Walaupun disergap sejumlah pemain asing, Wim Cycle bertahan sebagai
pemimpin pasar sepeda, dan mampu meraih omset di atas Rp 150 miliar per
tahun.
"Wym Cycle ... heeeboooh!" demikian penggalan akhir iklan
sepeda terdengar jenaka. Meski iklan itu jarang muncul di teve, karena
suara dan visualnya khas dan menarik, banyak orang yang mengingatnya.
Wim
Cycle ternyata tidak hanya heboh sebatas di iklan, tapi juga kinerja
pemasarannya. Produk sepeda asal Surabaya ini hingga sekarang bertahan
sebagai pemimpin pasar di Tanah Air. Tahun 2002, ia mampu meraih
penjualan 350 ribu unit. "Wim Cycle memang masih market leader," ujar
Johny Rusdiyanto, staf pengajar Universitas Surabaya.
Prestasi
Wim Cycle, tentu, menjadi catatan menarik. Perusahaan ini berdiri akhir
1970-an, sudah 25 tahun lebih. Sederet perusahaan sejenis yang lahir
pada masa itu, sebagian besar telah mati, termakan bengisnya persaingan
industri sepeda. Maklum, karakter persaingan di bisnis ini cukup rumit.
Jorjoran diskon dan harga merupakan fenomena yang lumrah. Pasar sepeda
juga sulit didekati dengan pendekatan pemasaran massal, sehingga biaya
pemasarannya lebih besar. Apalagi, di sektor ini amat mudah para pemain
skala kecil ikut masuk meramaikan pasar. Misalnya, bengkel-bengkel
sepeda itu bisa dengan mudah merakit dan menjual belasan unit sepeda
baru.
Tak hanya itu, serangan dari pemain asing yang berkiprah di
bisnis ini pun tak kalah hebat. Sebut saja dua pemain kawakan asal
Jepang, PT Federal Cycle Mustika (FCM), dan PT Toyo Asahi Bicycle. FCM,
amat agresif memasarkan produknya, dan sepeda merek Federal yang
dipasarkannya kini telah merambah hingga ke pelosok, bersaing ketat
dengan Wim Cycle.
Ditambah kenyataan, secara keseluruhan citra
produk sepeda makin surut, terutama setelah hadirnya alat transportasi
yang lebih otomatis, praktis dan modern, yakni sepeda motor. Maka,
manajemen Wim Cycle, PT Wijaya Indonesia Makmur Bicycle Industries
(WIMBI), harus benar-benar cerdik menghadapi situasi pasar yang sangat
keras.
Dari sisi harga, sebenarnya harga jual Wim Cycle relatif
sama dengan produk sepeda modern lainnya. Seperti kata Ali Sadikin,
Manajer Pemasaran WIMBI, harga produknya Rp 310 ribu-1,8 juta per unit.
Bila dirata-rata, sekitar Rp 745 ribu/unit, relatif sama dengan
rata-rata harga produk lain. Sepeda merek Federal misalnya, juga
dipasarkan seharga sekitar itu. Manajemen Wim Cycle nampaknya sengaja
tak menggunakan strategi harga sebagai sennjata andalan untuk
memenangkan persaingan.
Namun, bila diamati, ada sejumlah elemen
penting yang sukses dikembangkan dalam pemasaran Wim Cycle. Pertama,
dari strategi membidik sasaran. Wim Cycle membidik konsumen usia 8-15
tahun, meski kelas usia di atasnya juga dilayani. Dengan strategi ini,
Wim Cycle bisa meraih konsumen yang selalu baru. Selain itu, pemilihan
target pasar ini juga menjadi deferensiasi yang menguntungkan, untuk
menghindari perang dengan sepeda-sepeda yang dibuat pemain lokal di
masing-masing daerah yang rata-rata menyasar segmen dewasa. Apalagi,
membuat sepeda untuk orang dewasa lebih mudah dibanding sepeda remaja
dan anak-anak, karena tak membutuhkan banyak aksesori dan mainan.
Strategi
targeting tersebut kemudian dipadukan dengan strategi produk. WIMBI
berusaha memosisikan sepedanya sebagai produk yang dinamis, kreatif,
muda dan modis (fashionable). Tak heranlah, produk-produk Wim Cycle
terlihat lebih ngejreng dan warna-warni, cocok dengan selera anak-anak
dan remaja. "Kami ingin mengubah karakter sepeda yang terkesan tua dan
stagnan," ujar Ali. Tak berhenti di situ, produknya terus pula diperluas
dan diremajakan, agar sesuai dengan tren gaya dan keinginan konsumen.
Kini,
WIMBI mengembangkan tiga jenis sepeda: BMX, MTB, dan Mini.
Masing-masing jenis dibagi menjadi 7 varian berdasarkan ukuran.
Masing-masing ukuran mempunyai aneka ragam model berdasarkan warna,
desain stiker dan desain kerangka. Belum termasuk perbedaan varian,
karena beda aksesori, seperti: bel elektronik, reflektor, tas, dan
sebagainya.
Total, varian produk Wim Cycle 100 lebih. "Ke depan,
kami tetap bermain di model. Di sana masih terbentang luas lahan
kreativitas baru," Ali menjelaskan. Dari sisi ukuran ban, kini WIMBI
memiliki varian 12, 20, dan 16 inci, 18, 24 dan 26 inci. Sejak tahun
2000, WIMBI bahkan memasuki segmen pasar baru, yakni sepeda roda tiga
(three cycle).
Nampaknya, manajemen WIMBI sengaja menjadikan
strategi produk sebagai elemen pemasaran yang paling diandalkan. Tak
heran, dari sisi produk, Wim Cycle dibuat benar-benar beda. Pengembangan
produk baru dilangsungkan dalam siklus yang cepat, ditargetkan selalu
mendahului kompetitor. Manajemen WIMBI menerapkan tip unik untuk
melahirkan inovasi produk baru.
Menurut Ali, pihaknya berusaha
terus mengamati tren produk sepeda tak hanya level pasar Indonesia, tapi
juga pasar internasional. Caranya, minimal dua kali dalam sebulan,
pimpinan puncak WIMBI -- kini dipanggul oleh generasi kedua, Andee
Widjaja -- mengunjungi salah satu dari empat negara: Taiwan, Amerika
Serikat, Inggris atau Kanada. Tujuannya, mengumpulkan ide dan konsep
produk baru.
Sekarang, jika di rata-rata, jarak kelahiran
antarproduk Wim Cycle tak lebih dari tiga bulan. Artinya, tiap tiga
bulan sekali setidaknya lahir satu produk baru. Malahan, menurut Ali,
ada kebijakan internal: dalam satu tahun Wim Cycle harus melahirkan
desain minimal 60 model yang diejawantahkan dalam bentuk variasinya.
Hanya, Ali mengakui, tak semua produk dilempar ke pasar. Sekitar 83%
tidak dilahirkan, karena dinilai tidak sesuai dengan karakteristik
pasar.
Melahirkan produk dengan siklus cepat dan inovatif seperti
itu jelas tak mudah. WIMBI sendiri melakukannya karena tak punya
pilihan lain, demi menyesuaikan karakter produk Wim Cycle yang modis,
dan untuk menghindari kejenuhan pasar. Maka, agar merangsang lahirnya
ide inovatif, secara internal WIMBI berusaha menciptakan atmosfer
korporat yang dinamis dan merangsang munculnya ide inovatif. Misalnya,
kepada para karyawan diberikan akses Internet, supaya bisa menggali ide
dan objek inovasi. Kemudian, disediakan pula majalah desain motor dan
mobil, serta majalah Troyley Design. "Kami ingin para awak desain dan
pemasaran tidak mandek," ujar Ali.
Bisa jadi, langkah inovasi
yang dilakukan WIMBI dengan mempercepat lahirnya produk baru terkesan
ambisius. Sebenarnya, langkah itu dipilih manajemen WIMBI berdasarkan
pengamatan dan pengalaman masa lalu. Bila dikilas balik, sekitar
pertengahan 1980-an, industri sepeda mulai menunjukkan tanda-tanda
kemunduran.
Tepatnya tahun 1976, pasar sepeda menghadapi
kenyataan bangkrutnya puluhan pemain yang sebelumnya aktif menggarap
pasar. Pasar tak lagi menyerap. Beberapa produsen sepeda berkapasitas
besar yang masih bertahan, tahun-tahun itu mulai mengambil kebijakan
penciutan skala bisnis (downsizing). Tak urung, Hendra Widjaja, pendiri
Wim Cycle yang saat itu bergelut di bisnis suku cadang sepeda, juga
terkena dampaknya, yakni bisnisnya yang berbendera CV Indonesia Makmur
bangkrut.
Pasar sepeda ketika itu lesu. Ironisnya, persaingan
yang terjadi justru makin ketat dengan hadirnya sejumlah produk sepeda
yang dipasarkan kalangan industri rumahan. Sepertinya, tak ada jalan
lagi ke depan selain berganti bisnis. Melihat kenyataan itu, Hendra
berusaha tak patah arang. Tak ingin larut dalam kesedihan karena
bangkrut, Hendra kemudian terbang ke Kanada, Inggris, AS dan Taiwan
(pusat sepeda dunia). Bukan untuk rekreasi atau melepas penat, melainkan
mencari inspirasi bisnis baru. Ia mencoba mengamati perkembangan bisnis
sepeda di luar negeri. Dari sinilah Hendra menemukan kesimpulan
penting, yang kemudian ternyata menyuntikkan motivasi baru yang
membangkitkan bisnisnya.
Dari perjalannya itu ia menyimpulkan,
sebenarnya jenuhnya pasar sepeda di Indonesia bukan semata-mata faktor
eksternal: persaingan ketat atau daya beli masyarakat yang tak
mendukung. Namun, diakibatkan para produsen yang kering inovasi.
Produsen tak mampu melahirkan produk-produk yang bisa merangsang
tumbuhnya permintaan baru. Produk sepeda hanya itu-itu -- mini, jengki
dan kumbang -- dengan ekspresi warna yang cenderung kelam (hitam atau
hijau tua). Maka, ia memutuskan masuk ke bisnis sepeda dengan konsep
baru, produk sepeda yang memiliki kesan muda, fungky, dinamis dan modis.
Tahap
pertama, diproduksi jenis BMX 20 inci, mengikuti tren perkembangan di
luar negeri. Hendra sadar, untuk menyukseskan pemasaran bukan pekerjaan
gampang. Dari segi permesinan tak ada masalah, karena sudah memiliki
mesin memadai dan modern, didatangkan dari Jerman dan Taiwan,
berkapasitas produksi 60-100 ribu unit/bulan. Tantangannya, justru
bagaimana pihaknya bisa kreatif dan inovatif, agar produk-produknya
lebih modis, berbeda dari kebanyakan sepeda lainnya. Juga, bagaimana
cara mengomunikasikan, karena saat itu media iklan cetak dan elektronik
belum lazim dilakukan pemasar sepeda.
Tak ada cara lain,
penetrasi pasar dilakukan perlahan-lahan. Sebagai langkah awal, ketika
itu tiap bulan sengaja diproduksi 10 unit saja. Produk itu diperkenalkan
langsung pada 10 agen dan beberapa toko sepeda terutama di Surabaya.
"Ternyata, respons pasar luar biasa, sampai kami kewalahan melayani,"
Ali menuturkan. Tidak menyia-nyiakan momentum, setelah itu pemasaran Wym
Cycle bak tancap gas. Distribusinya segera dibuat merata di seluruh
Nusantara.
Tak bisa dilupakan, sebenarnya kinerja Wim Cycle yang
terus remaja hingga sekarang, tak lepas dari strategi komunikasinya.
Langkah promosi yang dilakukan cukup mengena, baik promosi above the
line maupun below the line. Iklannya mencerminkan produknya yang fungky
dan jenaka. WIMBI juga mendukung lomba-lomba balap sepeda. Bahkan karena
itu kemudian muncul kecenderungan pasar baru: menjadikan sepeda sebagai
sarana adu ketangkasan. Kecenderungan itu tentu saja berdampak positif
bagi WIMBI.
WIMBI menyelenggarakan pula aktivitas fun bike, lomba
ketangkasan misalnya BMX Game, dan bermitra dengan sekolah-sekolah
dalam pensponsoran. Dari segi promosi, dibanding produsen lain WIMBI
termasuk berani tampil terbuka, tak sekadar bergerilya melalui jalur
distribusi. Tiap tahun tak kurang dari Rp 6 miliar dikucurkan untuk
promosi.
Di lini distribusi, manajemen Wim Cycle pun melakukan
perubahan mendasar, terutama soal sistem keagenan. Rata-rata produsen
menggunakan model kuantitas diskon, tapi oleh WIMBI diubah menjadi
sistem bonus poin. Caranya, tiap kali dealer -- kini jumlahnya 150
dealer -- mengambil 50 unit sepeda, maka memperoleh 1 poin (1 unit
sepeda). Cara ini dipilih, karena menggunakan mekanisme kuantitas diskon
justru membuat pasar tidak terkendali. Masing-masing dealer berlomba
mengejar omset tinggi, sehingga harga di pasar gonjang-ganjing.
Dengan
sistem baru tersebut terbukti pemasarannya lebih lancar. Dari tahun ke
tahun penjualannya makin meningkat. Bila dirata-rata, 95% produk WIMBI
selalu diserap, 5% sisanya terserap tapi secara perlahan. Tahun 2002
berhasil mengantongi penjualan 350 ribu unit. Atau, 31,8% pangsa pasar
sepeda -- realisasi produksi sepeda nasional 2002 sebesar 1,1 juta unit
per tahun (Depperindag). Omset ritel Wim Cycle sekitar Rp 260,75 miliar.
Nilai itu cukup wajar, karena WIMBI juga meraih omset dari ekspor,
bahkan kini mencapai 20% nilai pasarnya. Ekspornya tak kurang ke 19
negara -- ke Arab Saudi, Jerman, Belanda, AS, Yunani, Kanada, Inggris,
dan negara-negara Eropa. Di Kanada misalnya, sejumlah ritel kenamaan
seperti Canadian Tire, Sears, Bay, Eaton's, dan Toys R Us adalah
pelanggan setia WIMBI. "Tahun 2003 kami targetkan total penjualan 450
ribu unit," ujar Ali optimistis.
Bila disimak, sebenarnya langkah
Wim Cycle mirip Benetton yang sukses meremajakan bisnis garmen.
Ketokohannya dalam meremajakan bisnis sepeda bisa menjadi pelajaran.
Hanya saja, bukan berarti strategi pemasarannya tak mengandung
kelemahan. Terutama dari sisi distribusi, selama ini WIMBI menjadikan
dealer independen sebagai urat nadi penyaluran produk, dan hanya diberi
mainan berupa bonus poin, pertemuan, dan tur gratis ke luar negeri.
Lambat laun, strategi ini bisa hancur dengan hadirnya pemain yang lebih
berani. Bila itu terjadi, ia bisa digeser dan hanya dimasukkan dalam
gudang para dealer. "Dealer independen tahunya cuma untung. Penawaran
tertinggilah yang akan dipilih," kata Go Siang Chen, pengamat pemasaran
dari Integrity Consulting.
Sebab itu, lebih baik WIMBI mengkaji
aliran produknya hingga ke tangan konsumen. Misalnya, dibentuk struktur
baru, dengan dimunculkannya penyelia representatif. Seorang penyelia
representatif membawahkan 30 dealer, misalnya, dan ia bertanggung jawab
atas kinerja dealer, serta secara berkala mengirim pesan ke WIMBI.
"Kalau tidak begitu, Wim Cycle bisa kalah dari sepeda Cina, yang
mempunyai harga lebih miring sekitar 15%-20%," Chen menegaskan.
Selain
itu, saat pasar Wim Cycle diperlebar, jangan hanya segmen anak-anak
(usia 6-15 tahun), bukan saja akan mengakibatkan kekerdilan, tapi
menjadi batu pijakan pesaing memasuki segmen lain. Lama-kelamaan, bukan
tidak mungkin Wim Cycle akan berada dalam kondisi terkepung. Segmen
pasar dewasa misalnya, sebaiknya juga digarap serius, apalagi segmen ini
menjanjikan omset yang tidak kecil, karena mulai tumbuh kesadaran
kesehatan di kalangan profesional.
Dengan cara itu, selain bisa
mempertahankan pasar lamanya, ia juga meraih pasar dan omset baru.
Soalnya, berdasarkan amatan SWA, kini pemain lain mulai serius mengintip
pasar sepeda. Merek Polygon yang dipasarkan PT Insera Sena, misalnya,
kini demikian agresif menyasar sepeda kalangan dewasa. Bahkan di pasar
Jakarta, ia lebih menguasai pasar dewasa ketimbang Wim Cycle.
Penetrasinya cerdik pula, karena menggunakan jaringan gerai modern
seperti Matahari dan Carrefour. Tentu, Wim Cycle harus segera beranjak,
jangan tertegun di pasar anak-anak. Kecuali, ia bakal terkikis perlahan.
Sumber : kisah-kiat-sukses-bisnis.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar