Setelah beberapa kali gagal, Sugondo dan keluarganya sukses
mengembangkan jaringan bisnis resto khusus steak. Gerainya tersebar di
berbagai kota besar. Bagaimana proses jatuh-bangunnya?
Daripada
menjadi ekor naga, lebih baik menjadi kepala ular. Filosofi ini yang
mendasari keputusan Sugondo menggelindingkan usaha sendiri. Lulusan
Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara, Jakarta, ini sebelumnya
sempat berkarier di beberapa perusahaan, termasuk sebagai bankir di Bank
Majapahit.
Kini, keputusan Sugondo berwirausaha terbukti tak
salah. Dibantu anak-anaknya, ia sukses mengembangkan bisnis restotan
steak. Malah, sebenarnya tak berlebihan bila kini ia dijuluki si Raja
Resto Steak. Pasalnya, jumlah gerai resto steak yang ia kelola bersama
anak-anaknya mencapai lebih dari 60, yang tersebar di berbagai kota
besar. Usaha resto steak keluarganya kini dikonsolidasi dalam bendera
Obonk Steak Group. Maklum, selain mengembangkan gerai resto Obonk Steak,
Sugondo juga punya Waroeng Steak, Kampoeng Steak dan Spiring Resto.
Bagi
Sugondo, bisnis resto steak merupakan klimaks dari pengembaraannya
mencari peluang bisnis yang paling pas buat dirinya. Ya, perjalanan
karier dan kewirausahaannya cukup berliku. Ia pernah lama tinggal di
Jakarta, karena memang bercita-cita bisa meraih sukses di kota
metropolitan ini. Tak mengherankan, begitu lulus dari Untar pada
1970-an, ia langsung bekerja di Bank Majapahit. Ia sempat berkarier
tujuh tahun di bank swasta ini. Lepas dari bank itu, ia gonta-ganti
pekerjaan, hingga akhirnya memutuskan mendirikan perusahaan jasa
konstruksi, PT Trindo Bahana Sarana. Namun, bisnis ini hanya dilakoninya
selama lima tahun.
Karena merasa bisnisnya tak bisa berkembang
di Jakarta, pada 1986 ia menutup perusahaannya itu dan memilih hijrah ke
kota istrinya, Solo. Di kota ini, suami Ninik Mulyani ini mencoba
mengembangkan bisnis garmen dengan memproduksi pakaian wanita. Untuk
mendukungnya, ia pun membuka butik yang diberi nama Jasmine Fashion.
Selain itu, karena melihat ada peluang empuk, Sugondo juga menggarap
bisnis hiburan malam dengan membuka diskotek. Hanya dalam setahun, tiga
diskotek didirikannya di kota keraton itu: Freedom, Nirwana dan Solo
Diskotik. Cerdiknya, untuk mendirikan ketiga distotek tersebut, ia tak
mengeluarkan modal sedikit pun karena menggandeng orang lain yang punya
uang. “Saya merasa beruntung pernah tinggal lama di Jakarta sehingga
hanya menjual ide dan mendapatkan 10% saham,” katanya.
Namun,
pada tahun 2000 ia memutuskan menjual semua bisnis hiburan tersebut.
Alasannya, tak sesuai dengan hati nuraninya. Ia mengaku, awalnya ingin
mengembangkan konsep rumah musik yang sehat, bebas dari minuman
beralkohol. Namun dalam perjalanannya, ia tak bisa mengontrol. “Rasanya
sekarang sudah plong, karena tidak punya beban lagi,” katanya lepas.
Selain
diskotek, kala itu ia juga mendirikan resto & pub untuk kalangan
menengah kota Solo, bernama Aquarius. Di sinilah ia seperti mulai
menemukan arah untuk pengembangan bisnisnya, yang ternyata kelak
mengubah kehidupan keluarganya. Di resto Aquarius, steak menjadi menu
andalan karena banyak penggemarnya walau harganya terbilang mahal.
Naluri bisnis Sugondo muncul. Ia menemukan ide berekspansi dengan
mengembangkan resto khusus steak. Hanya saja, ia ingin membuat steak
dengan harga lebih terjangkau agar penjualannya makin bagus. Pendeknya,
ia ingin menjadikan steak makanan yang digemari masyarakat dan
terjangkau kantong mereka. “Kalau bisa murah, kenapa harus mahal!”
serunya.
Pada pertengahan 1990-an itulah, Sugondo mendirikan
resto khusus steak. Bapak empat anak ini terus mencari ramuan yang pas,
agar makanan Barat ini bisa diterima lidah orang Indonesia dan dijual
dengan harga yang terjangkau masyarakat luas. Karena itu, juga ia
memperkenalkan slogan citra “Menu bintang lima, harga kaki lima”. Kalau
di kebanyakan resto seporsi steak dijual sampai Rp 75 ribu, Sugondo bisa
menjual jauh lebih murah. “Di restoran atau hotel memang mahal, karena
banyak komponen biaya yang harus kita tanggung,” ungkapnya. “Tapi,
meskipun kami jual murah, keuntungan sudah lumayan.”
Resto steak
yang didirikannya pertama kali bernama Casper Steak. Namun, antara
harapan dan kenyataan masih belum ketemu. Casper Steak bisa disebut
gagal menarik konsumen seperti yang diharapkan. Ia pun terpaksa menutup
restonya yang baru seumur jagung. “Di kalangan masyarakat awam, kayaknya
masih melekat image yang kuat bahwa steak adalah makanan mahal dan
khusus buat orang berduit,” tutur lelaki yang sekarang selalu berkopiah
ini.
Meski Casper Steak yang dibukanya di Solo gagal, Sugondo tak
putus asa. Pada tahun yang sama, ia mencoba menggapai keberuntungan di
Yogyakarta. Kali ini, konsep yang ia jual agak berbeda. Ia menawarkan
konsep kafe, dengan menu utama steak. Meski berlokasi di Yogya --
tepatnya di kawasan Pasar Kembang, dekat Malioboro -- ia memberi nama
resto/kafe steak-nya Kafe Solo. Sasaran yang ingin digaet memang
wisatawan asing yang sering kongko di tempat itu.
Namun,
lagi-lagi Sugondo harus menelan pil pahit. Nasib Kafe Solo tak lebih
bagus daripada Casper Steak, sehingga juga terpaksa ditutup karena
kurang direspons konsumen. Wisatawan asing yang diharapkan datang,
ternyata tak melirik sama sekali. Wisatawan atau konsumen lokal pun
enggan masuk. “Kami gagal karena salah konsep dan salah membidik
konsumen,” kata Sugondo menyimpulkan. Menurutnya, ia menghabiskan dana
lumayan besar ketika mendirikan Kafe Solo. Namun lagi-lagi, hal ini tak
membuatnya patah arang. Semangat membuka resto steak terus membara.
Hanya saja, karena keterbatasan dana, ia merasa harus mengubah strategi
bisnisnya.
Setelah gagal dengan dua resto steak-nya tadi, Sugondo
lalu mendirikan Obonk Steak. Namun, jangan dibayangkan sama dengan dua
resto sebelumnya. Pasalnya, Obonk Steak tak menempati bangunan yang
representatif, hanya menumpang di emperan butik Jasmine Fashion di depan
Samsat Yogya. Ini dilakukan karena ia sama sekali tidak memiliki dana
untuk sewa toko/rumah. Namun tanpa diduga sebelumnya, Obonk Steak justru
dibanjiri konsumen.
Ia pun mulai menangani upaya pemasaran
secara serius. Otak bisnisnya kembali menggagas inovasi. Untuk
mengedukasi pasar, ia menyebar leaflet. Ternyata, cara ini cukup
efektif. Pelan tapi pasti, konsumen terus berdatangan. “Dalam waktu tiga
bulan, kami sudah bisa menutup biaya operasional, sesuai dengan target
kami,” katanya bangga.
Karena perkembangan Obonk Steak yang
begitu menggembirakan, tak sampai setahun kemudian, tepatnya pada 1995,
ia membuka cabang di Solo, bekerja sama dengan adik iparnya. Dengan
strategi pemasaran yang sama seperti yang dikembangkan di Yogya, cabang
di Solo juga mengalami pertumbuhan bagus.
Sejak awal, Obonk Steak
dirancang untuk membidik pasar menengah-atas. Hanya saja, harga yang
ditawarkan jauh lebih murah dibandingkan dengan steak yang dijual di
resto atau hotel umumnya. Kendati begitu, menunya yang disediakan cukup
beraneka: ribs, tenderloin, black pepper, tender pepper, T-bone,
gindara, cumi, hot tuna, dan lain-lain. Selain itu, juga dilengkapi
dengan aneka pasta, sup, salad sayuran, aneka minuman jus, es krim, soft
drink dan hot drink. Bahan utama steak, yakni daging, disediakan dua
jenis: lokal dan impor. Konsumen tinggal pilih sesuai dengan selera dan
kemampuan kantongnya. Untuk lokal, steak dijual Rp 18-24 ribu/porsi,
sedangkan steak daging impor Rp 23-46 ribu/porsi.
Dengan konsep
seperti itu, Sugondo berhasil mengembangkan bisnis resto steak-nya. Ia
pun sukses membimbing keempat anaknya mengembangkan bisnis yang sama.
Waroeng Steak, Kampoeng Steak dan Spiring Resto, adalah nama-nama resto
steak yang dikembangkan anak-anak Sugondo. “Mereka tampaknya sudah enjoy
jadi pengusaha,” katanya.
Terhitung sejak tiga tahun lalu,
Sugondo tak lagi terlibat langsung dalam bisnis resto tersebut. Namun,
bukan berarti ia lepas tanggung jawab sama sekali. “Tugas saya hanya
sebagai konsultan dan motivator, selain itu juga menandatangani kontrak
kerja sama dengan pihak lain. Anak-anak yang mengelola, saya bosnya,”
ujar lelaki kelahiran Surabaya ini sambil tertawa lepas. Obonk Steak
memang jadi training ground anak-anak Sugondo dalam menjalankan bisnis
ini. Sekarang, pengelolaan resto ini telah diserahkannya kepada mereka.
Dari
hasil pernikahannya dengan Nanik Mulyati, Sugondo dikaruniai empat
anak: Jody Brotoseno, Jonet Herjuno, Joyce Silawati dan Jarot Jatmiko.
Dari keempat anak itu, yang ke-2, 3 dan 4, diserahi tugas memegang
kendali Obonk Steak. Sementara Jody, alumni Arsitektur Atma Jaya, Yogya,
sejak 2002 punya bisnis steak sendiri dengan bendera Waroeng Steak.
Jumlah gerainya cukup banyak, kejar-kejaran dengan Obonk Steak. “Sebelum
buka Waroeng Steak, saya banyak belajar dari Bapak dalam mengelola
Obonk Steak,” kata Jody.
Dalam pengelolaan Obonk Steak, dilakukan
pembagian tanggung jawab di antara anak-anak Sugondo. Permbagiannya per
wilayah. Jonet mengelola gerai Obonk Steak di Jawa Timur (Surabaya,
Malang) dan Bali (Denpasar). Alumni Akademi Uang dan Bank ini sekarang
tinggal di kota kelahiran bapaknya, Surabaya. Joyce, putri satu-satunya,
tinggal di Solo, kebagian tugas mengelola Obonk Steak wilayah Jawa
Tengah dan DI Yogya. Mahasiswi Publisistik Universitas Negeri Sebelas
Maret Solo ini juga bertanggung jawab atas kelangsungan bisnis garmen
Jasmine Fashion yang didirikan orang tuanya di kotanya pencipta lagu
Bengawan Solo, Gesang, itu. Adapun si bungsu, Jarot, semenjak duduk di
bangku SMA di Jakarta sudah dipercaya mengelola Obonk Steak di sekitar
Jabotabek dan Jawa Barat. Yang menarik, jumlah gerai di wilayah
pengawasan Jarot cukup banyak karena ada di beberapa kawasan, seperti di
Cinere, Bogor, Depok, Buaran dan Jatiwaringin.
Selain
menginspirasi anak-anaknya berbisnis, selama ini Sugondo juga telah
banyak memberikan lapangan pekerjaan bagi keluarga besarnya dengan
melibatkan mereka sebagai manajer gerai. Contohnya, Abiyan T.H. yang
menjadi manajer Obonk Steak di Jogya, adalah adik kandung istri Sugondo.
Jika tidak ada keluarga, mereka menyerahkan pekerjaan kepada orang luar
yang dipercaya. “Kebanyakan yang menjabat sebagai manajer memang masih
keluarga sendiri,” ujar Abiyan. Namun, untuk tertib administrasi dan
manajemen, setiap manajer di gerai dibantu tiga kepala bagian: keuangan,
belanja dan stok barang. Masing-masing memiliki tanggung jawab sendiri
yang tidak boleh dirangkap. ”Tujuannya untuk mengantisipasi kebocoran
karena yang pegang uang tidak boleh belanja sendiri, sedangkan yang
bertugas mengontrol persediaan stok barang juga ada bagian sendiri,”
tutur Sugondo.
“Virus” wirausaha tampaknya makin kuat di tubuh
keluarga Sugondo. Setelah Jody sukses dengan Waroeng Steak, sang adik
juga berusaha mengikuti jejaknya. Belakangan Joyce membuka Spiring Cafe.
Sementara Jonet yang ada di Surabaya, mengibarkan bendera Kampoeng
Steak tiga tahun lalu. Jumlah gerai Kampoeng Steak baru 9, tersebar di
Ja-Teng dan Ja-Tim.
Tidakkah mereka khawatir akan saling berebut
konsumen? Rupanya, untuk mencegah munculnya persaingan yang tidak sehat,
sudah ada kesepakatan antara Jody dan adik-adiknya untuk tidak saling
mengganggu pasar masing-masing. Jody dengan Waroeng Steaknya yang sudah
mapan agaknya cukup rela memberi ruang gerak kepada adik-adiknya untuk
berkembang. Misalnya, ia tidak akan membuka cabang di kota yang lebih
dulu dimasuki Kampoeng Steak. “Mereka bikin kesepakatan sendiri, saya
tidak campur tangan,” ucap Sugondo soal pembagian wilayah bisnis
anak-anaknya.
Menurut Sugondo, di antara gerai resto steak yang
dikelola keluarganya, yang berpotensi bersaing adalah Waroeng Steak dan
Kampoeng Steak. Sebab, kedua resto ini memilik konsep yang sama:
membidik pasar menengah dengan harga relatif terjangkau. Adapun Obonk
Steak diposisikan untuk pasar menengah-atas. “Kalau Obonk ketemu Waroeng
atau Kampoeng, tidak masalah,“ Sugondo menandaskan.
Soal
pengembangan usaha, awalnya Sugondo lebih banyak mengembangkan cabang
dengan mengajak berkongsi keluarga dekat, termasuk anak-anaknya. Sejak
2004, ia mengajak pemilik modal lain untuk bergabung menjadi mitra. Ia
juga telah mengembangkan model waralaba (franchise). Saat ini ada tiga
cabang yang dikembangkan dengan cara waralaba, salah satunya di Batam.
Kini untuk mendapatkan hak waralaba Obonk Steak, cukup disediakan modal
Rp 75 juta. Dana ini untuk franchise fee Rp 50 juta, dan untuk
penyediaan peralatan Rp 25 juta.
Selain warabala, tidak sedikit
juga yang hanya sekadar urun modal lalu menerima keuntungan bersih
setiap bulan. Ada pula yang menyediakan tempat dan peralatan lengkap.
“Kami cukup buat perjanjian di notaris saja, berapa modal yang ditanam
dan berapa keuntungan yang dibagikan. Yang jelas, keuntungan yang
didapat di atas bunga bank,” kata Sugondo menjamin. Dengan model
pengembangan seperti itu, kini Obonk Steak telah merambah berbagai
provinsi, antara lain Ja-Teng, DI Yogya, DKI Jakarta, Ja-Bar, Ja-Tim,
Bali, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Hingga September lalu,
total cabang Obonk ada 28. “Tahun ini, kami berencana membuka empat
cabang lagi di Jakarta, Yogya, Bogor dan Makassar.”
Diakui
Sugondo, untuk membuka setiap cabang, ia membutuhkan modal yang lumayan
besar. Apalagi, jika harus mengontrak rumah. Namun, bisnis ini ternyata
cukup menarik investor karena sejauh ini cepat baik modal. Ia mengklaim
rata-rata dalam tempo 7 bulan modal yang ditanam sudah balik. Namun ia
mengakui, ada beberapa cabang yang harus ditutup dan pindah tempat
karena tidak bisa berkembang dengan baik. ”Biasanya karena kesalahan
memilih tempat,” katanya menganalisis. Masih menurut Sugondo, gerai
dikatakan baik bila setiap bulan bisa mendatangkan omset Rp 100-200
juta. Biasanya kalau ada gerai yang tiap bulan hanya menghasilkan omset
tertinggi Rp 50 juta, pihaknya akan memberikan perhatian khusus ke gerai
tersebut. Kini sebagian besar gerainya menghasilkan omset di atas Rp
100 juta.
Sugondo punya patokan sendiri untuk melihat prospek
sebuah gerai. Ia selalu melihat dalam jangka tiga bulan. Kalau tiga
bulan pertama bagus, bisa dilanjutkan untuk dikembangkan. Namun kalau
kurang menggembirakan, lebih baik ditutup saja. Ini kepercayaan yang
didasarkan pada pengalamannya. Maka, bila pada bulan awal sepi, ia tidak
mau melanjutkan pengembangan gerai. Itulah pula alasannya menutup dua
bisnis resto pertamanya di Yogya sebelum menggarap Obonk Steak.
“Daripada menanggung beban operasional, kita banting setir lagi saja
dari awal,” Sugondo menekankan keyakinannya.
Sekarang, Sugondo
mengaku puas melihat perkembangan Obonk Steak. Apalagi, anak-anaknya pun
sukses mengibarkan resto sendiri. Namun, yang lebih membuatnya terharu
adalah kala ia mampu memberikan lapangan kerja bagi orang lain. Saat ini
gerai Obonk Steak saja menyerap sedikitnya 750 tenaga kerja. Waroeng
Steak mempekerjakan ratusan karyawan. Mungkin saja, Kampoeng Steak dan
Spiring Cafe akan menyusul keberhasilan kedua resto steak tersebut.
Sumber : kisah-kiat-sukses-bisnis.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar