Sukses Berbekal Keyakinan
Mungkin tak banyak pengusaha sukses yang perjalanan hidupnya sedramatis
H. Masri Nur. Merantau seorang diri ke Medan, bekerja sebagai kuli
penjual tiket bus yang kemudian menjadi tukang jahit, lelaki berdarah
Padang ini berhasil bertransformasi menjadi entrepreneur sukses. Bisnis
properti (plaza dan hotel), ritel, konveksi dan pendidikan kini menjadi
garapannya. Sekitar 1.500 karyawan bersandar padanya.
Sekarang di
tangan Masri tergenggam kerajaan bisnis yang tidak kecil. Dialah
pemilik sekaligus pengelola Plaza Gelora, kompleks bisnis di Medan yang
terdiri atas supermarket, dept. store, hall, pusat konveksi dan industri
garmen, serta restoran. Dia juga pemilik Hotel Madani. Terletak di Jl.
Sisingamangaraja, tak jauh dari Masjid Raya Medan dan Istana Maimun,
hotel bintang 4 yang tengah naik daun ini dikelola dengan sistem
syariah. Tak hanya itu, terdapat pula Darul Ilmi Murni, lembaga
pendidikan terpadu di atas lahan 15 hektare, mulai dari TK hingga
perguruan tinggi.
Perjalanan sukses kelahiran 1953 ini sangat
menarik. Keberhasilannya merupakan kombinasi kegigihan, kerja keras dan
keyakinan. Datang dari keluarga terpandang di Padang, Masri tak
mengikuti jejak saudaranya yang kebanyakan menjadi pegawai negeri sipil.
Dia justru merantau ke Medan seorang diri tahun 1969. Di Ibukota
Sumatera Utara itu, dia memulai bekerja sebagai buruh, yaitu membantu
menjual tiket bus. Setelah itu, membuka usaha jahitan pakaian dengan
papan nama Toko Gelora. “Saya ini aslinya tukang jahit. Sampai sekarang
pun masih tukang jahit,” ungkapnya saat ditemui SWA di lounge Hotel
Madani miliknya.
Boleh dibilang, bisnis jahitlah yang
mengantarnya ke jenjang sukses. Bisnis ini berkembang pesat hingga
menjadi industri konveksi (garmen). Bahkan di Medan, bukan rahasia lagi,
pusat seragam sekolah, seragam olah raga, pakaian adat dan busana
muslim terbesar berada di Plaza Gelora. Di kompleks itu, terdapat
gerai-gerai layaknya supermarket dan industri konveksi dengan tukang
jahit tak kurang dari 200 orang. Singkatnya, karena usaha jahitan itu
membesar, awal 1990-an Masri bisa membangun kompleks plaza di lokasi
itu. “Saya bersyukur, menjadi satu-satunya pengusaha pribumi yang punya
plaza di Medan ini,” ujar ayah tujuh anak yang masih berbadan tegap ini.
Yang
paling menarik dari sekian kisah bisnis Masri adalah Hotel Madani.
Ketika akan mendirikan hotel dengan 173 kamar yang berkonsep syariah dua
tahun lalu, banyak yang skeptis hotel itu akan laku. Termasuk, beberapa
ulama Jakarta tempat Masri berkonsultasi. Maklum, berbeda dari
kebanyakan hotel syariah yang awalnya hotel konvensional, Hotel Madani
sejak awal menerapkan sistem syariah secara ketat. Tamu bukan
suami-istri tidak boleh menginap sekamar. Screening dan pengawasan
dilakukan serius baik melalui pegawai hotel maupun alat keamanan. Aturan
bagi tamu hotel bahkan ditulis besar di lobi. Tidak ada alkohol.
Penyanyi perempuan di lounge hotel pun wajib pakai jilbab. “Enam bulan
pertama ujian kami berat. Kami banyak mengeluarkan tamu dari hotel,”
ungkap Masri seraya menjelaskan, hotelnya diresmikan Wakil Presiden RI
Jusuf Kalla.
Rupanya, di 6 bulan pertama banyak tamu yang
coba-coba melanggar atau tidak tahu sama sekali aturan tersebut sehingga
walau awalnya datang sendirian, tetapi tengah malam mengajak teman
lawan jenis bukan suami-istri untuk menginap sekamar. Untuk itu, Masri
bahkan sempat memberi ganti rugi dan pernah juga ada tamunya yang marah.
Namun, dia memang punya prinsip ingin membangun hotel yang berbeda.
“Saya yakin Tuhan akan memberi jalan. Kalaupun Tuhan marah kepada
saya, masak iya Tuhan juga marah kepada karyawan saya dengan tidak
memberi mereka makan,� katanya yakin.
Rupanya keyakinan itu tak
bertepuk sebelah tangan karena occupancy rate Madani terbilang paling
tinggi di Medan. “Dari 173 kamar, setiap hari setidaknya 150 kamar
terisi,” ujar Dedi Nelson F., GM Hotel Madani, mengklaim.
Awalnya,
manajemen Madani memprediksikan cash flow dan keuntungan baru akan
positif setelah dua tahun. Ternyata, pada dua bulan pertama langsung
positif dan Masri sama sekali tak pernah menyubsidi hotel ini. Yang juga
menarik, tamunya bukan hanya muslim, tetapi juga nonmuslim, baik
kalangan Tionghoa maupun ekspat. “Rupanya para istri dan keluarga merasa
lebih aman kalau keluarganya menginap di hotel ini ketika di Medan,”
ujarnya seraya mengungkapkan, untuk membangun hotel ini diperlukan modal
Rp 200 miliar di luar tanah.
Yang juga melegakan, lanjut Masri,
selain sering full booked, kini brand hotel-nya sebagai hotel berkonsep
syariah sudah dikenal semua pelaku bisnis wisata Medan dan beberapa kota
lain sehingga pihaknya tak perlu mengeluarkan tamu lagi – karena tak
ada lagi tamu yang melanggar aturan hotel. Bagi Masri, keberadaan Hotel
Madani merupakan catatan sejarah yang menarik. Di depan Hotel Madani
itulah (dulu belum dibangun hotel) dirinya pertama menginjakkan kaki di
Medan sebagai perantau – ketika itu, di sebelahnya memang lokasi
stasiun bus antarkota – dan kini properti itu menjadi miliknya. Ya,
perjalanan hidup memang sering tak terduga.
Sumber : kisah-kiat-sukses-bisnis.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar