Usaha ayam bakar milik Ary ini diberinya nama Ayam Bakar Ciamik
(ABC). Ia merintis usaha tersebut dari nol bersama istrinya, Ami. Sejak
awal, ia sudah membuat konsep berdagang secara murah: tanpa warung,
tanpa pegawai, dan dengan modal tetap sekecil mungkin.
“Saya sengaja tak memakai warung karena terkendala peraturan
lingkungan yang tak membolehkan warganya membuka warung atau kios di
rumah. Untuk sewa kios di luar kluster, modalnya minimal Rp 4 juta-Rp 5
juta per tahun,” jelas Ary, yang sebelumnya pernah bekerja sebagai
analis pemasaran di sebuah Badan Usaha Milik Negara.
Ary tak menyerah oleh keadaan. Kendala itu disiasatinya dengan cara
melayani pelanggan dengan pesanan via telepon, SMS, dan jejaring sosial
Facebook. Pada Mei 2010, ia mulai menerima pesanan dari
tetangga-tetangganya di kompleks Serpong Garden, Cisauk, Kabupaten
Tangerang, Banten. Pada bulan pertama, ia menggunakan ayam broiler
sebagai bahan dasar, sebelum digantinya dengan ayam pejantan yang
memiliki tekstur lebih baik dan sedikit kolesterol.
Modal uang jajan
Soal modal, Ary menyebut besarannya setara dengan “uang jajan”, lebih
kurang Rp 200.000. “Ini kan sama dengan menyisihkan uang untuk beli
pulsa atau beli baju. Waktu itu saya cuma memakai satu wajan (teflon)
untuk memanggang ayam, ayamnya pun hanya 3-5 ekor,” katanya.
Modal lainnya adalah ketekunan. Ary mencari buku untuk resep ayam
bakar madu dan ayam goreng. Istrinya kemudian mencoba-coba sendiri resep
yang cocok di lidah pelanggan. Karena pelanggan puas, mulai Oktober
2010 Ary memberanikan diri untuk memperluas “daya jelajah” ABC hingga ke
Bumi Serpong Damai, yang berjarak dua hingga lima kilometer dari
rumahnya. Pengantaran pesanan dilakukan dua kali sehari, yakni pukul
10.30 dan 15.30.
Pengembangan usahanya ini berhasil. Pesanan mulai bertambah, kini Ary
menghabiskan 8-10 ekor ayam setiap hari. Demi efisiensi waktu dan
biaya, pengantaran makanan mulai ia limpahkan kepada tukang ojek di
sekitar rumahnya. “Saya menghindari fixed cost dengan tidak merekrut
pegawai dan membeli mobil,” katanya.
Ary pun mengatur siasat agar pesanan dapat diantar sebanyak mungkin
dengan hanya sekali jalan. Ia mulai memasuki komunitas-komunitas warga
di Serpong agar pengantaran makanan bisa dilakukan serentak di satu
kawasan.
“Saya memanfaatkan BlackBerry Messenger (BBM). Jadi kalau ada
pelanggan pesan, saya kirim BBM ke pelanggan lain di sekitarnya, siapa
tahu ikut pesan juga,” jelas Ary.
“Kuliner ini sasarannya komunitas, jadi ada repeat order. Kenapa
kuliner? Karena bisnis ini murah dan gampang mencari bahannya, cash
flow-nya cepat, margin keuntungannya optimum,” tambahnya.
Selama kurang lebih sembilan bulan, ABC melayani pesanan dari
pelanggan di BSD City hingga Alam Sutera, Serpong. Pemesannya tak hanya
para pegawai kantoran yang kesulitan mencari makan siang di kawasan
tersebut, tapi juga rumah tangga. Ary juga menerima pesanan khusus untuk
acara keluarga, seminar, ataupun acara-acara lain.
Pasar pun mulai bergerak lebih luas. Mulai Maret 2011, Ary mulai
menyanggupi pesanan di area Gading Serpong maupun pesanan khusus dari
Jakarta. Untuk melengkapi usahanya, ia dan rekannya bekerja sama membuka
kedai kecil di pekarangan sebuah rumah di dekat Granada Square BSD
City, Serpong, Tangerang Selatan. Dengan adanya kedai offline, pelanggan
dapat membeli dengan cara take away atau tetap melalui delivery service
dengan pengantaran lebih cepat.
Ary mengungkapkan, usahanya kini dapat mendulang omzet Rp 12 juta per
bulan dan masih punya potensi lebih besar. Itu belum termasuk
pesanan-pesanan khusus untuk acara-acara tertentu. Margin keuntungan
yang diraihnya bisa mencapai 40 persen.
Dalam waktu dekat, Ary mulai menjajaki peluang bisnis lunch box untuk
pesanan-pesanan jarak jauh. Pria bersahaja yang selalu mengaku “masih
belajar berwirausaha” ini juga tetap membuka kelas entrepreneur in
action untuk berbagi pengalaman kepada siapa pun yang ingin terjun dalam
dunia bisnis. Asalkan ada niat dan tak takut rugi, niscaya siapa pun
dapat memiliki usaha mandiri.
Sumber : binder724studio.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar