Dengan modal cekak, dia sukses menjadi pengusaha makanan yang memasok
perhotelan dan resto. Dia bahkan menjadi pemain global. Bagaimana dia
meraih itu semua?
Bila Anda sedang atau akan merintis dan
membesarkan usaha, tak ada salahnya bertandang ke kantor Elisabeth Liman
dan berguru padanya. Wanita ini sangat layak dijadikan inspirator,
bukan karena dia seorang guru, melainkan karena kaya pengalaman dalam
merintis usaha. Dia bukanlah sosok yang mengawang-awang untuk dicontoh.
Dia entrepreneur yang memulai usaha dengan modal amat terbatas -- tidak
mewarisi miliaran rupiah dari orang tua -- dan membangun sendiri
bisnisnya tahap demi tahap.
Di kalangan masyarakat perhotelan,
resto, supermarket, sosok Elisabeth bukanlah nama asing. Demikian pula
perusahaan yang dikibarkannya, PT Indoguna Utama. Maklum, rata-rata
hotel besar di Indonesia menjalin hubungan dengan Indoguna untuk
kebutuhan pasokan daging dan bahan makanan lain seperti keju, seafood,
gourmet dan wine. Indoguna terbilang salah satu pemain terbesar di
bisnis ini. Di Jakarta saja pelanggannya lebih dari 120 perusahaan
(hotel, resto, chain store, maskapai penerbangan) yang mayoritas
merupakan nama-nama besar.
Indoguna bahkan punya cabang dan anak
usaha di beberapa negara. Di antaranya di Dubai, Hong Kong, Singapura,
Australia, Kazakhstan, Taiwan, Amerika Serikat dan Lebanon. Salah satu
perusahaan di Australia bahkan sukses mengekspor produk dari Negeri
Kanguru ke 28 negara. Tak mengherankan, perusahaan tersebut (Mulwarra
Export Pty. Ltd.) mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Australia atas
prestasinya di bidang ekspor. Elisabeth kini memperkerjakan lebih dari
1.000 karyawan, tersebar di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Perjalanan bisnis Elisabeth tak bisa dipisahkan dari Makassar. Maklum,
dia memang dibesarkan di kota terbesar di Indonesia Timur itu dan di
sana pula orang tuanya tinggal. Sejak muda, dia sangat menyukai
tantangan dan gampang bosan melakukan hal-hal yang baginya tidak
menantang lagi. Dia diterima di Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin, tapi hanya betah menjalani kuliah setahun. Kemudian pindah
ke Fakultas Ekonomi, tetapi juga tidak bertahan lama. Hingga tiga kali
ganti jurusan, akhirnya dia menyerah. "Saya merasa tidak ada tantangan
dengan pekerjaan kuliah yang monoton seperti itu," ungkapnya.
Jakarta menjadi tempat hijrahnya. "Saya pikir kenapa kok harus terdiam
hanya sebatas di Makassar, padahal tantangan di lain tempat begitu
luas," kata anak pasangan bukan pengusaha itu. Tak berapa lama tinggal
di Ibu Kota, dia merasa tertantang untuk pindah ke luar negeri, New
York, guna memperluas cakrawalanya. "Saya pilih New York karena penduduk
kota itu lebih welcome dengan pendatang dari Asia, tak seperti
kota-kota di Eropa. Saya belajar survive di kota tersebut dengan bekerja
di perusahaan food," tutur anak kedua dari empat bersaudara itu. Di
kota berjuluk Big Apple tersebut, Elisabeth yang sendirian tanpa
keluarga belajar betul tentang pentingnya kegigihan agar bisa bertahan
hidup. Dia bekerja dan belajar hidup di Negeri Abang Sam.
Setelah dua tahun di New York, dia mulai berpikiran kembali ke
Indonesia. "Saya berpikir kenapa saya tidak mencoba berdiri sendiri,
mendirikan usaha di bidang food," ujarnya. Tanpa pikir panjang dan ragu,
tepat pada 1982 dia mulai merintis usaha di Jakarta, mendirikan
Indoguna. Perusahaan rintisannya itu juga membidangi makanan sesuai
dengan pengalaman kerjanya. "Tapi tidak persis seperti yang digeluti
perusahaan lama di New York," katanya. Dia menyukai bisnis ini karena
memang mencintai makanan.
Bisnis ini dimulai ala kadarnya
karena tak ada yang memodali, menyewa ruang kerja di Jl. Gajah Mada,
Jakarta Pusat. Elisabeth memulainya dengan ditemani empat karyawan yang
direkrutnya. Boro-boro bermimpi menjadi pengusaha besar, awalnya hanya
berorientasi agar bisa hidup. Salah satu faktor positifnya, ketika itu
ekonomi Indonesia cukup booming dan di Jakarta banyak ekspatriat yang
berdatangan, khususnya dari Jepang, Prancis dan Korea. Pasti, walau
mereka tinggal di Jakarta, kebutuhan dan selera makan mereka tak
berubah. Ceruk ini yang dilihat Elisabeth dan kemudian dia mengimpor
bahan makanan, khususnya daging, untuk hotel-hotel tempat para ekspat
itu menginap.
Kebetulan, ketika itu di Indonesia belum banyak
pemain yang menggarap impor daging dan bahan makanan untuk kalangan
ekspat. Belum banyak pebisnis yang punya keahlian di bidang itu. "Kalau
ada, hanya 1-2 perusahaan," ungkapnya. Dia mendekati calon pelanggan
dari pintu ke pintu, berkenalan dan bergaul dengan para chef di
hotel-hotel.
Kebetulan juga, waktu itu Hotel Hilton baru
berdiri dan membutuhkan daging impor yang empuk yang kualitasnya lebih
baik dari daging sapi yang ada di dalam negeri. Hotel tersebut
membutuhkan untuk bahan steak, tepanyaki, dan makanan lain yang khusus
ditujukan bagi pelanggan Jepang. "Mulailah di situ saya belajar. Saya
diajari pemakainya, yaitu para chef di hotel itu. Saya diajari kalau you
bawa ke saya daging seperti ini, nantinya jadinya seperti ini, begini
hasilnya. Saya juga disuruh coba masakannya," papar Presdir PT Indoguna
Utama ini.
Jadi, dia justru belajar dari para chef. Setelah itu,
mereka mulai mengorder walau kecil. Dia pun melayani order tersebut
walau nilainya hanya kecil (10 kg), sementara perusahaan yang ada saat
itu tak mau melayani kuantitas kecil sehingga cenderung mengabaikan.
"Kalau saya, tidak melihat jumlahnya, tetapi kebutuhannya dan apa yang
bisa disediakan, lalu akan saya usahakan untuk saya bawakan ke mereka.
Makanya, mereka senang dan kemudian percaya," katanya. Dari yang awalnya
hanya memberi order sedikit, lama-lama memesan semakin banyak karena
setiap kali memesan selalu dilayaninya dengan baik.
Prinsipnya,
Elisabeth bekerja sembari belajar. Dia bergaul dan belajar dari chef,
apa yang dibutuhkan hotel, lalu berusaha menyediakannya. "Waktu itu
memulainya kecil-kecil sekali, lalu pelan-pelan berkembang dan meluas.
Dari satu hotel ke hotel lain," ungkapnya. Dia tak malu belajar pada
para chef, sekaligus memperluas penjualannya.
Dalam berbisnis,
Elisabeth berprinsip mengembangkan bisnis mesti sesuai dengan kebutuhan.
Pasarnya berkembang karena kebutuhan kliennya juga berkembang. Biasanya
setelah tahu apa kebutuhannya, pihaknya lalu berusaha menyediakan.
"Sebenarnya kalau memulai bisnis, harus kembali ke pertanyaan ada
market-nya atau nggak. Kalau sudah tahu ada market-nya, barulah kita
benahi diri kita sendiri agar bisa memenuhi kebutuhan," katanya.
Bukan hanya berusaha memenuhi apa yang dibutuhkan, tetapi juga memegang
komitmen dan jujur dalam memberikan pelayanan. Bila sudah menjanjikan
produk dengan kualitas A, yang harus di-deliver pun produk dengan
kualitas A. Juga, tidak menjual dengan harga di luar kewajaran. "Dengan
kejujuran itu, akhirnya para chef itu percaya kepada kami," ungkapnya.
Karena prinsip seperti itu, pelanggan Indoguna dari tahun ke tahun
berkembang. Sekarang hampir semua hotel berbintang di Jakarta menjadi
pelanggannya. Bahkan lebih dari itu, Indoguna mulai merentangkan sayap,
mendirikan cabang di beberapa kota seperti Bali, Yogyakarta dan
Surabaya. Malah membuka cabang juga di luar negeri. Kok bisa?
Rupanya para chef yang pernah bekerja di Indonesia dan menjadi pelanggan
Indoguna tak melupakannya. Ketika pindah tugas ke negara lain, biasanya
mereka menghubungi dia. "Mereka menghubungi saya, ‘Elisabeth kenapa you
nggak buka di sini. I need you here’," katanya. Melalui cara itu pula,
Indoguna kemudian membuka bisnis sejenis di banyak negara: Hong Kong,
Singapura, Dubai, Australia, Kazakhstan, Taiwan, Malaysia, AS dan
beberapa negara lain. Biasanya setiap membuka cabang, selalu dimulai
dari skala kecil dulu, kemudian diperbesar sesuai dengan kebutuhan.
Yang menarik, penetrasi Indoguna di luar negeri tak sekadar sebagai
pelengkap. Di Singapura, misalnya, Indoguna (Singapore) Pte. Ltd.
termasuk pemasok besar. Di sana Elisabeth juga punya pabrik dan tempat
jagal sendiri untuk memasok kebutuhan pasar Negeri Singa.
Khusus di Jakarta, pada 1992 Elisabeth memindahkan pusat bisnisnya dari
Jl. Gajah Mada ke daerah Pondok Bambu, Jakarta Timur. Sejak awal dia
memang ingin memiliki kantor yang dekat dengan rumah tinggalnya sehingga
energinya tak habis karena memikirkan kemacetan di Ibu Kota. Untuk itu,
tahun 1992 dia membangun pabrik, cold storage dan kantor dalam satu
lokasi, yang luas totalnya kini 25.000 m2. Di dalamnya terdapat mesin
cold storage canggih buatan luar negeri untuk menampung produk-produk
Indoguna yang siap dipasok ke ratusan pelanggannya di Jakarta. Yang
pasti, dulu perusahannya harus dari pintu ke pintu menawarkan produk ke
calon pelanggan, sekarang justru calon pelanggan yang datang dan meminta
dicarikan produk ini-itu.
Kini, dari total produk yang
dipasarkan Indoguna, 95%-nya membutuhkan pendingin sehingga tidak banyak
pemain di Indonesia yang mampu melakukanya. Produk andalannya tetap
daging (sapi dan sapi muda). "Di dalam negeri sapi muda tidak dipotong,
tetapi kalau di luar negeri, sapi muda justru dipotong dan itu harganya
lebih mahal," katanya seraya menjelaskan, pihaknya antara lain mengimpor
daging dari Australia, AS dan Selandia Baru.
Tentu saja, itu
prestasi yang terbilang langka, apalagi di bisnis ini kebanyakan
pemainnya kaum pria. Ditanya tentang apa rahasia suksesnya, Elisabeth
hanya menandaskan, "Apa yang saya janjikan, saya lakukan. Mesti ada
komitmen." Tak hanya itu. "Karena saya sangat suka dengan bidang ini.
Saya mencintai ini. Ini mungkin salah satu kunci suksesnya. Kalau Anda
menyukai pekerjaan, Anda tidak perlu bekerja lagi untuk hidup karena
seakan-akan hanya mainan dan senang-senang," ungkap wanita yang sejak
kecil lebih sering bermain dengan anak lelaki itu. Karena menyukai
pekerjaan pula, walau ketika awal-awal memulai bisnis butuh perjuangan
ekstra, dia tetap bisa melewatinya.
Dalam menjalankan usaha,
Elisabeth tidak berangan-angan harus ini harus itu atau mesti menjadi
perusahaan besar. Tidak. "Saya memulai dengan kebutuhan pasar. Besaran
bisnis saya tumbuh sesuai dengan kebutuhan pasar. Kalau kebutuhan market
bertambah, skala usaha saya juga ditambah, termasuk karyawan," katanya.
"Saya membiarkan diri dibesarkan oleh market. Jadi bukan saya mencetak
perusahaan ini, tetapi perusahaan yang mencetak saya. Jadi, saya yang
menyesuaikan diri dengan kondisi dan kebutuhan."
Bob Sadino,
pengusaha pemilik Kemang Food Industry (Kem Chicks) mengakui Elisabeth
Liman merupakan sosok wanita pengusaha yang tangguh. "Dia pengusaha yang
bukan saja sangat gigih, tetapi memang luar biasa. Tidak banyak
perempuan yang bisa melakukannya," kata Bob yang kenal Elisabeth sejak
1980-an. Menurutnya, Elisabeth merupakan pengusaha yang sangat mengerti
arti melayani pelanggan sehingga ke mana pun pelanggannya memesan
produk, dia akan berusaha memenuhi.
Sementara itu, Arya Abdi,
Direktur Operasional PT Indoguna Utama, menggambarkan bosnya sebagai
wanita yang sangat aktif. "Aktif sekali. Beliau seperti bukan perempuan.
Apa pun yang belau inginkan, selalu berprinsip 'harus bisa, pasti
bisa'. Beliau sangat gigih dalam menghadapi setiap masalah dan cepat
dalam mengambil tindakan. Dan dalam memimpin dia selalu memacu anak buah
supaya bisa menjadi seorang pemimpin," katanya. Arya yang memimpin
bisnis Indoguna untuk wilayah Indonesia biasanya melakukan meeting
dengan Elisabeth sebulan sekali. "Waktu beliau lebih banyak digunakan
untuk mengurusi bisnisnya di banyak negara. Jadi, selalu terbang."
Elisabeth masih akan fokus di bisnis makanan. Ini sesuai dengan
positioning perusahaannya sebagai food specialist. Dia tak ingin masuk
di bisnis penggemukan sapi, misalnya, karena masih ingin fokus di
pemasarannya. Namun, dia punya bisnis resto yang menurutnya hanya
sambilan, yakni Angus House yang kini punya 6 gerai (dua di luar
negeri). Resto ini awalnya didirikan hanya untuk membantu seorang
kawannya, ekspat Jepang yang kontrak kerjanya di salah satu hotel
Indonesia habis. Mereka berkongsi membangun bisnis resto, dan ternyata
bisnis ini pun berkembang.
Dalam mengembangkan bisnis bersama
siapa pun, Elisabeth selalu memegang prinsip: mesti win-win. Ini
diberlakukannya baik kepada pelanggan, mitra bisnis maupun karyawannya
sendiri. Untuk itu, mengetahui dan berusaha memenuhi kebutuhan orang
lain merupakan hal sangat penting. Baginya, semua manusia punya
kebutuhan. “Kita harus memperhatikan mereka. Dengan karyawan juga
demikian. Kalau enak dan untung diambil sendiri, ya karyawan nggak
betah!" katanya.
Dengan menjalankan prinsip itu, tingkat
loyalitas karyawan Indoguna pun tinggi. Empat karyawannya yang ikut
kerja sejak awal, semua masih bertahan -- kecuali satu orang karena
telah meninggal dunia. "We care for them. Saya perlakukan mereka sebagai
manusia. Mereka dibayar gaji cukup sesuai dengan kealian mereka. Kalau
mereka mau tinggal di sini lama, berarti mereka cukup, kan?" ungkapnya
retoris.
Salah satu bentuk kepedulian itu misalnya tampak saat
krisis moneter 1998. Ketika itu dia menyuruh pembantu di rumahnya untuk
pergi ke kantor Indoguna dan memasak bagi karyawan supaya uang saku
karyawan tidak berkurang. Anggaran masak itu diambil dari gaji pribadi
Elisabeth. Dengan cara itu, uang makan karyawan utuh. Selain itu, gaji
juga dinaikkan supaya kehidupan mereka tak tersendat. "Nggak tahunya
setelah krisis selesai, sampai sekarang ransum masih jalan terus,"
katanya seraya tertawa. Namun, itu tak masalah buat Elisabeth. Dia
berprinsip, kalau dirinya baik kepada seseorang, orang lain pun akan
memperlakukannya dengan baik. Sebuah prinsip yang layak diteladani siapa
pun, bukan?
Sumber : kisah-kiat-sukses-bisnis.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar