Bagi yang melihat sebelah mata bisnis garmen dan tekstil di Jawa Tengah,
agaknya harus menyambangi Setiawan Santoso. Pemilik PT Rodeo ini
membuktikan bahwa wong asli Semarang pun bisa mengembangkan bisnis
garmen berskala besar, dengan kinerja yang baik. Rodeo tiap tahun meraup
omset US$ 10 juta.
Bukti keperkasaan Rodeo, di antaranya,
dipercaya sejumlah perusahaan multinasional memproduksi merek-merek
garmen top dunia. Lotto, Fila, Esprit, Guess dan Warner Bross, adalah
nama-nama merek yang pernah ditanganinya. Bahkan, Rodeo juga sukses
mengembangkan merek sendiri dengan posisi dan awareness cukup kuat di
pasar nasional. Terutama, merek Point One, yang tergolong ngetop dan
banyak tersedia di hampir semua toserba modern.
Bisnis garmen
memang bukan mainan baru bagi Setiawan. Sejak kecil dunia tekstil
menjadi bagian hidupnya. Orang tuanya adalah pedagang kain yang membuka
toko di sekitar Pasar Peterongan, Semarang. Awalnya, ia hanya meneruskan
bisnis toko kain kecil warisan orang tuanya itu. Namun, makin lama
bisnisnya makin berkembang, hingga kemudian ia dan orang tuanya membuka
toko garmen. Seiring perkembangan tokonya, ia juga mulai mengimpor
garmen dari Hong Kong dan Singapura, meski dalam jumlah kecil. Hal ini
terutama untuk memenuhi permintaan di tokonya. Produk impor tersebut
juga dijual di Yogyakarta dan Solo.
Tahun 1978 keluar kebijakan
pemerintah yang mempersulit impor. Setiawan terpaksa berpikir keras agar
tak kehilangan bisnis. Ternyata, larangan ini justru mendorongnya
membuat produk garmen sendiri. Ia mengangkat dua karyawan untuk membantu
produksi pertamanya, di rumah kontrakan. Modalnya hanya satu mesin
jahit dan mesin obras. Semua ia lakukan sendiri, baik pekerjaan
pemotongan, penjahitan, pengiriman maupun jual-beli kaus. Bahan baku
diperolehnya dari Semarang, Bandung dan Jakarta. Untuk memasarkan
produk, ia memilih nama merek Rodeo (jenis olah raga menaklukkan sapi
liar -– Red.), agar mewakili jiwa anak muda, segmen yang ia sasar.
Ternyata
bisnisnya berkembang. Karyawannya bertambah, dari dua menjadi empat
orang, 10 orang, dan seterusnya. Setelah menjadi industri rumahan, tahun
1984 ia memindahkan lokasi produksi di Jl Kaligawe, pada lahan seluas
... hektare. Kemudian, tahun 1989 berinisiatif membuat pabrik perajutan
sendiri, memproduksi bahan baku kain untuk pembuatan kaus. Yang pasti,
kini Rodeo bisa melakukan bisnisnya dari hulu ke hilir, dari perajutan,
pencelupan dan finishing, hingga sablon (hand printing) dan cetak
bordir.
Dari sisi pemasaran, Setiawan sangat peduli menggarap
pasar ekspor. Langkah ini dimulai tahun 1987, ketika karyawannya
berjumlah 800-an orang. Ekspor perdana ke Italia, dengan pesanan
sebanyak 2.000 lusin. "Waktu itu kami benar-benar jungkir balik untuk
memenuhi kuota pesanan, tapi sekaligus memberikan standar kualitas yang
baik," ujar Setiawan, mengenang.
Karena sebagian besar basis
produksinya untuk pasar ekspor, ketika krismon tahun 1998, kinerja
perusahaannya tetap bagus. Malah, pendapatan perusahaan meningkat karena
pembayarannya dalam dolar AS. Setiawan mengakui, kelemahan perusahaan
garmen di Indonesia, belum bisa mengekspor dengan memakai merek sendiri
untuk kategori mass product. Karena, membutuhkan biaya yang sangat besar
untuk promosi. Selain itu, harus ada penempatan orang di daerah tujuan
ekspor untuk mendapatkan perancang yang tepat serta mencari informasi
tentang pangsa pasar di negara itu.
Setiawan saat ini fokus
membenahi kondisi internal. Antara lain, melakukan rasionalisasi dan
efisiensi serta meningkatkan produktivitas. Dengan kapasitas produk
perajutan sekitar 250 ton/bulan -- 40% untuk memenuhi kebutuhan industri
garmennya sendiri dan 60% dijual —- kini setiap tahun Rodeo
memproduksi 3 juta lembar produk garmen dengan dibantu sekitar 2.500
karyawan. Selain di Semarang, Setiawan juga memiliki perusahaan garmen
di Jakarta, PT Rodeo Kerta Kencana namanya.
Sumber : kisah-kiat-sukses-bisnis.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar