Wilmar International Ltd. memang bukan Astra Agro, Sinarmas atau Bakrie
Plantation yang cukup populer bagi pemain agrobisnis di Indonesia. Toh
sesungguhnya Wilmar tak kalah hebat. Malahan bisa disebut lebih hebat,
khususnya bila dilihat dari kiprahnya yang tak sekadar jagoan lokal.
Wilmar sudah menjadi pemain global, mempunyai tak kurang dari 160 pabrik
pemrosesan minyak sawit dan minyak nabati di berbagai negara termasuk
Indonesia, Malaysia, Cina dan India.
Perusahaan ini sudah go
public di Singapore Stock Exchange dan disebut-sebut sebagai salah satu
perusahaan publik berkapitalisasi pasar terbesar di bursa negeri jiran
itu. Sebagai gambaran, hingga kuartal II/2008, pendapatannya mencapai
US$ 7,8 milar dengan laba bersih US$ 332 juta. Bisnis utamanya adalah
perdagangan, pemrosesan minyak sawit dan minyak nabati, selain bisnis
perkebunan tentunya. Bisnis perdagangan dan pemrosesannya punya
pendapatan yang jauh lebih besar ketimbang bisnis perkebunannya yang
hanya berkontribusi 5% dari total pendapatan grup ini.
Di Cina,
sebut contoh, grup ini dikabarkan tak kurang punya 20 pabrik
penyulingan. Belum termasuk yang di Indonesia dan Malaysia. Perusahaan
ini punya land bank perkebunan 500 ribu ha di beberapa negara – sebagian
besar di Indonesia dan Malaysia. Luas kebunnya yang sudah tertanami per
kuartal II/2008 mencapai 215 ribu ha, dan kebun yang sudah panen 137,7
ribu ha. Mereka memasarkan produknya ke 50 negara di dunia dengan fokus
di lima area: Indonesia, Malaysia, Cina, India dan Eropa.
Tak
salah, Wilmar adalah contoh tepat perusahaan yang sukses melakukan
lompatan kuantum. Maklum, baru didirikan tahun 1991, kini skala
bisnisnya sudah berkelas global. Tentu saja ini berkat strategi
investasi dan aliansi yang tepat para pengelolanya.
Wilmar
sejatinya adalah sebuah grup perusahaan dengan dua wajah: Indonesia dan
Malaysia. Maklum pendirinya memang dua orang, yang satu dari Indonesia
yakni Martua Sitorus (48 tahun) asal Medan, dan satunya lagi dari
Malaysia, Kuok Khoon Hong alias William Kuok (58 tahun). Begitu pula
dengan nama Wilmar, yang singkatan dari Wil(liam) dan Mar(tua). Dua
entrepreneur hebat inilah yang sekarang sedang menjadi pembicaraan
hangat di kalangan bisnis minyak nabati olahan dunia. Apalagi Wilmar
baru saja menjalin aliansi dengan Archer Daniels Midland Company,
perusahaan minyak nabati olahan terbesar dunia yang masuk Fortune 100.
Martua
Sitorus adalah sosok menarik karena di saat usianya baru 48 tahun sudah
mampu mengendalikan bisnis beromset miliaran dolar. Menurut sumber yang
sangat dekat mengenalnya, Martua yang bernama Tionghoa, Thio Seng Hap
adalah putra pemilik toko UD Sadar di Pematang Siantar – toko besar yang
menjual berbagai kebutuhan sehari-hari. Di Pematang Siantar orang lebih
mengenal Martua sebagai Ahok, anak kedua dari lima bersaudara. Keluarga
Martua termasuk salah satu orang terkaya di kota itu.
Ketika
berusaha mulai menjalankan bisnis sendiri, Ahok dimodali 9 unit truk
oleh orang tuanya untuk berbisnis transportasi di Medan. Di akhir
1980-an, Martua mencoba membuka pabrik palm kernel (produk sampingan
kelapa sawit) kecil-kecilan dengan produksi sekitar 40 ton/hari di
Belawan. Martua juga belajar dagang minyak goreng yang dibeli dari Grup
Salim dan Grup Sinarmas – dari sinilah Martua punya jejaring dengan dua
grup besar itu.
Ketika mulai membuka pabrik palm kernel itu
pulalah Martua kenal dengan William Kuok, keponakan Robert Kuok, raja
minyak sawit dan raja gula di Malaysia (Kuok Brothers) yang sangat
terkenal di dunia. William adalah Direktur Pengelola Kuok Group,
sehingga memang sangat berpengalaman dan dikenal secara internasional.
Karena berselisih paham dengan Robert, dia keluar dan merintis usaha
sendiri yang kemudian bertemu dengan Martua.
Martua dan William
rupanya berjodoh. Mereka kemudian bergandengan tangan di tahun 1991,
melahirkan Karya Praja Nelayan (Grup KPN) yang berbasis di Medan.
Beberapa perusahaan yang mereka dirikan saat itu di antaranya PT Bukit
Kapur Reksa di Dumai; PT Multi Nabati Asahan (Tanjung Balai Asahan); dan
PT Sinar Alam Permai (Palembang) yang membuat palm kernel. Tahun 1992,
mereka membangun pabrik penyulingan PT Bukit Kapur Reksa di Dumai.
Kehebatan
Martua, menurut sumber SWA yang tak mau disebut namanya, merupakan anak
muda yang low profile, pekerja keras dan punya lobi yang bagus di
sejumlah perusahaan perkebunan (PTP). Di KPN, meski menjadi dirut,
Martua biasa terjun langsung dalam segala hal. “Semua dia tangani, tapi
tetap ada tim manajemennya, menguasai secara detail seperti bisnis
orang-orang Cina pada umumnya,” katanya. Faktor utama mengapa Wilmar
cepat membesar adalah karena Martua menguasai local sourcing; sedangkan
William menguasai pemasaran dan finansial termasuk dengan jaringan
perbankan di luar negeri. Maklum, William sudah punya nama saat di Kuok
Group. “Itulah alasan mengapa Wilmar bisa terbang sehebat sekarang,
karena dikelola dua orang hebat,” kata sumber ini.
Maruli Gultom,
mantan Presdir PT Astra Agro Lestari, mengakui, Wilmar merupakan salah
satu perusahaan agrobisnis terbesar di Asia, dengan pemasaran mencakup
Asia, Eropa dan Afrika. Dia menilai Martua adalah sosok yang hebat
sehingga bisa membesarkan Wilmar. Maruli sempat bertemu Martua ketika
mendapat undangan makan dari Menteri Perusahaan Perladangan dan
Komoditas Malaysia, Datuk Peter Chin Fah Kui. Saat itu yang ada hanya
Maruli, Peter Chin dan Martua Sitorus. Dari obrolan yang berlangsung,
Maruli menyimpulkan Martua adalah orang yang diperhitungkan di negeri
jiran. “Dia masih muda dan energik,” kata Maruli.
Sementara itu,
Akmaluddin Hasibuan, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia, juga mengamati bisnis Wilmar memang berkembang sangat pesat.
Menurutnya, Wilmar memulai bisnis dari hilirnya dulu, bukan di
perkebunannya (hulu). “Sekarang sudah masuk biodiesel, pupuk NPK,
refinasi, dan sebagainya,” kata Akmaluddin.
Akmaluddin mengaku
sudah kenal lama dengan Martua yang lulusan Fakultas Ekonomi HKBP
Nommensen Medan, tempatnya mengajar. “Beliau baru masuk sebagai
mahasiswa, saya sudah mengajar,” katanya. Kemudian setamat kuliah,
Martua memulai bisnis kecil-kecilan di PTPN VI, di bidang pengangkutan
minyak sawit. “Beliau memang betul-betul self-made man, membangun
dirinya sendiri dan tahu apa yang diperbuat. Waktu mahasiswa, dia
belajar dengan baik, dan ketika berbisnis juga berbisnis dengan baik.”
Bungaran
Saragih, mantan Menteri Pertanian RI, melihat salah satu kunci sukses
Wilmar karena merekrut orang-orang yang kapabel sehingga bisa menangani
perusahaan yang sangat cepat bergerak, terintegrasi vertikal dan
horisontal dengan baik. Jaringan internasionalnya – khususnya sumber
finansial – sangat kuat. “Jika tidak kuat sumber finansialnya, tidak
mungkin bisa melakukan perdagangan dan akuisisi perusahaan,” ujar
Bungaran. Di bisnis perkebunan sawit, Wilmar tidak membangun sendiri,
tetapi membeli. “Dia mau cepat. Kalau membangun sendiri akan lama. Dia
beli kemudian diperbaiki. Karena sudah punya pasar, soal uang tidak ada
kesulitan,” ungkap Bungaran yang juga mengenal Martua.
Dalam
pandangan Bungaran, Wilmar termasuk perusahaan ideal karena tidak hanya
bergerak di Indonesia, melainkan pemain global dan disegani di dunia.
Mereka perusahaan trading yang kuat, dipercaya pelanggan dan mau
mengembangkan infrastruktur. “Martua orang pertama yang membuat
pelabuhan kelapa sawit. Dia sudah berpikir ketika orang lain belum,”
tuturnya.
Pernyataan Bungaran tampaknya tak meleset. Max
Ramajaya, GM Pengembangan Bisnis PT Wilmar Indonesia, mengatakan,
perusahaannya tidak sekadar bergerak dari atas ke bawah (hulu ke hilir)
tetapi ke kanan dan ke kiri. Artinya, bisnis-bisnis lain juga
dikembangkan, seperti pupuk NPK Sentana sekitar tahun 2004, pabrik
biodiesel sejak tahun 2005, dan saat ini sedang bergerak ke bisnis
chemical oil. Wilmar, menurut Max, juga didukung infrastruktur yang
cukup kuat, baik untuk transportasi laut maupun darat. Pihaknya memiliki
beberapa kapal tanker berkapasitas 10-20 ribu ton, dan segera membeli
kapal berkapasitas di atas 30 ribu ton.
Soal strategi investasi,
diakui Max, Wilmar agak sedikit berbeda dari perusahaan kelapa sawit
lain, karena memiliki strategi investasi jangka panjang. “Kami tidak
berpikir investasi sekarang harus balik modal tiga tahun lagi. Kami
berpikir benar-benar bahwa investasi kami strategis,” ujar Max. Sebagai
contoh, Wilmar menginvestasikan jutaan dolar untuk pengembangan
infrastruktur kawasan industri Dumai. Menurut Max, tidak banyak
perusahaan yang mau melakukannya lantaran mahal dan return-nya lama.
Namun, bagi Wilmar kawasan industri Dumai bakal menjadi kawasan
terintegrasi minyak kelapa sawit yang lengkap.
Ditanya kenapa
Wilmar listing di Singapura, Max mengatakan, bursa Singapura lebih
likuid dan stabil. Singapura selalu menjadi tempat yang strategis.
Kendati demikian, kegiatan operasional di Indonesia tetap dilakukan di
Medan. “Singapura hanya sebagai headquarter untuk konsolidasi, tetapi
semua keputusan diambil di masing-masing unit,” katanya. Ke depan,
Wilmar akan konsisten mengembangkan perkebunan selama arealnya tersedia
dan masih dalam koridor hukum. “Per tahun kami berencana membangun kebun
kelapa sawit 30-40 ribu ha.”
Yang menarik, cepatnya pertumbuhan
bisnis Wilmar diiringi pula kinerja keuangan yang terus kinclong. Tentu
saja hal itu menjadi berita gembira bagi investor publik yang memegang
sahamnya. Per Desember 2007, angka return on average asset Wilmar 13,3%
dan semester I/2008 meningkat menjadi 16,6%. Lalu, dilihat dari return
on average capital employed, tahun 2007 sebesar 11,5%, sementara
semester I/2008 menjadi 14,9%. Tak hanya itu, dari parameter angka NAV
per saham, Desember 2007 sebesar 122,9% dan semester I/2008 mencapai
132,1%.
Jelas, Martua dan William menunjukkan bahwa wakil dari
negara serumpun yang selama beberapa tahun terakhir dirundung aneka
sengketa ini, ternyata bisa menciptakan sinergi bisnis sehingga menjadi
kekuatan global yang disegani.
Sumber : kisah-kiat-sukses-bisnis.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar