Kesuksesan memang buah dari kerja keras. Toh, sukses pun tak terlepas
dari faktor keberuntungan – atau hoki dalam bahasa kalangan Tionghoa.
Itulah yang diyakini Tris Tanoto, wirausaha sukses di bidang penangkaran
dan ekspor arwana merah.
Perjalanan usaha Tris mengembangkan
bisnis arwana melalui PT Munjul Prima Utama (MPU), bermula dari sebuah
kebetulan. Kisahnya berawal pada 1985, ketika Tris berusia 36 tahun.
“Sampai dengan usia 35 tahun saya masih miskin,” ungkapnya kepada SWA
yang bertandang ke kolam penangkaran arwananya di kawasan Munjul,
Jakarta Timur.
Kala itu, seorang teman Tris yang sehari-hari
berdagang ikan arwana datang kepadanya, dan setengah memaksa menawarkan
ikan-ikan arwananya lantaran butuh uang. Jumlah ikan arwana yang
ditawarkan 400 ekor. Tak enak menolak permintaan sang teman, Tris pun
membelinya. “Saya sendiri nggak tahu mau saya apakan arwana-arwana itu.
Sebab, niatnya cuma mau bantu teman,” ucap Kris mengenang seraya
mengakui bahwa saat itu ia sama sekali tak punya pengalaman memelihara
arwana. Waktu itu ikan arwana yang masih kecil (panjang 12 cm) di
Jakarta dihargai sekitar Rp 250 ribu per ekor. Biasanya pedagang membeli
dari Kalimantan seharga Rp 150-175 ribu. Selain berniat membantu, yang
membuat Tris berani mengambil risiko adalah karena ia sudah mendengar
dari kawan-kawannya bahwa usaha ikan arwana bisa menghasilkan untung
cepat.
Ketika itu Tris baru menikah sehingga punya lebih banyak
waktu di rumah. “Maklum, sebelumnya saya suka keluyuran ke mana-mana,”
katanya sambil terkekeh. Untungnya lagi, dalam pemeliharaannya, dari 400
ekor ikan tadi tak ada satu pun yang mati.
Dalam sebuah acara
reuni dengan teman-teman SMP-nya, ada seorang temannya yang dikenal jago
fengshui menyebutkan bahwa peruntungan Tris di bisnis yang terkait
dengan air. “Coba deh kamu cari usaha air minum kaya Aqua atau pabrik
es. Jangan buka usaha yang lain seperti restoran!” ucap Tris menirukan
nasihat temannya. Tris tak menceritakan bahwa ia punya kesibukan dengan
arwana. Penasaran dengan ramalan itu, ia bertekad menyeriusinya. “Siapa
tahu cocok dengan ramalan teman itu,” ujar pria berbadan tegap yang tak
sempat mengenyam pendidikan di bangku kuliah ini.
Dua bulan
berselang, masih di tahun 1986, bisnis ikan arwana meledak. Tiba-tiba
teman yang dulu menawarkan ikan arwana datang lagi dan berniat membeli
kembali. Bahkan, sang teman bersedia membeli ikan-ikan itu dengan harga
US$ 1.500 per ekor (kurs saat itu setara dengan sekitar Rp 2,6 juta per
ekor). “Saya sempat kaget dengan tawaran itu, karena baru memelihara
tiga bulan kok naiknya sudah berlipat-lipat,” katanya. Namun, Tris tidak
serta-merta menerimanya, lantaran ia juga sudah merasakannya sebagai
hobi. “Saya bertahan meski berkali-kali ditawar,” ceritanya mengenang.
Dan, hingga kemudian hatinya terbujuk jua manakala sang kawan menawar
dengan harga US$ 4 ribu per ekor atau total sekitar US$ 1,6 juta. “Saya
kaget. Karena ia memang betul-betul punya uang, maka langsung saya
jual,” tutur Tris yang kala itu langsung kaya mendadak. “Hari itu juga
saya membeli tanah ini untuk dijadikan kolam penangkaran,” tambahnya.
Keberuntungan
yang dramatis itu membuat Tris makin serius menggeluti bisnis arwana.
Ia lalu mengembangkan tanahnya yang seluas 3 ribu m2 di Munjul Cipayung,
Jakarta Timur itu sebagai kolam pemeliharaan dan penangkaran. Hasil
penjualan 400 ikannya juga dipakai untuk membeli lagi ikan-ikan arwana
dari para pemilik perorangan di seputar Jakarta. Rata-rata harganya Rp
750 ribu per ekor. “Ikan-ikan itu saya ceburkan saja di sini dan saya
suruh orang untuk mengurus. Alamnya sebisanya dibuat seperti di
Kalimantan. Tiap akhir bulan, saya datang untuk memberi gaji karyawan
dan beras,” Tris menuturkan.
Di tahun 1988 Tris terkejut, dari
kolamnya terlihat ikan-ikan kecil yang setelah diamati ternyata
anak-anak arwana yang telah menetas dari telur para induk yang
diceburkan dua tahun sebelumnya. “Wah, itu hari yang bersejarah, Pak.
Hati saya seumur-umur paling senang ya hari itu,” ungkap Tris.
Keterkejutan Tris beralasan, mengingat menangkar ikan langka ini di
Jakarta sangat susah lantaran ketidaksesuaian dengan iklim dan kondisi
airnya. “Saking senangnya, siapa saja yang mau lihat saya perbolehkan,”
imbuhnya.
Setelah tahu di kolamnya arwana bisa membiak, Tris
makin terpacu memperluas kolam arwananya. Lahan-lahan di sekitarnya pun
ia beli, hingga seluas 1 hektare. Masalah baru menghadangnya ketika ia
mulai mengurus perizinan (legalitas), khususnya izin penangkaran dan
ekspor arwana. Ia mulai mengurus izin penangkaran tahun 1988, tetapi tak
kunjung dikabulkan pemerintah. Alasannya, arwana tidak bisa
ditangkarkan di luar habitatnya. Ini mengherankan, sebab kenyataannya
ikan-ikannya bisa berbiak. Bahkan, kalangan media cetak dan televisi
sudah memberitakan. Beberapa pejabat juga sudah datang membuktikan.
Setelah melalui usaha tak kenal putus asa, izin penangkaran baru
diperolehnya tahun 1991. Permintaan izin ekspor yang sudah disodorkannya
dari tahun 1987 malah lebih alot, karena baru keluar tahun 1996.
Tak
bisa dipungkiri, saat itu dunia bisnis di Tanah Air memang masih
dimonopoli oleh kalangan yang dekat dengan penguasa (kroni). Tris tahu
ketika itu satu-satunya perusahaan yang bisa mengekspor adalah
perusahaan yang sahamnya dimiliki seorang pejabat penting – ia sendiri
tidak menyebutkan jati diri perusahaan dan pejabat itu.
Ketika
izin ekspornya belum keluar, Tris mengakui beratnya bisnis yang harus
dia jalankan. Pasalnya, ketika ikan-ikannya sudah bisa berkembang biak
dengan baik, ia tak bisa memasarkannya ke luar negeri.
Hingga
izin ekspor belum keluar – berarti hanya boleh menjual di dalam negeri –
bisa dibayangkan betapa Tris megap-megap dalam menjalankan usaha.
“Waktu itu per tahun bisa berbiak 1.500 ekor padahal indukannya cuma 94
ekor,” paparnya. Otomatis, Tris menanggung biaya pemeliharaan makin
besar – untuk biaya listrik, pakan, tenaga kerja, dan lain-lain. Karena
jumlah ikan makin banyak, otomatis ia juga harus menambah luas lahan.
“Beban usaha saya makin besar. Padahal, usaha yang lain sudah saya
jual,” Tris mengenang pengalaman pahitnya.
Perjuangan untuk
memperoleh izin ekspor dilakukannya dengan berbagai cara, termasuk aktif
melakukan aktivitas public relations. Beberapa kali ia mengundang
pehobi arwana, pejabat dan kalangan media massa, untuk membuktikan bahwa
penangkarannya memang berhasil dengan baik. Tak heran, cukup banyak
orang penting dan orang asing yang datang mengunjungi kolam arwana Tris
di Munjul. Bahkan, di tahun 1994 PT Munjul dijadikan pilot project
penangkaran arwana yang dikunjungi Pangeran Akisino dari Jepang. Nama
Munjul Prima Utama pun makin berkibar. Bahkan, lembaga dunia di bawah
PBB yang bertugas mengurus satwa langka, CITES, pernah datang pula ke
lahan penangkarannya. Di saat itulah Tris mengajukan protes ke CITES
kenapa dirinya tidak diperbolehkan melakukan ekspor sementara ada
perusahaan lain yang diperbolehkan.
Petugas CITES itu tersentak
mendengar protes Tris karena sebelumnya CITES mengira yang selama ini
melakukan ekspor arwana dari Indonesia adalah organisasi pemerintah.
Berkat pelaporan ini, akhirnya izin ekspor untuk MPU keluar juga pada
1996. Sejak itu, Tris pun leluasa mengekspor arwana. Apalagi, MPU pun
telah diakui CITES dengan nomor registrasi A-ID-505. Saat itu jumlah
ikan indukannya telah mencapai sekitar 2 ribu ekor.
Begitu
mendapatkan izin ekspor, Tris langsung melakukan pembenahan internal. Ia
menyortir kembali seluruh ikan tangkarannya. Yang terbagus dipilih
untuk dijadikan induk. Ia meyakini dari stok induk (parent stock) arwana
hanya terdapat 10%-15% yang bagus. “Yang terbaik saya ambil untuk
induk. Lainnya saya jual murah, Rp 1 juta per ekor,” ujarnya. Praktis
sejak itu strategi yang dilakukan Tris ialah pemuliaan jenis, yakni
dengan mengawinkan induk-induk terbaik. Strategi inilah yang membedakan
dari para penangkar lain di Indonesia – yang kini jumlahnya sekitar 200
pemain.
Dari kelompok indukan kelas satu itu (disebut generasi
F1), setelah dikawinkan menghasilkan generasi F2 yang diperkirakan 75%
turunannya berkualitas bagus. Dari 75% itu lalu dikawinkan lagi untuk
menghasilkan generasi F3 yang diperkirakan 90% anaknya bagus. “Begitu
seterusnya sampai F4, hampir 100% bagus. Sekarang ini saya sudah sampai
F5,” ujar Tris seraya menunjuk pada deretan akuarium yang berisi
anak-anak ikan arwana generasi F5. “Bisnis dan kerja saya ini pemuliaan
jenis. Seperti emas, yang dilakukan ialah memurnikan emas-emas itu dari
unsur-unsur lain sehingga benar-benar merupakan emas murni,” Tris
menganalogikan.
Strategi pemuliaan jenis yang dilakukan Tris
secara ketat ini tak lepas dari strategi bisnisnya yang memang hanya
menyediakan arwana kualitas premium. Ia hanya menjual ikan-ikan arwana
merah super (super-red) yang benar-benar unggulan dan langka, tak
seperti umumnya para penangkar dari Kalimantan atau Sumatera. Ini juga
terlihat dari harga per ekor arwana yang dijualnya. Sekarang, harga
rata-rata arwana merah dengan panjang sekitar 30 cm di Jakarta Rp 3 juta
per ekor (di Kalimantan harganya cuma Rp 1-1,5 juta); sedangkan
ikan-ikan hasil budi daya MPU dijual per ekor US$ 2 ribu (sekitar Rp 18
juta). “Ikan saya harganya lima kali lipat harga ikan mereka, Pak,” kata
Tris mengakui. Karena yakin atas kualitas arwana hasil penangkarannya,
Tris terlihat tak khawatir pelanggannya bakal lari walaupun menerapkan
pricing secara premium.
Strategi menggarap segmen premium dengan
pemuliaan jenis ini, menurut Tris, merupakan satu-satunya jalan baginya
untuk bisa bersaing dengan para pemasok ikan arwana dari Kalimantan.
“Kalau saya jualan dengan kualitas biasa, dengan harga murah seperti
mereka, saya sudah kalah dan bangkrut dari kemarin,” ungkapnya. Tentu
saja Tris punya dasar kuat, terutama karena ia berupaya menghasilkan
ikan unggulan. “Segala jenis binatang, apa pun jenisnya, semakin mulia
atau murni dan harganya tinggi, maka keturunannya akan semakin sedikit,”
tutur Tris yang mempekerjakan 50 karyawan untuk mengurus kolam
arwananya.
Air yang berlimpah di Kalimantan dan harga lahannya
yang cuma Rp 5 ribu per m2, lanjut Tris, merupakan keuntungan bagi
penangkar arwana di Kalimantan. Adapun di Munjul, harga tanahnya per m2
sudah Rp 700 ribu, dan biaya pengadaan air (lewat proses daur ulang)
juga tak murah. Karena itulah, Tris memilih menangkap segmen paling atas
agar biaya produksinya bisa terkejar dengan model penangkaran di
Jakarta yang serba mahal.
Sekarang, pria yang tinggal di kawasan
Pluit ini memiliki 600 ekor indukan arwana. Biasanya, arwana yang masih
remaja (umur 9 tahun) per tahun bisa menghasilkan anak (lewat cara
bertelur) tiga-empat kali. Sementara yang usianya sudah 30 tahun,
menghasilkan anakan setelah 2-3 tahun sekali. Ikan arwana ini,
dijelaskan Tris, sebenarnya bisa berproduksi hingga usia 35 tahun,
asalkan kita mengetahui cara perawatannya.
Tris membeberkan
sebagian kiat budi dayanya. Selama ini, setiap 10% dari hasil anakan
selalu disisihkannya untuk dijadikan calon indukan di kemudian hari.
Menurutnya, arwana merah (arowana super-red) dibagi dua, yakni jenis
sintetik dan otentik. Yang dimaksud jenis sintetik, dalam
pengembangannya menggunakan obat-obatan untuk memperindah kondisi ikan;
sedangkan jenis otentik, kualitas aslinya memang sudah bagus secara
alami. Tris sendiri cenderung mengembangkan pola kedua. “Emas walaupun
dibuang ke lumpur tetap saja emas, tidak berubah. Demikian juga arwana
super-red yang mempunyai genetik murni, jika memang dasarnya merah
ditaruh di akuarium mana pun pasti tetap kelihatan merah,” ia
menegaskan. Walaupun masih berumur muda dan cuma berukuran 20-25 cm,
menurut Tris, kalau memang ikan itu berkualitas bagus, sudah kelihatan
kualitasnya.
Tris biasanya menjual ikan dengan ukuran panjang
15-35 cm. Ia memberi merek ikan-ikan hasil budi dayanya dengan nama
ultrared. Awalnya semua penangkar mengirim arwana merah dengan sebutan
super-red. Beberapa lama kemudian orang Jepang melihat arwana super-red
keluaran MPU kelihatan lebih merah dibanding yang lain, sehingga orang
Jepang menyarankan memberinya nama ultrared. Ciri khas arwana ultrared,
yakni memiliki warna merah darah dan warna ring tebal (thick scales
hampir 90% tertutup warna merah). Warna merahnya bisa menutupi semua
bagian muka arwana dan ekor yang mekar seperti bunga hong hua (bunga
merah).
Mengenai pemasaran ikan hasil penangkarannya, selama ini
Tris sengaja menyasarkan semua produknya untuk ekspor (100%). Jadi ia
memang tak melayani pembeli domestik. Biasanya ia melayani order minimum
50 ekor, dan pembayarannya dilakukan penuh sebelum pengiriman.
Kebanyakan pembeli datang dari Jepang, Taiwan, Cina, Thailand, Singapura
dan Korea. Hanya saja, dalam setahun terakhir ia lebih banyak melayani
pembeli dari Cina, sebab di Negeri Tirai Bambu ini sekarang banyak orang
kaya baru. “Kalau pemasaran, saya tidak pernah cari. Mereka yang cari
saya dan datang ke sini. Jadi, untuk urusan buyer saya tidak pernah
kesulitan,” ujar pengendara Mitsubishi Pajero ini.
Tampaknya
ucapan Tris bukan omong besar belaka. Dari penelusuran SWA secara online
ke beberapa situs penggemar arwana dunia termasuk di Jepang, tampak
sekali nama PT Munjul Prima Utama sudah sangat dikenal. Alvin Koh,
direktur pengelola situs para pehobi arwana yang ternama di dunia,
www.arofanatics.com, menyebut PT Munjul Prima Utama sebagai “One of the
most well-known farms among the Japanese arowana hobbyists and famous
for the outstanding coloration of their red arowanas.” Nama Munjul pun
sudah cukup tersohor di kalangan penggemar arwana di Cina dan Korea.
Saat
ini, sebenarnya yang dirasakan Tris sebagai kendala adalah masalah
keterbatasan produksi. Tris mengaku tak sulit memasarkan berapa ekor pun
arwana. Jumlah penjualannya sejauh ini tergantung pada berapa banyak
produksinya, bisa ribuan, bisa hanya ratusan per tahun. Tahun lalu
misalnya, angka produksinya turun, yakni hanya beberapa ratus ekor ikan
setahun lantaran cuaca tidak mendukung.
Mengenai budi daya arwana
ini memang tak lepas dari masalah kualitas air. “Dalam menangkarkan
arwana yang terpenting adalah menjaga kondisi air, sedangkan hal lain
relatif tak sulit,” papar Tris seraya menjelaskan air kolam harus terus
diganti tiap hari. Tris mengaku sempat masygul karena kolam pertamanya
yang berlokasi di Jl. Raya Hankam Munjul sudah tak bisa dipakai lagi
lantaran airnya mulai tercemar dengan air lingkungan sekitarnya. Ini
cukup memusingkannya, sebab sejak dari awal ia menerapkan kebijakan
tidak akan membeli ikan dari penangkaran lain untuk diekspor. Namun, ada
hal yang membuat Tris kini bisa bernapas lega lagi. Kolam ikannya yang
baru, yang 6 kali lebih luas (6 ha) di Pondok Rangon – tak jauh dari
Munjul – sudah bisa dipakai.
Sumber : kisah-kiat-sukses-bisnis.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar