga ke ekspor. Untungnya ayah saya seorang importir, jadi saya belajar banyak mengenai usaha ekspor-impor melalui beliau,” cerita Nadia.

Tak punya ijazah
Tanpa menyelesaikan kuliahnya di ESMOD Jepang, awal tahun 2010 lalu Nadia nekad kembali ke Indonesia menyusul kedua orangtuanya yang sudah lebih dulu kembali. Untuk mendalami proses produksi sepatu, Nadia yang berdomisili di Yogyakarta memutuskan untuk mengambil pendidikan di ATK (Akademi Teknologi Kulit), Yogyakarta. Setelah satu semester menempuh pendidikan di ATK, Nadia pun memutuskan keluar.

Untuk mewujudkan bisnis yang diimpikan, Nadia mengumpulkan modal sebanyak Rp 30 juta untuk membeli bahan baku serta membayar pengrajin. Menurut Nadia, sulit mencari pengrajin yang mau memproduksi kelom sesuai dengan model yang dirancangnya. Pasalnya pengrajin di sekitar Yogyakarta, biasanya sudah memiliki pakem sendiri dalam membuat alas kaki. “Mereka (pengrajin) rata-rata hanya membuat alas kaki dengan model yang sudah umum. Jadi banyak yang menolak saat saya minta memproduksi kelom yang saya desain,” tutur anak pertama dari tiga bersaudara yang lahir pada 12 Juni 1989 ini.

Kelom rancangan Nadia memang bukan seperti desain kelom pada umumnya. Ia mendesain kelom dengan sentuhan Eropa, yakni kayu dipadupadankan dengan material kulit. Menurut Nadia, rancangannya ini belum pernah ada di Indonesia sebelumnya. “Kelom didesain sedemikian rupa agar nyaman untuk pemakaian sehari-hari. Selain itu, sepatu ini juga serasi dikenakan dengan berbagai model busana,” katanya.

Setelah mendapatkan pengrajin yang sesuai, Nadia harus melakukan berbagai percobaan terhadap produk kelom sampai menemukan bentuk yang pas dan nyaman dipakai. Bermacam-macam jenis kayu diuji sebagai material utama kelom. Tidak seperti kelom-kelom lain yang menggunakan kayu mahoni, Nadia menggunakan kayu sampang. Kayu ini tumbuh liar di hutan Jawa dan Sumatra. “Kayu jenis ini warnanya bersih, bobotnya ringan, dan awet. Saat dipijak terasa halus dan nyaman,” ujar perempuan yang juga hobi membatik ini.

Setelah tiga bulan percobaan, akhirnya Nadia menemukan model dan bentuk kelom yang pas dikenakan. Ia mengaku puas karena memang telah berusaha maksimal. Mengusung nama usaha Kloom (baca: klum), pemasaran pertama dilakukannya melalui Facebook dengan akun Kloom Clogshop pada bulan September 2010. Sepasang kelom dijualnya seharga Rp 200.000. Hasilnya lumayan, 3-4 pasang kelom laku per hari.

Namun Nadia tidak puas sampai di situ. Ia berpikir dalam menjual produk fashion ia harus membuat konsumen puas dengan memperlihatkan langsung wujud produk tersebut. Akhirnya ia menyewa stan bazaar di mall. “Responsnya sangat lumayan. Sebulan omzet-nya mencapai Rp 39 juta,” ceritanya.

Ditaksir importir
Selain pasar lokal, Nadia juga menyasar mancanegara dengan memasarkan produk melalui toko online internasional. Usahanya pun berbuah manis. Banyak importir Eropa yang tertarik dengan kreasinya. Salah satu permintaan ekspor datang dari Swedia yang memesan sebanyak 250 pasang kelom. Dengan suntikan modal dari sang ayah sebanyak Rp 200 juta, Nadia merekrut puluhan pekerja dari Yogyakarta dan Tasikmalaya demi memenuhi target.

Selanjutnya, ia juga mendapatkan permintaan dari supplier di Denmark, Belanda, dan Yunani, yang meminta 100-200 pasang kelom. Bahkan sebuah butik di Amerika Serikat rutin memesan kelom sebanyak 100 pasang setiap bulannya.

Saat ini, selain kelom, Nadia juga bereksperimen dengan sandal dan sepatu model espadrille yang dipadupadankan dengan batik tulis hasil desainnya. Selain batik, ada juga espadrille dengan sentuhan tenun. Kreasi ini dilakukannya dengan tujuan untuk lebih melestarikan tradisi Indonesia, serta memaksimalkan penggunaan bahan baku lokal.

Kendati sudah menjadi produk ekspor, Nadia menjamin harga produknya masih sangat terjangkau. Untuk kelom, harga yang diberikan mulai dari Rp 175.000 – Rp 425.000. Sementara untuk model espadrille, harganya antara Rp 235.000 – Rp 325.000. Ada puluhan model kelom dan espadrille yang sudah diciptakan Nadia. Berkat inovasinya, baru-baru ini sepatu kreasinya digaet salah satu perancang busana asal Yogyakarta untuk meramaikan pagelaran Jakarta Fashion Week 2011.

Saat ini Nadia sudah bisa mempekerjakan 20 orang pengrajin di Yogyakarta dan Tasikmalaya. Omzet tetap yang dihasilkannya mencapai Rp 70 juta sebulan. Itu hanya dari pameran. Untuk manajemen bisnis, Nadia dibantu ayah dan ibunya. “Modal dari ayah sudah saya kembalikan semua. Semoga seterusnya usaha ini bisa terus maju,” ucapnya tersenyum.

Sumber : http://e-technie.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar