Usaha budidaya jamur yang dirintis Hari Siswoyoto sejak tahun 1995 itu
tidak hanya mampu menghidupi keluarganya, tetapi juga memberdayakan
sedikitnya 700 petani di daerah Sukabumi, Bogor, dan Cianjur, Jawa
Barat.
Padahal, ide membudidayakan jamur itu muncul secara kebetulan saat ia
masih menjadi karyawan sebuah perusahaan otomotif di Jakarta pada tahun
1984. Awalnya, Hari Siswoyoto tak terpikir untuk mempunyai usaha
sendiri, apalagi membudidayakan jamur.
Dia merasa cukup nyaman menjadi karyawan dengan penghasilan tetap.
Inspirasi menjadi pengusaha muncul justru dari seorang pedagang rokok
dan minuman. Kalau pedagang rokok saja berani punya usaha sendiri,
bahkan bisa mengembangkannya dari satu tempat menjadi 10 tempat
berjualan, mengapa ia tak berani?
Hari lalu berusaha mencari bidang usaha yang kira-kira bisa dia
tekuni. Pilihannya jatuh pada jamur karena dia kerap melihat orang di
kampungnya, daerah Sleman, DI Yogyakarta, suka mengonsumsi jamur,
terutama ketika musim hujan. ”Ketika itu jamur belum banyak di pasaran.
Saya langsung yakin, jamur bisa menjadi peluang yang menjanjikan,” kata
Hari.
Dimulai dari keyakinan itulah, di sela-sela waktu kerjanya, Hari
rajin berburu informasi hingga dia bertemu dengan seorang kepala sekolah
pertanian di Sukabumi. Menimba ilmu pertanian dari ”ahlinya”, dia lalu
membuat semacam kebun percontohan jamur di kawasan Cisarua, Bogor.
Percobaan budidaya jamur mulai dari pembibitan hingga panen yang
dilakukan Hari relatif berhasil. Namun, keberhasilan itu saja belum bisa
dijadikan ukuran untuk memulai usaha. Pasalnya, Hari belum menemukan
pasar yang bisa menyerap produk jamurnya secara rutin.
Jaringan pemasaran
”Saya sempat putus asa karena pasar masih asing dengan produk
pertanian bernama jamur. Harganya ketika itu juga masih sangat murah
sehingga saya rugi jika budidaya jamur ini diteruskan,” cerita Hari yang
menggunakan jamur tiram (Pleurotus ostreatus) jenis Oister oleim untuk
memberdayakan masyarakat pedesaan di Sukabumi, Bogor, dan Cianjur.
Namun,
di sisi lain, dia juga pantang berhenti dengan usaha yang sudah
dirintis itu. Hari kemudian menyambangi pasar-pasar tradisional di Bogor
dan Jakarta untuk membuat jaringan pemasaran jamur.
Ketika itu harga jamur relatif masih murah, sekitar Rp 2.000 per
kilogram. Pasar pun mulai terbentuk, dari satu-dua pedagang, beberapa
pedagang lainnya pun minta pasokan jamur darinya.
Di sisi lain, produksi jamur yang bisa dia pasok ke pasar-pasar
tradisional di Bogor dan Jakarta juga semakin stabil karena banyak
petani di Cisarua yang mengikuti jejak Hari. ”Para petani di Cisarua
bahkan bisa ikut mengontrol harga karena permintaan pasar cukup banyak.
Petani jadi punya daya tawar tinggi terhadap pedagang,” kata Hari
tentang kondisi pada tahun 1997 itu.
Baru pada tahun 2000 Hari dan seorang rekannya mengembangkan budidaya
jamur itu secara besar-besaran sehingga makin banyak petani yang bisa
dilibatkan. Harga jamur pun sudah meningkat menjadi Rp 6.000 per
kilogram.
Seperti layaknya sebuah usaha yang mengalami pasang-surut, budidaya
jamur yang dikembangkan Hari juga sempat menyurut. Bedanya, usaha
jamurnya menyurut karena dia dipindahtugaskan dari kantor di Jakarta ke
kantor cabang di salah satu kota di Kalimantan. Namun, terlanjur cinta
pada jamur, Hari lalu memutuskan mengundurkan diri dari kantor tahun
2002. Dia memilih untuk fokus pada usaha jamurnya.
Sampai tahun 2005 semakin banyak petani di daerah Cikidang, Kabupaten
Sukabumi, dan Puncak, Cianjur, yang terlibat dalam budidaya jamur yang
dikelola Hari. Dengan bertani jamur, para petani binaannya bisa
mendapatkan penghasilan dari Rp 100.000 hingga Rp 300.000 per hari.
Tumbuh cepat
Dari pengalamannya selama ini, Hari berkesimpulan, budidaya jamur
bisa diterima petani dalam waktu cepat sebab relatif mudah. ”Jamur itu
parasit yang tumbuh cepat dan tidak memerlukan lahan yang luas,”
katanya.
Jamur tiram, misalnya, bisa dibudidayakan dengan media tanam polybag
yang disusun di rak-rak. Untuk budidaya jamur tiram sebanyak 10.000
polybag diperlukan dana sekitar Rp 20 juta.
Rinciannya, untuk bibit Rp 17 juta dan pembuatan rumah budidaya Rp 3
juta dengan ukuran 6 meter x 12 meter. Dari budidaya itu akan diperoleh
hasil sekitar 60 kilogram jamur setiap hari.
Belakangan harga jamur tiram sekitar Rp 6.500 per kg dari tangan
petani. Di pasar modern harga jamur tiram mencapai Rp 22.500 per kg.
Jamur tiram makin diburu konsumen karena memiliki kandungan protein
tinggi.
Karena berkembangnya amat cepat, jamur tiram harus dipanen setiap
hari, bahkan bisa dipanen pada pagi dan sore. Pasalnya, jamur yang sudah
dibudidayakan akan mati dalam waktu tiga hari sejak tumbuh. ”Satu bibit
jamur tiram itu akan terus panen hingga empat bulan sehingga modal
usaha rata-rata sudah akan kembali atau impas pada dua bulan pertama
budidaya,” katanya.
Setelah berhasil memberdayakan petani di pegunungan di wilayah
Sukabumi, Cianjur, dan Bogor, belakangan Hari giat mengajak pemilik
lahan sempit di Kota Sukabumi. Ia membuat percontohan di Jalan
Bhayangkara, Kota Sukabumi.
”Dalam waktu empat bulan sudah 24 pembudidaya jamur yang ikut. Mereka
umumnya memiliki lahan amat sempit. Bahkan, ada yang hanya seluas 2
meter x 3 meter, tetapi mereka rutin berproduksi dan menikmati
keuntungan,” katanya.
Sebagian pembudidaya bahkan melebarkan usaha untuk memberi nilai
tambah pada jamur karena hanya jamur berkualitas bagus yang bisa masuk
ke pasar modern. Mereka mengolah jamur berkualitas rendah menjadi
keripik jamur. Setelah dikeringkan, jamur digoreng. Harga jual keripik
jamur ini bisa mencapai Rp 400.000 per kg.
Selain petani, budidaya jamur juga mulai dipraktikkan kesatuan
militer dan kepolisian. Hari juga mendampingi usaha budidaya jamur di
Sekolah Calon Perwira atau Secapa Polri Sukabumi. Menurut rencana,
konsep budidaya jamur tersebut akan dikembangkan untuk membekali anggota
kepolisian keahlian yang bisa memberikan penghasilan di luar kedinasan.
Selain Hari Siswoyoto ada pula Kaiman, 49 tahun, contoh sosok
pengusaha kecil yang mengalami keberhasilan dalam menekuni usaha
budidaya jamur tiram berlokasi di Desa Bulu Kandang, Kec. Prigen, Kab.
Pasuruan, Jawa Timur
Bapak dua anak itu merintis usaha tersebut sejak 2005 dengan susah
payah, dan kini secara rutin telah memasok jamur tiram ke pelanggan
rata-rata 100 kg/ hari dengan harga jual Rp10.000/ kg serta 1.000 unit
baglog/ media tanam dengan harga jual Rp2.250 per unit, sesudah
memperoleh pembinaan dari PT HM Sampoerna Tbk mencakup bantuan
peralatan, manajemen serta promosi.
Sebelum menjadi petani jamur tiram, Kaiman selama 14 tahun, sejak
1995 bekerja sebagai sopir angkutan barang rute Surabaya – Bali. Bosan
menjalankan kendaraan angkutan barang antar provinsi, lelaki bertubuh
kecil itu lantas menghentikan profesinya dan membeli kendaraan bermotor
roda empat sistem kredit untuk dioperasikan sebagai angkutan kota di
wilayah Kab. Pasuruan.
Akibat sepinya volume penumpang, maka Kaiman tidak memperoleh
pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam
rumahtangga. Sehingga dia pun tidak melanjutkan usaha angkutan kota.
“Peluang kerja sangat sempit bagi saya sebab saya tidak punya ijazah,
mengingat tidak tamat Sekolah Dasar (SD). Dalam keadaan seperti ini,
pada 2005 ada tawaran untuk mengikuti pelatihan kewirausahaan di bidang
budidaya jamur dari HM Sampoerna, maka saya mengikutinya,” ujar Kaiman.
Desa tempat tinggal Kaiman memang berada di sekitar pabrik sigaret
kretek mesin (SKM) yang dioperasikan PT HM Sampoerna Tbk di Sukorejo,
Kab. Pasuruan. Dan industri rokok tersebut memiliki program pemberdayaan
masyarakat desa berupa pelatihan usaha sesuai potensi desa setempat,
yang dilakukan melalui lembaga Pusat Pelatihan Kewirausahaan (PPK)
Sampoerna.
Kaiman mengaku pada 2005 mengikuti pelatihan usaha di PPK Sampoerna
selama 14 hari berupa bimbingan tentang pengadaan bibit sistem kultur
jaringan, proses pembuatan media tanam jamur tiram dan metode
pembudidayaannya. Bahkan ada pula pelatihan membuat makanan berbahan
baku jamur.
Ada 20 peserta dari Desa Bulu Kandang yang turut dalam pelatihan
budidaya jamur tiram, kemudian secara berbarengan memulai usaha
tersebut. Tetapi dalam perkembangannya beberapa orang tidak berlanjut
dan sebagian besar lainnya merintis pertanian jamur termasuk Kaiman.
Dengan bermodalkan 1.000 unit baglog, Kaiman memulai usaha budidaya
jamur tiram dengan penuh keseriusan. Tempat budidaya yakni bangunan
berdinding gedeg/ bambu telah dimiliki, maka wirausaha jamur dapat
dilaksanakan.
Berdasarkan ilmu yang diperoleh dari pelatihan, media tanam terdiri
dari serbuk kayu gergajian, dedak/katul, tepung jagung dan kalsium yang
dibungkus plastik dengan bobot 1,1 kg per unit baglog.
Kumbung seluas 50 m2 (lebar 5 meter x panjang 10 meter) dapat
dimanfaatkan untuk pembudidayaan 5.000 unit baglog. “Jamur tiram
tergolong tanaman yang cepat tumbuh dan setiap unit baglog dapat
menghasilkan panenan hingga 1 kg selama 5 bulan, lalu diganti media
tanam baru. Tetapi saat panen perdana saya kesulitan mencari pasar,”
kenang Kaiman.
Untuk itu, dia melakukan penjualan keliling guna menawarkan jamur
tiram ke restoran dan swalayan, sementara di pasar tradisional umumnya
belum terbiasa digunakan menjual komoditas tersebut sebab masyarakat
luas belum terbiasa mengkonsumsi jamur tiram.
Dengan didasari ketekunan untuk meraih keberhasilan, Kaiman tidak
lelah memasarkan jamur tiram ke calon pembeli potensial yakni para
pengepul maupun restoran pengguna jamur untuk bahan masakan.
“Selain mencari terobosan pasar sendiri, saya juga dibantu PPK
Sampoerna untuk mempromosikan jamur yang dipajang di etalase PPK
Sampoerna sekaligus diikutkan pameran bersama pengusaha kecil lainnya
yang dibina Sampoerna,” papar Kaiman.
Berkat ketekunan dalam memperluas pasar, Kaiman berhasil mendapatkan
order dari para pengepul maupun restoran di berbagai kota (tidak
terbatas di wilayah Kab. Pasuruan). Seiring semakin besarnya daya serap
pasar, Kaiman pun dapat meningkatkan volume usahanya.
Kini dia memiliki beberapa kumbung yang digunakan membudidayakan
puluhan ribu unit baglog. Selain itu, juga memenuhi permintaan baglog
dari petani Dengan demikian, Kaiman mampu memunculkan petani-petani
jamur di beberapa daerah.
Sesuai tuntutan pasar, Kaiman harus menyiapkan jamur dan baglog dalam
jumlah yang cukup. Untuk menggerakkan kegiatan usahanya, dia kini
didukung 12 tenaga kerja yang diupah secara harian.
“Saya kini rata-rata memasok baglog sebanyak 1.000 unit per hari
dengan harga jual Rp2.250 per unit antara lain memenuhi permintaan dari
Dinas Pertanian dan Perum Perhutani di beberapa kabupaten/kota, selain
pesanan langsung dari petani/pembudidaya. Ini membuktikan konsumsi jamur
semakin meningkat,” papar Kaiman.
Meningkatnya konsumsi jamur otomatis berdampak positif terhadap
peningkatan omset Kaiman. Soalnya, harga jual jamur tiram sebesar
Rp10.000/kg, sedangkan Kaiman mampu memasarkan 100 kg/per hari memenuhi
pengepul dan restoran.
Untuk memperlancar kegiatan usaha budidaya jamur tiram dibutuhkan
ketersediaan bahan baku utama yakni serbuk gergajian kayu. Masalahnya,
serbuk kayu gergajian di Kab. Pasuruan kini mulai langka, sehingga harus
dicari hingga kabupaten-kabupaten tetangga yakni di Kab. Malang dan
Kab. Lumajang.
Harga beli serbuk kayu Rp8.000 per sak ukuran 40 kg, yang dapat
diolah menjadi 25 unit baglog, sehingga berdasarkan kalkulasi cukup
menguntungkan kendati ditambah jenis bahan lain untuk media tanam.
Sejalan dengan berkembangnya usaha budidaya jamur tiram dan produksi
baglog, Kaiman kini benar-benar mampu menikmati hasilnya. Dia optimis
usaha yang digelutinya sejak empat tahun terakhir akan mampu meningkat
lagi di masa-masa mendatang.
Community Development Executive PT HM Sampoerna, Widowati,
menjelaskan Kaiman merupakan bagian dari puluhan pengusaha kecil binaan
perusahaan tersebut yang masih perlu pendampingan hingga benar-benar
mampu mandiri.
“Kami sejak tahun lalu juga mengoperasikan UKM (Usaha Kecil Menengah)
Center di Central Business District Taman Dayu, Kab. Pasuruan, yang
memiliki fasilitas untuk men-display produk yang dihasilkan mitra
binaan. UKM Center juga dijadikan ajang per-temuan sesama pengusaha
kecil untuk saling tukar informasi dan berlatih tentang pemasaran,”
papar Widowati.
Sumber : suaramedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar